Di Bawah Bayang-bayang China

By , Selasa, 22 Mei 2012 | 10:50 WIB

Chungking Mansions bisa dianggap sebagai tolok ukur perubahan. “Di sini, tidak banyak yang ilegal, kecuali pekerja, yang sebagian besarnya mencari suaka,” kata Mathews. Ia percaya bahwa Mansions adalah tempat Hong Kong mewujudkan sebagian janjinya dari abad ke-19 dan 20: pusat peleburan, pelabuhan terbuka, pasar global tanpa batasan.

“Tempat ini adalah pengejawantahan sejati dari Hong Kong di masa lalu, masa kini, dan masa depan.”

Di sebuah kedai kari di Chungking Mansions, saya bertemu seorang pria yang mengaku berasal dari Pakistan, namun memperkenalkan diri dengan nama “Jack Dawson”, meminjam karakter Leonardo DiCaprio dalam Titanic. Katanya, dia terancam di negerinya sendiri dan mendatangi Hong Kong tanpa surat-surat yang sah. Dengan sedikit modal, dia mulai berjualan “ponsel 14 hari”, dan memperoleh penghasilan lebih dari setengah miliar rupiah per tahun. Menunjuk koridor yang ramai, Jack Dawson berujar, “Ini negeri impian saya.”

Di Lockhart Road, tepatnya di distrik Wan Chai, pemandangan di lobi sebuah gedung kumuh tampak sangat menegangkan: remaja-remaja lelaki bermain game di ponsel dan pria-pria bersetelan menggoyang-goyangkan kaki dengan gelisah, menghindari kontak mata. Semuanya menunggu lift menuju lantai atas. Ketika pintu lift terbuka, serombongan pria keluar, sementara serombongan lainnya masuk—dan naiklah mereka. Masing-masing dari kedua puluh lantai di gedung ini mencakup enam apartemen berdinding tipis yang dengan gamblang menawarkan jasa wanita pekerja seks.

Selama tahun 1980-an, perdagangan manusia difasilitasi oleh triad—geng kriminal yang mengidentifikasi diri dengan dialek, profesi, dan afiliasi politik—yang mendatangkan para pekerja seks ke Hong Kong menggunakan kapal cepat. Triad berdiri sebagai organisasi kriminal rahasia ketika hukum belum ditegakkan dan semakin kuat pada 1960-an hingga awal ’70-an, selama masa keemasan korupsi di Hong Kong. Film-film penuh kekerasan bertema triad karya John Woo mengetengahkan konsep anggota geng sebagai pahlawan seraya menekankan kesenjangan sosial yang masih terlihat di seluruh kota. Di gedung-gedung megah, para bandit berkerah putih menumpuk kekayaan dengan berspekulasi dan mengeruk keuntungan, sementara di jalanan kumuh, para begundal triad mengobrak-abrik ketenangan masyarakat dengan pertumpahan darah.!break!

Kenyataan yang ada saat ini jauh lebih abu-abu—dan tidak sevulgar itu. Sebagian aktivitas kriminal triad, seperti perdagangan obat-obatan terlarang, telah bergeser ke China daratan. Triad yang masih beroperasi di Hong Kong, menurut Alex Tsui, mantan aparat antikorupsi, tidak lagi mengusung kesetiaan dan patriotisme, yang dahulu memicu sebagian konflik.

Saat ini, segalanya berazaskan bisnis. Dengan keuntungan yang sudah berada di tangan, triad lebih mudah diajak bekerja sama untuk menuntaskan permasalahan di atas meja, alih-alih di jalanan. Mereka mengelola trayek bus dan memiliki biro dekorasi interior, kendati masih menebar ketakutan. Namun, garis pem­batasnya kian samar. Anak-anak para petinggi triad belajar di universitas-universitas terbaik dan lebih memperoleh kepuasan dari iPad terbaru daripada menindas di jalanan. Para anggota geng kelas atas lebih tertarik pada investasi dan portofolio realestat, atau bertaruh dalam pacuan kuda, daripada mempertaruhkan nyawa dalam aksi tembak-menembak berdarah.

“Sebagian anggota geng sudah menyadari bahwa pelanggaran hukum di Hong Kong bisa ber­ujung di penjara,” kata Tsui. “Tetapi mereka bisa pergi sejauh 30 kilometer saja, ke Shenzhen dan daratan, dan memperoleh kekebalan hukum.” Pakar triad Kent Lee menambahkan, “Mereka yang tetap di Hong Kong tidak sekeji dahulu dan lebih mementingkan kekayaan.”

Perubahan di bidang hukum juga telah me­longgarkan cengkeraman triad pada eko­nomi bawah tanah. Saat ini, prostitusi telah dilegalkan di Hong Kong, walaupun praktiknya tetap disembunyikan dari publik dan hanya boleh dilakukan di tempat tertentu, untuk melindungi para pekerja seks dari triad atau mucikari yang hendak meraup keuntungan. Hukum bukannya senantiasa kokoh, tetapi era baru telah tiba, membawa serbuan besar pekerja seks dari China daratan, yang menjadikan pengawasan semakin sulit dilakukan.

Saat ini terdapat banyak gedung apartemen, tanpa tanda di luarnya, yang menyediakan jasa para pekerja seks di setiap lantainya. Wanita-wanita itu bekerja di flat-flat berkamar satu dan mengiklankan jasa melalui situs-situs Internet. Para pelanggan bisa menilai mereka secara online, sebagaimana pelanggan lainnya yang berada di gedung itu, yang bersedia membayar sekitar Rp550.000 untuk 40 menit.

Di lantai atas, saya bertemu dengan seorang wanita yang bersedia bicara, walaupun enggan menyebutkan namanya. “Di luar biaya sewa tempat tinggal, saya masih bisa mengumpulkan lebih dari Rp900 juta setahun,” katanya dengan suara menggoda, sambil berdiri dalam balutan gaun tidur berpotongan dada rendah. Dinding “ruang kerja”-nya berlapis cermin, dengan lantai kamar mandi basah setelah digunakannya lagi sehabis melayani seorang klien. “Berkat pekerjaan ini, saya bisa membeli tiga apartemen untuk keluarga saya,” ujarnya bangga.!break!

Pada bulan Juni, hantu China senantiasa membayangi Hong Kong. Peringatan tahunan pertikaian di Lapangan Tiananmen—4 Juni 1989—setara dengan peringatan tragedi 9/11 bagi warga Hong Kong. Terjadi hanya beberapa tahun sebelum penyerahan, pembantaian ratusan pengunjuk rasa itu menggentarkan penduduk Hong Kong, memberi kesan bahwa pemerintah China adalah penegak hukum yang siap mengambil tindakan seekstrem mungkin untuk meredam setiap ekspresi kemerdekaan.