Terkepung

By , Selasa, 1 Mei 2012 | 15:23 WIB

De Villiers yakin bahwa koala dan manusia dapat hidup berdampingan di lingkungan perkotaan "jika pengembang menerapkan perancangan yang memperhatikan koala," seperti batas kecepatan jalan raya yang lebih rendah, koridor hijau untuk pergerakan koala, dan yang terpenting, melestarikan setiap pohon eukaliptus yang diperlukan koala. Sayangnya, koala masih punya masalah lainnya.

"Penyakit juga masalah besar," kata dokter hewan Jon Hanger, 42 tahun, dari Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals di Queensland. Hanger menemukan bahwa mungkin setengah populasi koala di Queensland mengidap penyakit menular seksual klamidia. Di beberapa populasi koala liar, lebih dari 50 persen betina yang telah mencapai kematangan seksual mengalami kemandulan. Asal-usul penyakit ini tidak diketahui, tetapi menyebabkan penyakit pada mata dan kelamin serta ditularkan melalui hubungan seksual dan kelahiran, serta perkelahian antarkoala jantan. Infeksi klamidia pada koala sering berakibat fatal.

"Populasi koala yang dulu semarak dan berkelanjutan akan menjadi punah," kata Hanger, yang dengan menyalahkan pemerintah negara bagian. "Pemerintah negara bagian Queensland gagal total menanggulangi penurunan tersebut. Pemerintah federal harus terlibat dan melakukannya dengan benar, mendaftarkan koala sebagai satwa yang berstatus rentan terhadap kepunahan." Menurutnya, penetapan seperti itu mungkin dapat menyelamatkan sisa-sisa terakhir habitat koala yang penting. Hanger juga termasuk dalam tim peneliti yang mengembangkan vaksin klamidia.

"Semakin kurang jumlah koala, semakin berharga setiap koala yang diselamatkan," ujarnya.

Bagi Deidré de Villiers, penderitaan koala merupakan masalah personal. Orang yang berkunjung ke rumahnya di Loganholme, di selatan Brisbane, akan melihat bahwa wanita yang siangnya merupakan peneliti koala terkemuka ini pada malam hari menjadi orang tua asuh koala yang penuh kasih sayang.

"Ruby masih tidur di keranjang sambil memeluk boneka beruangnya," katanya. Bayi itu meringkuk dalam keranjang rotan seperti bayi dalam buaian. "Dia diselamatkan dari serangan anjing. Kamu mau memeluknya?"!break!

De Villiers mengangkat Ruby, lalu me­nyerahkannya kepada saya. Cakar setajam jarum menusuk leher dan wajah. Saya meringis. de Villiers, yang lengannya penuh goresan, tertawa.

"Dia suka mencengkeram sesuatu dengan tangan dan kakinya saat digendong," katanya. Bibir saya berdarah, jadi saya kembalikan satwa kecil itu kepadanya. De Villiers dengan lembut meletakkan Ruby ke cabang pohon di tempat bermainnya dalam ruang makan. Teman mainnya, Luna, koala yatim lainnya, sedang pulas di pangkal dahan. Di balik pintu kaca ruang makan, di teras luar, terlihat tempat bermain yang lebih besar. Di halaman belakang ada petak tanah berkandang kawat penuh pohon.

De Villiers merawat lima koala sekaligus. Dua hari sekali, de Villiers memotong dan mengambil daun eukaliptus, makanan utama koala, dari perkebunan di dekatnya. Selama 12 tahun terakhir, dia telah mengasuh lebih dari 60 satwa.

"Ruby harus ke rumah sakit besok," katanya. "Dia mengidap infeksi saluran pernapasan yang tidak kunjung sembuh."

Keesokan harinya dia membawa Ruby ke Australia Zoo Wildlife Hospital, fasilitas canggih yang dibangun oleh Steve Irwin, naturalis TV yang wafat pada 2006. Ruby didaftarkan, diberi penenang, kemudian dibius dan diintubasi untuk menyalurkan oksigen dan obat ke paru-parunya.

"Dia mengidap pneumonia parah," kata Amber Gillet, 30 tahun, dokter hewan yang telah enam tahun bekerja di sini. "Hal ini dapat berakibat fatal, terutama bagi koala muda."!break!