Di Bawah Bayang-bayang China

By , Selasa, 22 Mei 2012 | 10:50 WIB

Di distrik modern Causeway Bay, di plaza di depan Times Square, Sam Wong, 22 tahun, berdiri di bawah baliho-baliho besar bergambar George Clooney yang mengenakan arloji Omega dan supermodel-supermodel berpose seksi. Wong mengenakan kaus putih bertulisan “Freedom Now!” dalam bahasa Inggris dan ikat kepala bertulisan “Hunger Strike!” dalam bahasa China. Wong, yang berbadan kerempeng dan berjanggut kasar, telah menjalani 24 dari 64 jam aksi mogok makan untuk memperingati kejadian Tiananmen. Aksinya diikuti oleh 18 pengunjuk rasa muda lainnya. Mereka men­dirikan tenda darurat, membagi-bagikan brosur, dan meneriakkan seruan agar China ber­sikap lebih demokratis dan membebaskan para tahanan politik.

Para pejalan kaki lalu-lalang, nyaris tidak memedulikan mereka. Tetapi, malam sebelumnya, serombongan besar turis dari daratan singgah untuk menonton film dokumenter tentang Lapangan Tiananmen. Mereka menyaksikan adegan-adegan pem­bantaian di bawah penayangan iklan film komersial di JumboTron. Sesudahnya, se­kelompok turis meluangkan waktu untuk ber­cakap-cakap, sebagian di antaranya mengaku baru mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, sementara yang lainnya dengan sopan menyanggah cerita versi antipemerintah yang diketengahkan para pengunjuk rasa. “Kami khawatir polisi akan menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk menangkap kami, lalu membungkam kebebasan berpendapat kami.”

Berikut adalah gagasan yang kerap di­dengang-dengungkan di Hong Kong akhir-akhir ini: tidak bisa ditebaknya sikap pihak yang berwenang, yang diyakini oleh banyak orang sebagai boneka para dalang jahat di Beijing. Walaupun China telah menjanjikan “satu negara, dua sistem”, yang menjamin hak otonomi Hong Kong dalam hal sistem politik dan ekonomi hingga 2047, penduduk Hong Kong tetap khawatir China akan membatasi kemerdekaan dan memerintah dengan cara kuno, memaksakan kehendak, merenggut jati diri Hong Kong, dan menjadikannya ke­panjangan tangan dari China.

Leung Kwok Hung, seorang aktivis pro­demokrasi, dengan garang menentang semakin maraknya pembatasan terhadap kebebasan berpendapat. “Polisi menjura ke Beijing, karena menolak keinginan Partai Komunis sama saja dengan membunuh karier sendiri,” kata pria berambut gondrong yang juga seorang anggota dewan legislatif ini. “Tetapi pejabat pemerintah pun kini ikut-ikutan, begitu pula para pengusaha media atau mereka yang ingin berbisnis di China. Semakin hari, kita semakin pasif. Setengah dari media yang ada bahkan tidak berminat meliput protes kami.”

Mengenakan kaus Che Guevara dan mendengarkan musik Richie Havens di kantornya yang penuh buku, pria berjuluk si Rambut Panjang ini mengaku pernah ditahan hampir dua puluh kali, dijatuhi vonis dua belas kali, dan dipenjara empat kali. Dia berusaha membela apa yang dianggapnya sebagai bagian terpenting identitas Hong Kong: kebebasan berekspresi, kebebasan media—semuanya ber­kembang di bawah “nonintervensionisme positif” pemerintah Inggris dan kini terancam oleh Partai Komunis China. Karena Hong Kong tidak memiliki kewenangan otonomi maupun demokrasi, si Rambut Panjang meng­endus kevakuman yang berbahaya. Namun, dalam pandangan optimistisnya, dia percaya bahwa Hong Kong merupakan basis penting kemerdekaan sipil dan, jika terpaksa, akan mampu menghadapi China.!break!

