Mesir Kini

By , Selasa, 1 Mei 2012 | 14:55 WIB

"Pencuri dan preman" adalah peng­gambaran sopir taksi kami untuk orang yang akan kami temui dalam perjalan­an dengan kereta kelas tiga dari Aswan ke Luxor. 

Sepertinya ini sudah jadi pandangan umum pascarevolusi di wilayah pedesaan Mesir: hati-hati dan hindari orang mencurigakan. Di stasiun, seorang polisi berwajah masam menghadang saya. "Orang asing dilarang menumpang kereta kelas tiga," tegasnya. "Dilarang!"

Saya melakukan perjalanan ini pada 2011 bersama seorang rekan sesama jurnalis dari Mesir, Khaled Nagy, yang pernah menghabiskan waktu lebih dari 200 hari meliput pemberontakan di Kairo. Dari Abu Simbel di wilayah selatan Mesir, kami menuju Alexandria, kota Mediterania di utara, dengan banyak persinggahan. Gagasan utama perjalanan ini adalah berkelana sejauh mungkin dari episentrum revolusi, Tahrir Square, untuk mengamati perubahan di seluruh Mesir.

Setelah berdebat panjang lebar dan mengalami penundaan selama empat jam, kami bisa naik ke kereta. Kami segera membayar tiket perjalanan selama lebih dari tiga jam menuju Luxor seharga 21 pound Mesir, atau sekitar 35 ribu rupiah, untuk dua orang.

Di gerbong kami, beberapa jendela sudah re­tak atau pecah kacanya, dan sebagian besar telah dibuka paksa agar udara bisa masuk. Ini penting karena tidak ada pendingin ruangan dan bau menyengat dari toilet mencemari gerbong.

Sebagian penumpang duduk diam, tatapan letih mereka tertuju ke titik tak kasatmata di luar kereta. Sebagian lainnya mengobrol menggunakan ponsel. Seorang wanita bergigi renggang, bergamis hitam khas petani, mem­bawa kardus berisi tiga ekor ayam. !break!

Para pria dan anak-anak lelaki lalu lalang di gerbong untuk menjajakan tisu, arloji, dompet, alat jahit, selimut poliester, air dingin berbotol plastik bekas, kuaci, roti, kacang goreng, kacang rebus, pamflet keagamaan, dan teh dari cerek timah besar. Saya menghabiskan sekitar lima ribu rupiah, termasuk tip berjumlah besar, untuk penyemiran sepatu. Seorang pria cacat berkesot di lantai, menadahkan tangan untuk meminta-minta. Di seberang lorong, seorang pria beserban menunjuk pemandangan deretan pohon palem di tepi Sungai Nil dan bertanya, "Apakah Anda memiliki sungai secantik ini?"

Rekan seperjalanan kami lambat laun kian ramah. Para penumpang termasuk seorang muazin yang bertugas menyerukan panggilan shalat di sebuah masjid di dekat Luxor, juga seorang pemuda yang menjalankan wajib militer di Aswan, menyangsikan revolusi. Rangkaian peristiwa di Tahrir jauh dari kehidupan mereka. "Bukankah kita hidup untuk mencari keamanan?" kata si muazin, yang tengah melakukan perjalanan bersama istri dan kedua anaknya yang masih kecil. Dia mengeluhkan kurangnya keamanan finansial masyarakat dan ekonomi yang semakin terpuruk. Dia memperoleh gaji dari pemerintah setiap bulan, namun masih banyak pekerja serabutan yang berpenghasilan hanya sepuluh pound sehari, atau kurang dari sekitar dua puluh ribu rupiah. Istri muazin tampak mengenaskan. Wanita itu menatap hampa ke luar jendela hampir sepanjang waktu, menutup hidung dengan tisu.

"Tidak ada kepercayaan, tidak ada kea­manan," kata Momen Hassan, 22, si pelaku wajib militer. Saat saya bertanya tentang revolusionaris di Tahrir, dia berkata, "Saya tidak menentang, walaupun jelas tidak mendukung mereka." Dia tidak heran terhadap penyimpangan rezim sebelumnya, namun dia mengibaratkan korupsi dengan pohon berakar dalam: Anda bisa menebangnya, tetapi seiring waktu, pohon itu akan tumbuh kembali. "Demokrasi memang bagus," katanya, "tetapi jangan sampai kita tergesa-gesa. Apabila kita melonggarkan kendali, orang akan bertindak semau mereka. Kita harus tegas."Pendapat ini sudah umum di wilayah pedesaan. Hampir di semua tempat yang kami datangi, rakyat Mesir mengungkapkan kerisauan tentang keamanan. Banyak di antara mereka yang nyaris paranoid akibat semakin banyaknya kasus pencurian yang jarang terjadi sebelum revolusi, juga kerusuhan. Seorang sopir taksi di Luxor bahkan membeli pistol Beretta untuk disimpan di bawah joknya.

