Belanga Budaya Marseille

By , Jumat, 24 Februari 2012 | 14:40 WIB

Mungkin ada benarnya anggapan bahwa tidak ada aturan pemerintah Prancis yang tidak dilanggar warga Marseille. Ibu kota Provence ini memiliki reputasi sebagai tempat yang sulit diatur, kota pelabuhan yang menarik segala macam barang­­ selundupan dan berbagai jenis orang, beberapa di antaranya juga diselundupkan. Selama berabad-abad, kota itu berfungsi sebagai tempat berlindung bagi orang-orang yang menghindari penganiayaan, wabah penyakit, dan kemiskinan.

Belakangan, imigran yang mengalir deras ini ke­banyakan warga Muslim. Dan sekarang, jika kita layangkan pandangan ke salah satu dari sekian banyak pantai Marseille di kawasan Medi­teranea, ke arah pesisir Afrika Utara yang tak terlihat, hampir dapat dibayangkan ge­lombang besar manusia bergerak mendekat karena gejolak yang terus meluas di dunia Arab mendorong semakin banyak pengungsi dan pencari kerja menuju pesisir Eropa.

Jika menyimak para politisi konservatif, kita akan mengira bahwa gelombang imigran ini pas­ti­­­­lah berarti serangan gencar kaum puritan Islam yang akan menantang gaya hidup warga Eropa, dan memaksa setiap wanita berpakaian seperti pengantin Taliban. Pada ke­nyata­annya, banyak pria dan wanita yang ber­desakan di pan­tai Marseille berasal dari Afrika dan Arab, dan wanita mudanya memakai bikini, bukan burka.

Selama beberapa bulan dalam setahun, orang kaya dan miskin, berkulit putih dan hitam, Afrika dan Arab, Muslim, Kristen, dan Yahudi, semua berwisata di pantai, melepaskan sebagian besar baju mereka, dan bercakap-cakap di bawah terik matahari. Tanyakan dari mana mereka berasal, dan kita tidak akan mendengar Aljazair atau Maroko, Kepulauan Komoro, atau bahkan Prancis. Hampir pasti mereka menjawab, dari Marseille.

Karena semakin banyak negara Eropa men­jadi negara kaum imigran, Marseille mungkin menjadi pemandangan masa depan, bahkan men­jadi kota teladan yang menerima beragam budaya. Bukan berarti keseimbangan ini mudah dijaga. Khususnya, konflik berkepanjangan di Timur Tengah secara berkala menimbulkan ke­cemasan di kota Prancis ini.

“Selama perang Irak 1991, saya mengira bakal terjadi kerusuhan di Marseille—karena tayangan televisi yang di­saksikan oleh keluarga Muslim,” kata Michèle Teboul, Ketua cabang CRIF, Dewan Perwakilan Lembaga Yahudi Prancis, di Provence.

“Menurut kami, Jika tidak terjadi kerusuhan sekarang, artinya tidak akan pernah terjadi ke­rusuhan.” Dan ternyata tidak terjadi. Para pemimpin Muslim setempat berhasil menenangkan warga­nya lewat kerja sama dengan pemuka agama lain­nya. Begitu pula pada November 2005, ketika kebakaran yang disulut oleh kerusuhan melanda hampir semua kompleks pe­rumahan padat-imigran di berbagai kota di Prancis, warga Muslim Marseille tetap tenang.!break!

Sejumlah warga setempat yakin, dengan alasan yang masuk akal, bahwa kerukunan masyarakat Marseille yang menakjubkan ini pasti­lah akibat pantainya, yang berfungsi sebagai tempat berbaur warga. Farouk Youssoufa, 25, ber­kencan dengan istrinya Mina yang berusia 20 tahun di Pantai Corbière, dan sekarang mereka sering berkunjung ke Pantai Prado. Youssoufa dilahirkan di tanah Prancis di Kepulauan Komoro yang terletak antara Tanzania dan Mada­gaskar, dan kulitnya sehitam kulit warga Afrika lainnya. Mina berkulit putih, dilahirkan di Prancis, dan orang tuanya imigran dari Aljazair.

“Generasi baru lebih bercampur-baur,” kata Youssoufa, yang pekerjaannya berurusan dengan anak-anak dengan berbagai warna kulit dan latar belakang etnik di sebuah pusat ke­budayaan di salah satu permukiman yang paling rawan di utara Marseille. Khususnya di pantai, “banyak sekali komunitas yang berbaur dan me­ngobrol bersama,” kata Youssoufa pada siang hari yang amat panas di bulan Mei. “Voilà: lama-kelamaan kami belajar untuk hidup rukun.”

