Terkepung

By , Selasa, 1 Mei 2012 | 15:23 WIB

Sementara de Villiers membelai Ruby yang masih terbius, Gillet membasuh paru-paru koala itu dengan larutan garam dan mengambil sampel yang segera dibawa ke laboratorium untuk dibiakkan. "Saya kira kami memiliki tingkat keberhasilan 70 persen untuk pneumonia pada bayi koala," ujarnya, saat Ruby didorong ke ruang rontgen. "Saya pikir si kecil ini akan selamat."

Keesokan sorenya Ruby pulang, memulihkan diri di tempat bermain bersama Luna.

Suatu pagi tidak lama setelah itu, de Villiers berangkat ke hutan belukar di dekat Danau Samsonvale, barat laut Brisbane, untuk menangkap Tee Vee, koala liar yang dipantau sang peneliti lebih dari setahun. Department of Environment and Resource Management merelokasi beberapa koala ke wilayah Tee Vee, dan de Villiers mencatat dampaknya terhadap populasi koala lokal. Sambil membawa penerima yang menyerupai antena TV lama, dia berjalan melalui hutan sekunder, mencari sinyal dari kalung-radio koala itu.

Dia akhirnya menangkap sinyal samar dan mengikutinya naik turun bukit sementara bunyi "bip" semakin nyaring.

"Ketemu!" katanya pada akhirnya. Bongkah abu-abu seukuran keranjang menemplok di sebuah cabang sejenis pohon eukaliptus pada ketinggian sekitar 15 meter.

Menangkap koala di ketinggian kanopi merupakan hal yang rumit. Pertama katapel raksasa melemparkan gulungan tali ke atas dahan pohon yang dekat dengan koala. Perlu mencoba berkali-kali sampai berhasil. Tali itu disambungkan ke tali panjat, yang kemudian ditarik ke atas dahan dan diikat kencang ke tanah. Lalu memasang tangga 10 meter ke pohon itu. Kemudian ada yang menaiki tangga, lalu dilanjutkan dengan memanjat tali perlahan-lahan, sambil membawa galah seperti seorang pemain trapeze.!break!

Orang itu tentu saja de Villiers. Dengan perlengkapan seperti pemanjat tebing, dia memanjat ke atas pohon selincah koala. Sambil bergantung di dahan, dia mencoba menggalah koala tersebut dengan mengibarkan plastik atau kain di ujung galah di atas kepala sang koala. Hal ini tidak disukai koala, dan Tee Vee mulai menuruni batang pohon itu.

Namun, Tee Vee, sebagaimana sebutan de Villiers, "bengal dan bandel." Setengah jalan, koala ini tidak menemukan dahan lagi dan dengan cerdik melompat ke pohon lain, dan proses itu harus dimulai lagi dari awal.

Kedua kalinya Tee Vee turun, dia panik pada ketinggian enam meter dari tanah, lalu melompat seperti bajing luncur. Sayangnya, koala bulat dan tidak bisa terbang. Tee Vee mendarat di tanah dan dengan cepat dibungkus dengan selimut. Dia menjerit, mencakar, dan menggigit.

Setelah Tee Vee dibius, de Villiers mulai bekerja. Dengan berbagai alat, dia mengukur semuanya mulai dari panjang tubuh koala hingga lebar tengkoraknya, ukuran dan keausan gigi hingga kualitas bulunya.

"Saya kira dia punya bayi," kata de Villiers tiba-tiba. Setelah mengucapkan hal itu, dia memasukkan jarinya ke dalam kantong yang menghadap ke bawah, membukanya, dan dengan hati-hati mengeluarkan makhluk asing sepanjang sepuluh sentimeter yang buta tanpa bulu dengan cakar tajam yang telah berkembang sempurna.

Dengan cekatan de Villiers memeriksa sang bayi dan kantong induknya kalau-kalau ada tanda penyakit atau kelainan, kemudian dengan pelan mengembalikan sang bayi ke dalam kantong induknya yang terlelap.

"Selama masih ada bayi-bayi yang sehat, masih ada harapan," bisiknya.