Belanga Budaya Marseille

By , Jumat, 24 Februari 2012 | 14:40 WIB

Yang merisaukan sebagian warga Mar­seille bukanlah karikatur Talibanisasi yang di­lancar­kan kaum ekstremis sayap kanan, melainkan yang menurut mereka peng-Islaman perlahan-lahan penduduk kota yang kebanyakan pekerja kasar—dan bukan hanya issus de l’immigration. “Saya rasa budaya Muslim jelas mengambil-alih masyarakat kelas bawah,” kata Michèle Teboul dari CRIF. “Banyak perkawinan campuran dengan Muslim.”

“Integrasi sejati,” komentar saya.“Tergantung,” ujar Teboul. “Tergantung pada apakah ada campuran antara dua bu­daya dan bukannya budaya yang satu meng­ungguli budaya lainnya,” katanya. Di Prancis, menurutnya, pelembagaan sekularisme dan ke­laziman di masyarakat telah melemahkan sistem nilai dalam masyarakat dan menyebabkan orang tidak lagi memiliki tradisi yang kuat.

“Mencintai tanah air, mencintai negara, memiliki nilai-nilai—baik berupa agama atau nilai lainnya—telah dikesampingkan oleh orang yang berpandangan politik ortodoks, dan hal ini mendorong pecahnya keluarga yang tidak lagi memiliki pegangan, terutama kalangan kurang mampu.” Islam, ujar Teboul, menawarkan tujuan hidup yang bermakna bagi mereka.!break!

Banyak kaum muda Muslim pasti tercengang mendengar kerisauan Teboul ini. Berpegang pada tradisi Islam tampaknya tidak ada guna­nya juga bagi mereka yang hidup dalam dunia dengan berbagai budaya. Suara mereka tidak cukup kuat dalam bidang politik.

Jika pakaian, musik, dan budaya pop bisa dijadikan petunjuk, tampaknya banyak anak Muslim tumbuh besar bukan dalam lingkungan Islam radikal, tetapi dalam lingkungan budaya yang diimpor dari Amerika. Suara dan pe­nampilan hip-hop amat populer di Marseille, kota yang dihuni oleh banyak pelaku kriminal.

Farouk Youssoufa, pembimbing remaja yang me­nangani imigran di utara Marseille, se­tiap hari menyaksikan sendiri betapa meng­goda­nya melakukan tindak kriminal. “Ada per­­dagangan narkoba,” katanya, saat kami mem­­perhatikan puluhan remaja menari hip-hop. Istri Youssoufa adalah seorang pengajar di karang taruna itu.

Saya tanyakan apakah dia pernah berkeinginan mengenakan jilbab. “Mudah-mudahan,” jawab­nya, yang membuat saya heran. “Tapi nanti saat tua,” dia me­nambahkan. “Seberapa tua?” saya bertanya lagi. Mungkin kalau sudah 40, katanya. Jelas dia membayangkan saat itu masih lama.

Akan seperti apa Marseille saat itu? Mungkin kota pertama di Eropa yang mayoritas warganya berlatar belakang Muslim. Banyak kota lain akan memiliki warga Muslim sebanyak yang ada di Marseille sekarang, dan sebagian besar akan mengalami kerisauan yang sama dalam hal integrasi.

Tetapi, sulit membayangkan jika di pesisir Mediteranea di sini, pantainya akan berkurang keramaiannya, atau bahwa orang-orangnya akan menganggap diri mereka bukan lagi warga Marseille.