Namun, “voilà”, kata yang sering muncul dalam percakapan warga Marseille, terlalu me­nyederhanakan keadaan yang sebenarnya. Sua­sana pantai yang netral dan tenteram tidak selalu terasa di perkotaan. Saat matahari ter­benam di pantai, berbagai prasangka dapat ber­munculan. Banyak sekali rasisme di Marseille, kata Mina, termasuk di kalangan pria dan wanita Muslim yang keluarganya tidak akur. “Saat saya dan Youssoufa berada di tempat ramai, tidak masalah. Tetapi, di permukiman  Arab, saat me­lintas, kami sering dipandangi dan kadang saya dihina.”

Cerita semacam ini menimbulkan pertanya­an, apakah Marseille benar-benar contoh ke­hidupan kota kosmopolitan yang harmonis—atau apakah warganya berada di tepi jurang kerusuhan.

Gedung balai kota Marseille yang ber­atap­kan keramik, yang dibangun pada masa Louis XIV, tidak sebagus gedung lain milik pemerintah Prancis. Dalam brosur pariwisata di­gambarkan sebagai memiliki “ukuran sedang”. Tidak begitu dengan wali kotanya. Jean-Claude Gaudin berperawakan gemuk, sering mengenakan setelan dengan lipatan ganda di dada yang tidak di­kancingkan. Gaudin, 72 tahun, menjadi wali kota sejak 1995 dan tampaknya masih akan lama menduduki posisi ini.

Di luar, perahu layar memenuhi Vieux-Port, tiangnya tampak berkilauan terkena cahaya matahari pagi. Meskipun udara panas, jendela sengaja dibuka karena “AC mem­buat tenggorokan saya sakit,” ujar Gaudin. Suasana­nya merupakan kombinasi yang ganjil: udara subtropis bertiup menghangatkan hiasan barok.

“Marseille adalah kota tertua di Prancis,” sang wali kota mulai menjelaskan. “Usianya sudah 2.600 tahun.” Sejenak saya mengira Gaudin akan berkata, sebagaimana kebiasaan warga Marseille, bahwa kota itu dibangun oleh warga Phoenix: “Marseille, putih, hangat, semarak; Marseille, adik Tyre dan Carthage, penerus kerajaan Mediteranea; Marseille, selalu makin muda saat usianya makin bertambah,” begitu yang ditulis Alexandre Dumas. Namun, Gaudin ingin menyampaikan hal lain.!break!

“Ini kota pelabuhan,” ujar sang wali kota, “se­hingga kami sudah terbiasa dikunjungi orang asing. Kotanya sendiri dihuni oleh berbagai lapisan penduduk, berdatangan dari manca­negara karena berlangsungnya peristiwa inter­­nasional.” Setelah 1915, misalnya, warga Armenia yang menghindari genosida di Turki mulai berdatangan. Pada 1930-an, warga Italia yang melarikan diri dari fasisme menetap di Marseille.

Setelah perang Dunia II, imigrasi Yahudi dari Amerika Utara dimulai. Dan pada 1962, setelah Prancis melepaskan kendali pen­jajahan atas Aljazair, Maroko, dan Tunisia (negara-negara Maghribi), berdatanganlah puluh­an ribu pieds-noirs, atau kaki hitam, yang sebenarnya warga Prancis kulit putih yang me­ninggal­kan Aljazair yang baru merdeka. Padahal, banyak yang sudah tinggal di sana selama beberapa generasi.

Pada waktu yang sama, “setelah dekolonisasi ‘Afrika hitam,’ dalam tanda petik,” begitu Gaudin menjelaskan, “dan kemerdekaan negara-negara Maghribi,” berangsur-angsur Marseille dipenuhi berbagai macam orang “issus de l’immigration”—akibat imigrasi. Bahkan saat wali kota mengatakannya, dia tampak kurang nyaman mengucapkan istilah halus “issus de l’immigration”, sehingga saya menanyakannya lebih jauh. “Artinya, sering kali generasi kakek dan nenek tetap tinggal di Aljazair, generasi orang tua datang kemari, dan para cucu menjadi warga negara Prancis, tetapi bernama belakang Arab,” kata Gaudin. Dengan kata lain, orang yang berkewarganegaraan Prancis karena lahir di sini tetap dipandang sebagai orang asing.