Di Bawah Bayang FiraunKetegangan ini cukup untuk menyeret negara ke dalam keterpurukan. Turisme adalah kontributor besar bagi perekonomian Mesir. Namun semua situs pariwisata terbengkalai. Di kuil Ramses yang Agung di Abu Simbel, kios-kios suvenir terkunci rapat, dan gerbang besi putarnya bergeming. Penjaga berbusana tradisional Mesir, galabia, berjaga di dekat Danau Nasser, menanti ikan atau buaya memunculkan riak di permukaan air tenang.

Tidak ada hiruk pikuk wisatawan di dalam kuil. Tidak ada aroma tajam parfum Eropa, tidak ada keluhan tentang udara yang panas ataupun kerepotan berwisata. Tidak ada pemandu wisata yang menjelaskan alasan Ramses II membantai Suku Hittite di salah satu relief kuno atau menikam Libya di relief lainnya. Dalam keadaan normal, jumlah turis asing bisa mencapai 3.000 orang. Mereka mengantri di sepanjang koridor yang dijaga oleh delapan patung firaun besar, untuk mencapai kuil dalam, tempat berkas sinar matahari menembus tepat di tengahnya dua kali dalam setahun. Tetapi delapan bulan setelah revolusi Mesir menggulingkan Presiden Hosni Mubarak, jumlah pengunjung anjlok menjadi sekitar 150 orang per hari. Pada Sabtu pukul empat sore, tidak ada orang lain di kuil. Hanya seekor walet terbang di antara pilar-pilar.

Di luar kuil, Ahmad Saleh mengajak saya menikmati segelas teh panas. Saleh adalah seorang ahli sejarah Mesir dan direktur Abu Simbel beserta monumen lainnya di Nubia, bagian terselatan Mesir yang berbatasan dengan Sudan. "Inilah masalah yang timbul pascarevolusi," kata Saleh. Masih banyak yang harus dibenahi, dan "turis takut diserang jika  datang kemari." Saya menyebutkan kepadanya, banyak penduduk Mesir menengarai masalah ekonomi yang sedang mereka alami sekarang sebagai suatu keharusan. Mereka memandang Mubarak sebagai "firaun terakhir" dan yakin bahwa era baru telah tiba—masa rehat dengan sejarah berumur lebih dari 5.000 tahun.!break!

Saleh tersenyum malu. "Baik Ramses maupun Mubarak tahu cara memanfaatkan propaganda," katanya. "Keduanya memiliki latar belakang militer dan telah membentuk dinasti." Namun sejumlah firaun pernah digulingkan, katanya, namun pemerintahan dinasti kembali berjaya. "Kehidupan politik di Mesir belum cukup berubah untuk memastikan Mubarak sebagai firaun terakhir. Kami sudah berada di ambang demokrasi, tetapi belum sepenuhnya sampai."

Saleh memberikan banyak alasan. Sisa rezim dan partai yang berkuasa masih bertahan di berbagai tingkat pemerintahan federal maupun lokal. Tingkat buta huruf termasuk tinggi (sekitar 40 persen pada orang dewasa berusia 25 hingga 65). Banyak penduduk Mesir memandang revolusi hanya sebagai kesempatan untuk menjarah apa pun yang mereka mau atau membuat kesepakatan. Berbeda dari negara-negara Eropa Timur yang memerdekakan diri dari komunisme, Mesir bukanlah bagian dari wilayah praktik demokrasi yang besar. "Negara-negara Arab tidak akan dengan mudah menerima demokrasi," tutur Saleh, "sebagian karena bertentangan dengan aturan ayah atau kepala sukunya. Jika seorang ayah berkata, 'Jangan bermain,' Anda tak akan bermain. Si ayah adalah diktator. Bagaimana Anda mengubah mentalitas penduduk Mesir dalam waktu sesingkat ini?"