Unjuk rasa 4 Juni tahun lalu—satu-satunya yang diizinkan di seluruh China—dirasa sangat penting karena kehebohan akibat penahanan seorang seniman China, Ai Weiwei, yang karya provokatif dan protes sosialnya mendapat kecaman dari pemerintah komunis. (Dia ditahan dengan tuduhan penggelapan pajak ketika hendak menaiki pesawat menuju Hong Kong.) Demonstrasi agitasi dan propaganda diadakan di East Point Road: Seorang pria mempersilakan orang-orang menuliskan protes mereka di kertas Post-it, yang kemudian ditempelkan di sekujur tubuhnya; seorang wanita menyulut serbuk herba di telapak tangannya, lalu meniup api tepat sebelum tangannya terbakar.

Puluhan ribu orang berkumpul di Victoria Park untuk menyalakan lilin. Para aktivis mengklaim kehadiran 150.000 pengunjuk rasa, sementara polisi memperkirakan hanya setengahnya. Urgensi unjuk rasa tersebut ditekankan oleh banyaknya kaus, spanduk, dan pin bertulisan “Siapa Takut kepada Ai Weiwei?” Lagu-lagu dinyanyikan (“Kami generasi muda baru, dan takkan ada lagi ketakutan”), orasi disampaikan, dan rekaman video berisi pesan-pesan ibu para korban Lapangan Tiananmen ditayangkan, memancing ingatan dan keberanian. Aksi tersebut menyentuh hati, melodramatis, menarik perhatian, dan menimbulkan harapan, namun yang terpenting adalah keyakinan yang timbul di antara para pengunjuk rasa bahwa apa yang terjadi di Tiananmen, kelak bisa terjadi pula di Victoria Park. Bahwa kenyataannya, mereka mungkin akan menjadi korban berikutnya.

Setelah itu, sekelompok pengunjuk rasa muda membersihkan taman, menggosok tro­toar, mengeruk bekas lilin dengan pengikis cat. Tidak ada keributan, tidak ada ajakan spontan untuk berpawai atau melemparkan bom Molotov. Inilah unjuk rasa gaya Hong Kong, sopan, berjangka waktu singkat, garang hingga titik akhir, tetapi damai dan tanpa provokasi.

Di taman yang telah lengang setelah aksi protes malam itu, saya bertemu dengan seorang pria berkipas merah dan bercelana pendek biru muda. Dia membawa tas berisi selebaran dan brosur, sebagian di antaranya berisi sanjungan terhadap gerakan pro-demokrasi atau seruan pembebasan tahanan politik, termasuk pemenang Penghargaan Nobel Liu Xiaobo dan para anggota Falun Gong. “Partai Komunis membenci saya,” ujarnya.

Sebagai anggota keluarga pemilik lahan di China, dia pindah ke Hong Kong pada 1951, saat berumur 17 tahun, untuk melarikan diri dari pemerintahan Mao Zedong. Beberapa orang pamannya ditahan, sementara salah seorang pamannya menjadi pejabat di Partai Komunis. “Keluarga kami memiliki peran dalam semua sisi sejarah politik China,” katanya. Dia pensiun dari bisnis perhiasan pada usia 50-an dan sejak saat itu pulang setiap bulan ke kampungnya di Provinsi Guangdong. “Saya menentang komunis,” katanya, “dan mendukung bentuk demokrasi Hong Kong.” Apakah yang hendak diperbuatnya dengan pamflet-pamflet di tasnya? “Membawanya pulang ke China,” katanya.

Walaupun Hong Kong diam-diam mengekspor gagasan politik mereka ke China, penduduk daratan justru banyak membantu kota itu dengan daya beli mereka, terutama setelah serangan flu burung pada 1997 dan krisis SARS pada 2003. “Toko Rolex di Times Square menjual 200 arloji setiap hari, sebagian besarnya kepada penduduk China daratan,” kata Francis Cheng, perencana acara ternama bagi merek-merek terkemuka di Hong Kong dan asisten pribadi Pansy Ho, sosialita dan miliarder yang mengelola kerajaan judi MGM China. !break!

