Mesir Kini

By , Selasa, 1 Mei 2012 | 14:55 WIB

Saleh memberikan banyak alasan. Sisa rezim dan partai yang berkuasa masih bertahan di berbagai tingkat pemerintahan federal maupun lokal. Tingkat buta huruf termasuk tinggi (sekitar 40 persen pada orang dewasa berusia 25 hingga 65). Banyak penduduk Mesir memandang revolusi hanya sebagai kesempatan untuk menjarah apa pun yang mereka mau atau membuat kesepakatan. Berbeda dari negara-negara Eropa Timur yang memerdekakan diri dari komunisme, Mesir bukanlah bagian dari wilayah praktik demokrasi yang besar. "Negara-negara Arab tidak akan dengan mudah menerima demokrasi," tutur Saleh, "sebagian karena bertentangan dengan aturan ayah atau kepala sukunya. Jika seorang ayah berkata, 'Jangan bermain,' Anda tak akan bermain. Si ayah adalah diktator. Bagaimana Anda mengubah mentalitas penduduk Mesir dalam waktu sesingkat ini?"

Perangai demikian dimiliki oleh banyak orang yang jauh dari Tahrir. Pendapat seperti itu disuarakan oleh mereka yang seperti Saleh, mendukung idealisme revolusi namun tetap berhati-hati dan juga mereka yang ingin kembali pada kepemimpinan autokrasi. Keraguan tersebut menimbulkan banyak pertanyaan: Seberapa kuat dan dalamkah semangat revolusi Mesir? Apakah kita sedang melihat satu revolusi dengan tujuan bersama atau banyak revolusi yang saling bersaing? Mungkinkah Mesir kembali ke pola kepemimpinan diktator—yang awalnya tidak korup dan mendukung kebebasan berpikir, namun pada dasarnya sama?

Sebuah Visi IslamiMohammed Nasser, seorang pemuda yang saya temui di Tahrir di tengah puncak aksi protes, adalah seorang Salafi. Ia menganggap generasi awal pengikut Nabi Muhammad, yakni para salaf (nenek moyang), sebagai wakil sebuah era keemasan yang harus dimuliakan kembali. (Salafi ternyata meraih keberhasilan di Mesir pada pemilihan anggota parlemen 2011-2012, dengan memenangi hampir 25 persen kursi.) Nasser berjanggut panjang, berkumis tercukur bersih sebagaimana para penganut Salafi, dan bermata teduh. Saat saya pertama kali bertemu dengannya, dia adalah seorang sarjana pengangguran dengan seorang istri dan bayi. Dia merantau ke Kairo tanpa membawa cukup uang untuk pulang dan bertahan hidup hanya dengan roti dan kurma selama berhari-hari.

Saya menelepon melalui ponselnya berbulan-bulan kemudian, dan Nasser mengundang saya mengunjungi rumahnya di Delta Nil, di dekat Zagazig. Saya dan Khaled datang membawa sekantong buah segar, Nasser tidak mau menerima pemberian kami. Tetapi akhirnya dia mengalah dan mempersilakan kami memasuki apartemen mungilnya. Istri Nasser yang selalu mengenakan gamis hitam dan niqab atau cadar tertutup di depan umum, tidak sekali pun keluar dari dapur. Dia tidak bersedia menjumpai pria yang bukan keluarganya di rumahnya, dan jika tamu wanita datang, para pria di apartemen pindah ke tempat lain. Kakak ipar Nasser, seorang guru bahasa Inggris bernama Abdel Halim Gamal Eddin, turut menemui kami.

Nasser menanyakan apakah saya lebih nyaman makan di atas meja kopi atau duduk di lantai berkapet, selayaknya penduduk Mesir. Saya memilih makan di lantai. Makanan dihidangkan di tengah-tengah kami: daging empuk—yang kami kelupas dari tulangnya dengan jari—nasi, sup, dan fatta—yang terdiri dari roti bakar dan sayuran, dan dimasak dengan kaldu daging. Karena menganggap daging yang saya ambil sedikit, Nasser berkeras agar saya mengambil lebih banyak lagi.!break!