Perangai demikian dimiliki oleh banyak orang yang jauh dari Tahrir. Pendapat seperti itu disuarakan oleh mereka yang seperti Saleh, mendukung idealisme revolusi namun tetap berhati-hati dan juga mereka yang ingin kembali pada kepemimpinan autokrasi. Keraguan tersebut menimbulkan banyak pertanyaan: Seberapa kuat dan dalamkah semangat revolusi Mesir? Apakah kita sedang melihat satu revolusi dengan tujuan bersama atau banyak revolusi yang saling bersaing? Mungkinkah Mesir kembali ke pola kepemimpinan diktator—yang awalnya tidak korup dan mendukung kebebasan berpikir, namun pada dasarnya sama?

Sebuah Visi IslamiMohammed Nasser, seorang pemuda yang saya temui di Tahrir di tengah puncak aksi protes, adalah seorang Salafi. Ia menganggap generasi awal pengikut Nabi Muhammad, yakni para salaf (nenek moyang), sebagai wakil sebuah era keemasan yang harus dimuliakan kembali. (Salafi ternyata meraih keberhasilan di Mesir pada pemilihan anggota parlemen 2011-2012, dengan memenangi hampir 25 persen kursi.) Nasser berjanggut panjang, berkumis tercukur bersih sebagaimana para penganut Salafi, dan bermata teduh. Saat saya pertama kali bertemu dengannya, dia adalah seorang sarjana pengangguran dengan seorang istri dan bayi. Dia merantau ke Kairo tanpa membawa cukup uang untuk pulang dan bertahan hidup hanya dengan roti dan kurma selama berhari-hari.

Saya menelepon melalui ponselnya berbulan-bulan kemudian, dan Nasser mengundang saya mengunjungi rumahnya di Delta Nil, di dekat Zagazig. Saya dan Khaled datang membawa sekantong buah segar, Nasser tidak mau menerima pemberian kami. Tetapi akhirnya dia mengalah dan mempersilakan kami memasuki apartemen mungilnya. Istri Nasser yang selalu mengenakan gamis hitam dan niqab atau cadar tertutup di depan umum, tidak sekali pun keluar dari dapur. Dia tidak bersedia menjumpai pria yang bukan keluarganya di rumahnya, dan jika tamu wanita datang, para pria di apartemen pindah ke tempat lain. Kakak ipar Nasser, seorang guru bahasa Inggris bernama Abdel Halim Gamal Eddin, turut menemui kami.

Nasser menanyakan apakah saya lebih nyaman makan di atas meja kopi atau duduk di lantai berkapet, selayaknya penduduk Mesir. Saya memilih makan di lantai. Makanan dihidangkan di tengah-tengah kami: daging empuk—yang kami kelupas dari tulangnya dengan jari—nasi, sup, dan fatta—yang terdiri dari roti bakar dan sayuran, dan dimasak dengan kaldu daging. Karena menganggap daging yang saya ambil sedikit, Nasser berkeras agar saya mengambil lebih banyak lagi.!break!

Saya bertanya tentang dampak revolusi bagi kehidupan Nasser. Walaupun memiliki ijazah universitas, Nasser mendapatkan 500 pound (sekitar 830 ribu rupiah) sebulan dari pekerjaannya memasang ubin. Seperti banyak rakyat Mesir lainnya, dia merupakan bagian dari sektor ekonomi informal yang besar, para pekerja harian. Namun dia tidak berpartisipasi di Tahrir karena frustrasi terhadap kemungkinan finansialnya sendiri, katanya. "Itu bukan revolusi untuk rakyat miskin. Itu revolusi untuk melawan ketidakadilan."

Kendati rakyat Mesir menyesalkan keamanan umum yang terkikis, hanya segelintir yang mengharapkan kehadiran kembali pasukan keamanan negara yang ditakuti publik. Para polisi itu memata-matai semua orang dan mengelola sel penyiksaan. Rezim Mubarak menghalalkan penegakan keamanan secara brutal untuk menekan musuh, terutama para Islamis. Mubarak khawatir para Islamis akan merebut kekuasaan.

Gamal Eddin, 35, menuturkan penga­lamannya dipenjara selama empat tahun di bawah pemerintahan Mubarak, akibat khotbahnya mengenai kewajiban umat Muslim membebaskan Masjid Al Aqsa di Yerusalem. Dia tampaknya sangat dihormati oleh orang-orang lain. Dia murah senyum dan berpembawaan ramah, bahkan saat bercerita tentang penjara. dia dikirim ke penjara bawah tanah di Kairo. Mereka menutup mata dan membelenggunya di sana selama 38 hari. Borgolnya bercap Made in USA. Ia ditahan hingga 2010 dan dia tidak pernah dijatuhi vonis resmi.