Namun, wali kota Marseille hanya bisa me­nerka berapa banyak warga kotanya—20, 25 persen?—yang termasuk issus de l’immigration. Dia tidak tahu berapa banyak yang keturunan Arab atau Afrika. Dia tidak tahu berapa banyak yang berasal dari keluarga Muslim. Sesuai dengan “nilai-nilai republik” Prancis—berpaham sekuler dan egaliter—dianggap melanggar hukum apabila pejabat pemerintah, termasuk pencatat sensus, mencatat ras, agama, atau suku bangsa warga negara.

Gereja dan negara bukan saja terpisah, tetapi agama bahkan dikesampingkan. Jika Anda warga Prancis, Anda orang Prancis: tidak kurang, tidak lebih, titik. Tetapi, Gaudin tahu bahwa untuk generasi kedua bahkan ketiga, asimilasi tidak selalu ber­langsung mulus. Tantangan bagi kota mana pun yang penduduk imigrannya berjumlah besar bukanlah cara menangani gelombang imigran pertama, melainkan apakah anak cucu mereka berhasil atau gagal beradaptasi.

Gaudin dikenal suka secara diam-diam men­cemoohkan “nilai-nilai republik” Prancis yang dibangga-banggakan itu. Mungkin dia tidak tahu berapa banyak warga kotanya yang Muslim, tetapi dia sadar bahwa dia harus mencari cara praktis untuk menyikapi mereka. Salah satu cara­nya adalah mengaburkan pandangan resmi pemerintah yang memisahkan negara dan gereja.

Pada 1990-an, balai kota merangkul para pemuka agama untuk membentuk Marseille Espérance, atau Harapan Marseille, gabungan antara pemuka agama Yahudi, Kristen, Buddha, dan Islam yang membantu memandu kota melalui berbagai krisis yang dipicu oleh konflik di dalam dan luar negeri selama dua dasawarsa terakhir. Kota madya bekerja sama dengan para pemuka agama untuk meredam ke­rusuhan di jalan.

Kota juga mendukung stasiun radio, permakaman, dan kelompok warga yang bernuansa agama. Kerja sama antara pemerintah dan pemuka agama ini mungkin bertentangan dengan kebijakan resmi, tetapi di Marseille, kepraktisanlah yang membuahkan hasil.!break!

Gaudin menjelaskan bahwa pantai bukanlah satu-satunya tempat yang membuat warganya berbaur dengan mulus. “Segi positif lainnya bagi Marseille adalah bahwa kota ini dikelilingi rangkaian pegunungan.” Kaum imigran dan penghuni-lama belajar hidup rukun. Dalam waktu 30 tahun setelah perang Dunia II—les trente glorieuses, begitu istilahnya dalam bahasa Prancis—tatkala ekonomi negara yang tumbuh pesat memerlukan pekerja asing untuk pabrik, banyak kota di Prancis secara terburu-buru mem­­bangun kompleks perumahan imigran di pinggiran kota yang jaraknya jauh.

“Yang kami lakukan justru sebaliknya,” kata Gaudin. “Kami membangunnya di dalam kota.”

Pusat kota adalah “distrik yang dihuni oleh banyak sekali warga Afrika Utara,” kata Gaudin. Di jantung kota Marseille, di alun-alun Porte d’Aix, para pedagang Arab menjual banyak se­kali gamis dan jilbab, kedai teh menyajikan camil­an manis berlumur madu, dan biro per­jalanan menawarkan perjalanan haji ke Mekkah.

Seluruh lingkungan permukiman di­penuhi imigran yang berusaha menemukan tempat untuk kehidupan baru dan menerapkan kebudayaan lama mereka, meskipun kedua unsur itu berevolusi menjadi sesuatu yang baru dan berbeda. Salah satu masjid tertua kota itu, El Takwa, terdapat di sini; di sejumlah kafe, kaum lelaki tua menyeruput kopi sambil mengenakan kopiah khas Kepulauan Komoro; banyak wanita mengenakan jilbab yang biasa di­kenakan wanita Muslim konservatif. Hanya se­gelintir yang mengenakan pelindung wajah sangat konservatif, niqab, yang menutupi se­luruh wajah.