Jika dahulu Hong Kong mengirim bantuan yang dibutuhkan China dan mendukung pasar pe­rumahan negara itu melalui investasi, kini ke­adaannya berbalik: Chinalah yang kini me­nyokong stabilitas ekonomi Hong Kong. Mereka membanjiri kota me­tropolis itu untuk membeli lahan, bangunan, dan beraneka ragam barang, sering kali secara tunai. Pasalnya, di China kartu kredit mereka hanya bisa digunakan untuk pembelian berskala kecil.

“Dahulu, kami merasa lebih unggul daripada orang China,” kata Cheng. Di Hong Kong, orang-orang menertawakan orang kaya baru China yang mengunjungi restoran mahal dan ber­keras agar gelas mereka diisi anggur hingga penuh. Konon, seorang China membawa tas penuh uang ke sebuah butik mewah dan bertitah, “Yang mana barang termahal di sini?” Cerita-cerita semacam ini sejalan dengan stereotip lama penduduk China daratan sebagai ah chan, atau kampungan. Akan tetapi, menurut Cheng, saat ini selalu terdapat antrean panjang di kesembilan toko Gucci di Hong Kong, menunjukkan permintaan yang seakan tiada habisnya. “Selalu ada kelompok petani daratan yang kaya mendadak,” katanya.

Pergeseran kekuatan ekonomi ini telah memperparah krisis identitas Hong Kong, hingga para penduduk daratanlah yang kini menyebut saudara-saudara mereka di Hong Kong sebagai kong chan, atau kampungan Hong Kong. Survei terbaru Program Opini Publik University of Hong Kong melaporkan bahwa sebagian besar penduduk memandang diri mereka sebagai orang Hong Kong, bukan orang China, menekankan kebencian yang kian menjadi-jadi kepada penduduk daratan, yang oleh salah satu iklan di surat kabar Hong Kong disebut sebagai “hama” yang menyerbu wilayah mereka. Hampir setengah dari jumlah bayi yang dilahirkan di rumah-rumah sakit terkemuka di Hong Kong sepanjang tahun lalu berasal dari China. Hal ini mengundang protes para ibu Hong Kong yang khawatir sistem rumah sakit Hong Kong yang kaku tidak akan sanggup memberikan layanan memadai.

Di salah satu toko Dolce & Gabbana baru-baru ini, warga Hong Kong dilarang mengambil foto di depan etalase. Akibatnya, lebih dari seribu warga Hong Kong berunjuk rasa, karena merasa diperlakuan sebagai penduduk kelas dua di negeri mereka sendiri.

Ketegangan pun terbentuk, lapis demi lapis di kota terapung. “Para turis menganggap Hong Kong sebagai kota zamrud di atas gunung,” kata Alex Tsui, “tetapi kota ini sesungguhnya sakit. Kepalanya tidak bekerja dengan baik. Persendiannya tidak berfungsi. Kakinya copot.”

Kembali ke Times Square, Sam Wong telah mendekati akhir dari aksi mogok makannya. Lemah dan kelelahan, dia beristirahat di tenda, memegangi kepala dan memejamkan mata. Para pelancong yang acuh tak acuh datang dan pergi. Dia merasa harus ada yang menentang China, walaupun dia akan merasa lega setelah semua ini berakhir.

Malam pun tiba; lampu-lampu di berbagai gedung serempak menyala. Kapal-kapal feri berlayar di laut. Pesawat-pesawat melesat di udara bagaikan pterodactyl perak, jalanan bagaikan sungai beraliran pelancong. Hong Kong, kota seratus kota, seakan-akan tidak pernah beristirahat, kembali berubah wujud.

“Orang-orang terkejut waktu saya me­nunjuk­kan foto sawah yang berada di sini pada 1970-an,” kata Patrick Mok, sang penyimpan kenangan. “Kemudian, kami hidup di jalanan, di pasar terbuka dan lapak kaki lima. Setelah itu, semuanya pindah ke dalam ruangan, ke mal dengan pintu-pintu tertutup dan tempat-tempat berpendingin udara. Entah apa jadinya kami sekarang, namun kami bisa merasakan diri kami menghilang.”