Saya bertanya tentang dampak revolusi bagi kehidupan Nasser. Walaupun memiliki ijazah universitas, Nasser mendapatkan 500 pound (sekitar 830 ribu rupiah) sebulan dari pekerjaannya memasang ubin. Seperti banyak rakyat Mesir lainnya, dia merupakan bagian dari sektor ekonomi informal yang besar, para pekerja harian. Namun dia tidak berpartisipasi di Tahrir karena frustrasi terhadap kemungkinan finansialnya sendiri, katanya. "Itu bukan revolusi untuk rakyat miskin. Itu revolusi untuk melawan ketidakadilan."

Kendati rakyat Mesir menyesalkan keamanan umum yang terkikis, hanya segelintir yang mengharapkan kehadiran kembali pasukan keamanan negara yang ditakuti publik. Para polisi itu memata-matai semua orang dan mengelola sel penyiksaan. Rezim Mubarak menghalalkan penegakan keamanan secara brutal untuk menekan musuh, terutama para Islamis. Mubarak khawatir para Islamis akan merebut kekuasaan.

Gamal Eddin, 35, menuturkan penga­lamannya dipenjara selama empat tahun di bawah pemerintahan Mubarak, akibat khotbahnya mengenai kewajiban umat Muslim membebaskan Masjid Al Aqsa di Yerusalem. Dia tampaknya sangat dihormati oleh orang-orang lain. Dia murah senyum dan berpembawaan ramah, bahkan saat bercerita tentang penjara. dia dikirim ke penjara bawah tanah di Kairo. Mereka menutup mata dan membelenggunya di sana selama 38 hari. Borgolnya bercap Made in USA. Ia ditahan hingga 2010 dan dia tidak pernah dijatuhi vonis resmi.

Kini dia mendambakan presiden yang "tegas namun baik," seseorang yang bisa menjalankan aturan Islam dengan tegas "secara berangsur-angsur, agar masyarakat bisa menerimanya." Ketika saya menyebutkan bahwa seorang wanita Mesir berniat mencalonkan diri sebagai presiden, Nasser dan Gamal Eddin menggeleng. Keduanya berkeras bahwa Islam tidak mengizinkan hal itu. Presiden juga tidak boleh beragama Kristen. Itu akan memicu "banyak masalah" di sebuah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, menurut mereka.

Pasukan keamanan baru saja menghadapi unjuk rasa umat Kristen di Kairo; sekitar 24 orang terbunuh. Gamal Eddin menekankan bahwa desa mereka memiliki sebuah "gereja besar" dan mengatakan, "Tidak pernah terpikir oleh kami untuk melakukan diskriminasi." Ketika saya menanyakan apakah makam-makam dan kuil-kuil firaun sebaiknya dihancurkan, sebagaimana pendapat para Islamis radikal, kedua pria itu menyerahkannya pada wewenang pemuka agama mereka. Saat saya mendesak, Gamal Eddin mengungkapkan bahwa Amr ibn al-As, komandan militer Muslim yang memimpin penaklukan Mesir pada abad ke-tujuh, tidak pernah merusak monumen-monumen yang ada, dan itu bagus. "Revolusi belum selesai," kata Nasser. Namun dia melihat kemajuan. "Sebelumnya, tak ada dialog tentang masa depan. Sekarang sudah ada."

Rekan saya, Khaled, seorang petualang yang menggemari musik, luwes bergaul dengan wanita, dan sesekali menikmati anggur, mengagumi kedua Islamis tersebut. Rakyat Mesir mengidentifikasikan diri dengan fundamentalis Islam karena mereka telah "sangat lama tertindas," kata Khaled, dan karena mereka cenderung konservatif dalam hal sosial. Kebanyakan rakyat Mesir keberatan terhadap pandangan liberal yang terbuka. Mereka khawatir, kata Khaled, perubahan politik akan menjadikan Mesir seperti "Paris, menjadikan kami semua seperti orang Amerika."!break!

Pusat ModernitasSaya dan Khaled menempuh sebagian besar perjalanan kami hanya beberapa kilometer dari Sungai Nil, di lembah subur yang berbatasan dengan gurun. Hanya sekitar lima persen daerah Mesir yang dapat ditinggali. Di balik lembah terdapat wilayah kering kerontang yang oleh penduduk Mesir kuno disebut "tanah merah."