Dan sekarang semakin sedikit yang mengena­kannya. Pada April 2011, peme­rintahan Presiden Nicolas Sarkozy melarang pemakaian pelindung wajah di depan umum. Saat Idul Adha, saya duduk di dekat pasar di Rue Longue des Capucins—yang tampak seperti jalan di Aljir atau Tangier—menikmati segelas anggur merah. Saya perhatikan seorang lelaki berjanggut di pasar menggendong sesuatu yang tadinya saya kira bayi telanjang.

Kemudian, saya baru sadar bahwa benda itu itu kambing yang sudah dikuliti dan siap disembelih. Penyembelihan domba setiap tahun pada hari Idul Adha ini menjadi masalah politik karena pemerintah kota berusaha membatasi agar penjagalan resmi dilakukan di pinggiran kota. Namun, bahkan di situ pun, mereka yang tidak menyukai budaya Muslim yang dianggap keterlaluan mengatakan banjir darah hewan itu sebagai lambang kebiadaban.

“Terdapat xenofobia yang menyeruak dari waktu ke waktu,” Gaudin mengakui hal itu saat kami berbincang di kantornya. “Tetapi, kebijakan saya justru benar-benar bertolak belakang—kebijakan tentang kedermawanan, persaudaraan dan persatuan—sejauh yang dapat saya lakukan.”

Salah satu ujian bagi usaha Marseille untuk menampung penduduknya yang terus mem­bengkak yang merupakan masalah de l’immigration adalah pertanyaan tentang apa­kah, di mana, dan bagaimana kaum Muslim ber­ibadah. Pada hari Jumat, sejumlah rumah ibadah yang relatif kecil di Marseille menye­babkan jamaahnya meluap ke jalan, dan kadang menghalangi jalan. Pemandangan ini disitir oleh politisi sayap kanan sebagai bukti bahwa gerombolan Islam telah merambah kota. “Kita warga Prancis digantikan oleh orang lain dan budaya, agama, dan pola hidup mereka,” kata Stéphane dari Front Nasional sayap kanan. “Gelombang imigrasi begitu deras dalam 20 tahun terakhir ini sehingga kita terbenam.”

“Terdapat lebih dari 70 masjid dan musala di Marseille,” kata Gaudin, tetapi jelas jumlah ini tidak cukup. Gagasan mendirikan masjid besar telah menarik dukungan. “Penduduk setuju—sebanyak 60 persen. Mereka mengerti bahwa setiap agama perlu memiliki monumen yang signifikan,” kata Gaudin. Peletakan batu pertama masjid itu dilakukan pada Mei 2010. Ketua masjid agung di Paris menghadiri upacara itu. Seorang politisi Partai Sosialis menyatakan pembangunan masjid itu menandakan “masya­rakat yang hidup berdampingan penuh persaudaraan.” Pembangunan itu diperkirakan selesai pada 2013.!break!

Tiga bulan kemudian, saya meminta sopir taksi membawa saya ke lokasi itu, kompleks bangunan yang pernah berfungsi sebagai rumah jagal. “Anda meminta saya mengantarkan Anda ke lokasi itu?” tanya si sopir, yang jelas tidak menyetujui pembangunan masjid itu. “Invasi sudah dimulai,” katanya saat kami menempuh perjalanan menuju bukit.

Komite yang mendukung pembangunan masjid berencana agar muazin tidak melantang­kan suaranya dan sebagai gantinya menandai waktu salat dengan cahaya dari menara. Tetapi, kaum konservatif melancarkan protes bahwa menara bangunan bernilai Rp270 miliar itu akan mendominasi langit Marseille, yang sudah lama disediakan untuk gereja Notre-Dame de la Garde. Ketika saya tiba di lokasi itu, tidak ada tanda pendirian menara, tidak ada tanda pem­bangunan sama sekali, kecuali beberapa surat izin yang ditempelkan di dinding.

Gaudin mengusulkan agar sebagian dari kompleks rumah jagal itu diubah menjadi masjid untuk menekan biaya. Tetapi, tidak seorang pun dalam masyarakat Muslim menyetujuinya. Membayangkan penggunaan gedung di dekat tempat penyembelihan hewan di luar rumah ibadah sangat menyinggung perasaan banyak orang. Mereka bersikeras bahwa masjid harus dibangun di atas tanah kosong.

