Begitu kami tiba di Alexandria, menghirup udara laut dari Mediterania yang bertiup di sepanjang pesisir terasa membebaskan. Alexandria telah sejak lama menjadi gerbang Mesir menuju dunia luar. Sejak dahulu, kota ini telah menjadi pusat kosmopolitan tempat banyak bahasa diucapkan dan gagasan-gagasan dipertukarkan. Ahli sejarah Mostafa El-Abbadi, 83, menuturkan bahwa pada masa mudanya, di kota ini terdapat 16 surat kabar harian dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Yunani, Italia, Inggris, dan Armenia.
Aspek-aspek kosmopolitan Alexandria mulai pudar selama era Gamal Abdel Nasser, yang berupaya memusatkan kekuasaan di Kairo. Kini Alexandria penuh sesak dan miskin. Tetapi beberapa tokoh Mesir bertekad untuk mengembalikan kejayaannya.
Tidak ada tempat yang lebih tepat untuk melambangkan hal itu selain Perpustakaan Alexandria, sebuah fasilitas modern dan cemerlang yang dibuka pada 2002, tidak jauh dari situs pendahulunya. Pengunjung bisa masuk melalui pintu-pintu kaca besar, dan detektor logam. Kami melihat orang-orang dari berbagai latar belakang dan ideologi di sana, termasuk wanita ber-niqab hitam dan pria ber-galabia putih, lengkap dengan janggut panjang yang kerap melambangkan fundamentalis garis keras. Seorang wanita ber-hijab, jenis kerudung yang menutupi rambut namun membiarkan wajah tetap terbuka, sedang membuat riset tentang Shakespeare, dan seorang pemuda Mesir berkaus merah jambu datang untuk mengunduh berbagai macam permainan dan film.
Sebuah patung abstrak seorang wanita telanjang menjulang tinggi. Patung itu, yang bernama "Hypatia," dipotong dari lempengan baja dan menunjukkan lekuk tubuh seorang wanita anggun berdada ranum. Namanya diambil dari seorang wanita ahli matematika, astronomi, dan filsafat di Alexandria kuno. Sebuah plakat di bawahnya menyebutkan bahwa Hypatia dibunuh oleh para ideologis fanatik."
Bisa dikatakan, perpustakaan Alexandria lebih revolusioner daripada Tahrir. Fasilitasnya mencakup satu perpustakaan untuk tuna netra, dua perpustakaan untuk anak-anak, satu perpustakaan khusus atlas, pusat riset akademik, satu museum arkeologi, ruang pameran seni rupa, satu planetarium, komputer-komputer yang tersambung dengan Internet dan akses Wi-Fi, dan 1,24 juta buku dengan kapasitas untuk enam juta buku lagi. Pertunjukan teater dan konser kerap digelar di sana. Perpustakaan ini memiliki komputer super yang bisa membuat triliunan kalkulasi per detik. Koleksinya mencakup buku-buku yang dilarang peredarannya di tempat lain di Timur Tengah. Perpustakaan ini bisa dianggap sebagai oasis pemikiran merdeka di wilayah yang dihuni oleh orang-orang yang, kerap kali, diperintahkan untuk memikirkan sesuatu, tanpa memedulikan gagasan lain.!break!
Direktur perpustakaan Ismail Serageldin, mengatakan kepada rezim Mubarak bahwa dia hanya bersedia memegang jabatan itu apabila perpustakaan diberi wewenang untuk menegakkan keamanan sendiri, tanpa campur tangan Amn al Dawla atau polisi keamanan negara. "Kebijakan itu memungkinkan kami menyelenggarakan banyak kegiatan. Amn al Dawla tidak bisa mendatangi dan memerintah kami," kata Khaled Azab, sang kepala departemen proyek khusus. "Anda bisa memikirkan dan membicarakan apa pun di dalam Perpustakaan Alexandria."
Sebagian besar dari 2.700 pegawai perpustakaan berusia 25 hingga 35 tahun, dan generasi yang lebih muda dilibatkan dalam semua program dan perencanaan, ujar Azab. Selama aksi protes untuk menggulingkan rezim, para demonstran muda membentuk barikade di sekeliling perpustakaan untuk melindunginya dari kemungkinan perusakan.
Perjalanan di Depan MataAbu Simbel, kota-kota dan desa-desa di Lembah Sungai Nil, Delta Nil, dan Alexandria: Setiap perhentian membuka mata kami terhadap perbedaan. Rakyat kecil Mesir bekerja keras untuk bertahan, mengkhawatirkan kehidupan mereka yang sudah sulit akan semakin sulit; para Islamis idealis yang berharap untuk mengubah Mesir menjadi negara teokrasi; dan para sekularis berjuang untuk membangun Mesir yang multikultural dengan hak-hak bagi kaum minoritas dan jaminan kemerdekaan untuk semua orang.
Kebanyakan rakyat Mesir seolah-olah menunggu kemunculan pola yang jelas—agar kepingan warna-warni Mesir baru tertata di tempatnya. Perbedaan mendasar pun muncul di antara mereka yang pikirannya terfokus terutama pada stabilitas dan keamanan, dan mereka yang bersedia mengambil risiko untuk meraih perubahan demokratik yang nyata.
Di sebuah pertanian yang dijalankan dengan peralatan mesin di wilayah paling selatan negeri ini, saya bertanya kepada seorang teknisi bernama Mohammed Haggag tentang pendapat bahwa kultur otoriter memang ada di Mesir, mendarah daging di dalam keluarga dan suku, dan bahwa seorang pemimpin otoriter akan muncul kembali. Dia dengan tegas menentang. "Hubungan saya dan anak-anak saya sangat berbeda dengan hubungan saya dengan ayah saya," kata Haggag. "Jika ayah saya berkata, 'Diam,' saya akan langsung diam. Saya tidak bisa melakukan itu kepada anak-anak saya."
Apakah ini berarti Haggag, 59, menganggap revolusi akan berhasil? "Kami seolah-olah tersesat di gurun," katanya dengan nada yang menunjukkan tekad untuk bertahan. "Kami sudah menemukan jalan, namun masih membutuhkan banyak waktu untuk keluar."