Kini dia mendambakan presiden yang "tegas namun baik," seseorang yang bisa menjalankan aturan Islam dengan tegas "secara berangsur-angsur, agar masyarakat bisa menerimanya." Ketika saya menyebutkan bahwa seorang wanita Mesir berniat mencalonkan diri sebagai presiden, Nasser dan Gamal Eddin menggeleng. Keduanya berkeras bahwa Islam tidak mengizinkan hal itu. Presiden juga tidak boleh beragama Kristen. Itu akan memicu "banyak masalah" di sebuah negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, menurut mereka.

Pasukan keamanan baru saja menghadapi unjuk rasa umat Kristen di Kairo; sekitar 24 orang terbunuh. Gamal Eddin menekankan bahwa desa mereka memiliki sebuah "gereja besar" dan mengatakan, "Tidak pernah terpikir oleh kami untuk melakukan diskriminasi." Ketika saya menanyakan apakah makam-makam dan kuil-kuil firaun sebaiknya dihancurkan, sebagaimana pendapat para Islamis radikal, kedua pria itu menyerahkannya pada wewenang pemuka agama mereka. Saat saya mendesak, Gamal Eddin mengungkapkan bahwa Amr ibn al-As, komandan militer Muslim yang memimpin penaklukan Mesir pada abad ke-tujuh, tidak pernah merusak monumen-monumen yang ada, dan itu bagus. "Revolusi belum selesai," kata Nasser. Namun dia melihat kemajuan. "Sebelumnya, tak ada dialog tentang masa depan. Sekarang sudah ada."

Rekan saya, Khaled, seorang petualang yang menggemari musik, luwes bergaul dengan wanita, dan sesekali menikmati anggur, mengagumi kedua Islamis tersebut. Rakyat Mesir mengidentifikasikan diri dengan fundamentalis Islam karena mereka telah "sangat lama tertindas," kata Khaled, dan karena mereka cenderung konservatif dalam hal sosial. Kebanyakan rakyat Mesir keberatan terhadap pandangan liberal yang terbuka. Mereka khawatir, kata Khaled, perubahan politik akan menjadikan Mesir seperti "Paris, menjadikan kami semua seperti orang Amerika."!break!

Pusat ModernitasSaya dan Khaled menempuh sebagian besar perjalanan kami hanya beberapa kilometer dari Sungai Nil, di lembah subur yang berbatasan dengan gurun. Hanya sekitar lima persen daerah Mesir yang dapat ditinggali. Di balik lembah terdapat wilayah kering kerontang yang oleh penduduk Mesir kuno disebut "tanah merah."

Begitu kami tiba di Alexandria, menghirup udara laut dari Mediterania yang bertiup di sepanjang pesisir terasa membebaskan. Alexandria telah sejak lama menjadi gerbang Mesir menuju dunia luar. Sejak dahulu, kota ini telah menjadi pusat kosmopolitan tempat banyak bahasa diucapkan dan gagasan-gagasan dipertukarkan. Ahli sejarah Mostafa El-Abbadi, 83, menuturkan bahwa pada masa mudanya, di kota ini terdapat 16 surat kabar harian dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Yunani, Italia, Inggris, dan Armenia.

Aspek-aspek kosmopolitan Alexandria mulai pudar selama era Gamal Abdel Nasser, yang berupaya memusatkan kekuasaan di Kairo. Kini Alexandria penuh sesak dan miskin. Tetapi beberapa tokoh Mesir bertekad untuk mengembalikan kejayaannya.

Tidak ada tempat yang lebih tepat untuk melambangkan hal itu selain Perpustakaan Alexandria, sebuah fasilitas modern dan cemerlang yang dibuka pada 2002, tidak jauh dari situs pendahulunya. Pengunjung bisa masuk melalui pintu-pintu kaca besar, dan detektor logam. Kami melihat orang-orang dari berbagai latar belakang dan ideologi di sana, termasuk wanita ber-niqab hitam dan pria ber-galabia putih, lengkap dengan janggut panjang yang kerap melambangkan fundamentalis garis keras. Seorang wanita ber-hijab, jenis kerudung yang menutupi rambut namun membiarkan wajah tetap terbuka, sedang membuat riset tentang Shakespeare, dan seorang pemuda Mesir berkaus merah jambu datang untuk mengunduh berbagai macam permainan dan film.