Setahun setelah peletakan batu pertama, saya datang lagi ke lokasi itu. Belum ada ke­majuan apa-apa. Orang yang menggalang dana untuk masjid dipaksa mengundurkan diri oleh pengurus lainnya. Setelah pertikaian itu, dana pun tidak mengalir lagi. Bangunan yang seharusnya melambangkan “hidup ber­dampingan dengan semangat persaudaraan” di kalangan warga Marseille justru menjadi lambang perpecahan di kalangan Muslim sendiri. Oktober lalu, setelah terus-menerus menerima protes dari para pemilik toko dan penduduk karena tidak ada tempat parkir bagi jemaah yang mungkin berdatangan ke masjid, izin pembangunannya dicabut.

“Jika Anda bukan warga Marseille, Anda pasti mengira ada perasaan kebersamaan yang indah, tempat semua komunitas [Muslim] berbaur,” kata Omar Djellil dari Masjid El Takwa di Porte d’Aix.

“Tetapi, itu hanya dari luar. Karena keterikatan budaya, orang lebih suka berkumpul dengan kalangannya sendiri. Warga Kepulauan Komoro dengan sesama warga Komoro, warga asal Aljazair dengan se­sama Aljazair, warga asal Moroko juga dengan sesama Maroko. Voilà!”

Yang merisaukan sebagian warga Mar­seille bukanlah karikatur Talibanisasi yang di­lancar­kan kaum ekstremis sayap kanan, melainkan yang menurut mereka peng-Islaman perlahan-lahan penduduk kota yang kebanyakan pekerja kasar—dan bukan hanya issus de l’immigration. “Saya rasa budaya Muslim jelas mengambil-alih masyarakat kelas bawah,” kata Michèle Teboul dari CRIF. “Banyak perkawinan campuran dengan Muslim.”

“Integrasi sejati,” komentar saya.“Tergantung,” ujar Teboul. “Tergantung pada apakah ada campuran antara dua bu­daya dan bukannya budaya yang satu meng­ungguli budaya lainnya,” katanya. Di Prancis, menurutnya, pelembagaan sekularisme dan ke­laziman di masyarakat telah melemahkan sistem nilai dalam masyarakat dan menyebabkan orang tidak lagi memiliki tradisi yang kuat.

“Mencintai tanah air, mencintai negara, memiliki nilai-nilai—baik berupa agama atau nilai lainnya—telah dikesampingkan oleh orang yang berpandangan politik ortodoks, dan hal ini mendorong pecahnya keluarga yang tidak lagi memiliki pegangan, terutama kalangan kurang mampu.” Islam, ujar Teboul, menawarkan tujuan hidup yang bermakna bagi mereka.!break!

Banyak kaum muda Muslim pasti tercengang mendengar kerisauan Teboul ini. Berpegang pada tradisi Islam tampaknya tidak ada guna­nya juga bagi mereka yang hidup dalam dunia dengan berbagai budaya. Suara mereka tidak cukup kuat dalam bidang politik.

Jika pakaian, musik, dan budaya pop bisa dijadikan petunjuk, tampaknya banyak anak Muslim tumbuh besar bukan dalam lingkungan Islam radikal, tetapi dalam lingkungan budaya yang diimpor dari Amerika. Suara dan pe­nampilan hip-hop amat populer di Marseille, kota yang dihuni oleh banyak pelaku kriminal.

Farouk Youssoufa, pembimbing remaja yang me­nangani imigran di utara Marseille, se­tiap hari menyaksikan sendiri betapa meng­goda­nya melakukan tindak kriminal. “Ada per­­dagangan narkoba,” katanya, saat kami mem­­perhatikan puluhan remaja menari hip-hop. Istri Youssoufa adalah seorang pengajar di karang taruna itu.

Saya tanyakan apakah dia pernah berkeinginan mengenakan jilbab. “Mudah-mudahan,” jawab­nya, yang membuat saya heran. “Tapi nanti saat tua,” dia me­nambahkan. “Seberapa tua?” saya bertanya lagi. Mungkin kalau sudah 40, katanya. Jelas dia membayangkan saat itu masih lama.

Akan seperti apa Marseille saat itu? Mungkin kota pertama di Eropa yang mayoritas warganya berlatar belakang Muslim. Banyak kota lain akan memiliki warga Muslim sebanyak yang ada di Marseille sekarang, dan sebagian besar akan mengalami kerisauan yang sama dalam hal integrasi.

Tetapi, sulit membayangkan jika di pesisir Mediteranea di sini, pantainya akan berkurang keramaiannya, atau bahwa orang-orangnya akan menganggap diri mereka bukan lagi warga Marseille.