Sebuah patung abstrak seorang wanita telanjang menjulang tinggi. Patung itu, yang bernama "Hypatia," dipotong dari lempengan baja dan menunjukkan lekuk tubuh seorang wanita anggun berdada ranum. Namanya diambil dari seorang wanita ahli matematika, astronomi, dan filsafat di Alexandria kuno. Sebuah plakat di bawahnya menyebutkan bahwa Hypatia dibunuh oleh para ideologis fanatik."

Bisa dikatakan, perpustakaan Alexandria lebih revolusioner daripada Tahrir. Fasilitasnya mencakup satu perpustakaan untuk tuna netra, dua perpustakaan untuk anak-anak, satu perpustakaan khusus atlas, pusat riset akademik, satu museum arkeologi, ruang pameran seni rupa, satu planetarium, komputer-komputer yang tersambung dengan Internet dan akses Wi-Fi, dan 1,24 juta buku dengan kapasitas untuk enam juta buku lagi. Pertunjukan teater dan konser kerap digelar di sana. Perpustakaan ini memiliki komputer super yang bisa membuat triliunan kalkulasi per detik. Koleksinya mencakup buku-buku yang dilarang peredarannya di tempat lain di Timur Tengah. Perpustakaan ini bisa dianggap sebagai oasis pemikiran merdeka di wilayah yang dihuni oleh orang-orang yang, kerap kali, diperintahkan untuk memikirkan sesuatu, tanpa memedulikan gagasan lain.!break!

Direktur perpustakaan Ismail Serageldin, mengatakan kepada rezim Mubarak bahwa dia hanya bersedia memegang jabatan itu apabila perpustakaan diberi wewenang untuk mene­gakkan keamanan sendiri, tanpa campur ta­ngan Amn al Dawla atau polisi keamanan negara. "Kebijakan itu memungkinkan ka­mi menyelenggarakan banyak kegiatan. Amn al Dawla tidak bisa mendatangi dan memerintah kami," kata Khaled Azab, sang kepala departemen proyek khusus. "Anda bisa memikirkan dan membicarakan apa pun di dalam Perpustakaan Alexandria."

Sebagian besar dari 2.700 pegawai perpus­takaan berusia 25 hingga 35 tahun, dan generasi yang lebih muda dilibatkan dalam semua program dan perencanaan, ujar Azab. Selama aksi protes untuk menggulingkan rezim, para demonstran muda membentuk barikade di sekeliling perpustakaan untuk melindunginya dari kemungkinan perusakan.

Perjalanan di Depan MataAbu Simbel, kota-kota dan desa-desa di Lembah Sungai Nil, Delta Nil, dan Alexandria: Setiap perhentian membuka mata kami terhadap perbedaan. Rakyat kecil Mesir bekerja keras untuk bertahan, mengkhawatirkan kehidupan mereka yang sudah sulit akan semakin sulit; para Islamis idealis yang berharap untuk mengubah Mesir menjadi negara teokrasi; dan para sekularis berjuang untuk membangun Mesir yang multikultural dengan hak-hak bagi kaum minoritas dan jaminan kemerdekaan untuk semua orang.

Kebanyakan rakyat Mesir seolah-olah menunggu kemunculan pola yang jelas—agar kepingan warna-warni Mesir baru tertata di tempatnya. Perbedaan mendasar pun muncul di antara mereka yang pikirannya terfokus terutama pada stabilitas dan keamanan, dan mereka yang bersedia mengambil risiko untuk meraih perubahan demokratik yang nyata.

Di sebuah pertanian yang dijalankan dengan peralatan mesin di wilayah paling selatan negeri ini, saya bertanya kepada seorang teknisi bernama Mohammed Haggag tentang pendapat bahwa kultur otoriter memang ada di Mesir, mendarah daging di dalam keluarga dan suku, dan bahwa seorang pemimpin otoriter akan muncul kembali. Dia dengan tegas menentang. "Hubungan saya dan anak-anak saya sangat berbeda dengan hubungan saya dengan ayah saya," kata Haggag. "Jika ayah saya berkata, 'Diam,' saya akan langsung diam. Saya tidak bisa melakukan itu kepada anak-anak saya."

Apakah ini berarti Haggag, 59, menganggap revolusi akan berhasil? "Kami seolah-olah tersesat di gurun," katanya dengan nada yang menunjukkan tekad untuk bertahan. "Kami sudah menemukan jalan, namun masih membutuhkan banyak waktu untuk keluar."