Di Bawah Bayang-bayang China

By , Selasa, 22 Mei 2012 | 10:50 WIB

Di tepi Laut China Selatan, kota metropolitan Hong Kong berpendar dan berkilauan. Gedung-gedung pencakar langit, yang sudah menjadi ikon, berdiri tegak bagaikan pilar-pilar batu. Dengan hanya sedikit lahan datar dan memiliki gedung pencakar langit terbanyak di dunia, Hong Kong terasa sesak oleh bangunan yang ketinggiannya bisa mencapai seratus lantai, sehingga jika dilihat dari sisi gunung ia tampak menjulang seolah-olah diterbangkan oleh helium. Hong Kong adalah kota terapung: Ia menjadi jembatan di antara dua dunia, ia mengambang di atas nilai tukar mata uang asing dan pasar saham dunia, spekulasi realestat, dan mata uang yuan dari China daratan, yang datang dalam gelombang kekayaan baru. Hong Kong mengambang di atas lapisan sedimen masa lalu: Desa nelayan kuno, pangkalan bajak laut, bekas koloni Inggris.

Sekarang, sebagai wilayah administratif khusus di bawah pemerintahan China, kota ini dibangun kembali di bawah tekanan ekonomi dan budaya yang begitu dahsyat. Lambat laun, kota berpenghuni lebih dari tujuh juta jiwa ini juga mengambang di atas kegelisahan yang kian besar, kecemasan yang berlawanan dengan masa ketika Hong Kong menjadi salah satu pusat bisnis terkemuka di Asia.

Faktor yang menjatuhkan hasrat berapi-api Hong Kong ke lembah paranoia nan dalam, tentu saja, adalah China baru, yang kini menjadi bayang-bayang raksasa yang menghantui setiap topik pembicaraan di sini. China tidak pernah bisa dipercaya. Ia diremehkan, tetapi diam-diam dikagumi. Anda bisa merasakan aroma kegelisahan ini di seluruh kota bagaikan kabut yang naik dari pelabuhan atau jalanan pada pagi buta, perpaduan antara kebingungan, ketakutan, dan firasat tentang kehancuran yang semakin mengancam.

“Jika Anda ingin melihat kapitalisme beraksi, pergilah ke Hong Kong,” konon, pakar ekonomi Milton Friedman pernah mengatakannya. Akan tetapi, menganggap kota ini sebagai surga pasar bebas, usai 15 tahun penyerahannya dari Inggris kepada China, sama halnya dengan meng­gampangkan—apabila bukan salah memahami ancaman yang ada. Ini sama saja dengan meng­abaikan ketegangan dan pergerakan di bawah kedok pusat finansial mentereng yang ditunjukkan Hong Kong kepada dunia.

Di balik kedoknya, kita akan menemukan para pencari suaka dan pekerja seks; para anggota geng berambut rapi; ribuan tenaga kerja wanita dari Indonesia yang berkumpul di Victoria Park untuk menghabiskan akhir pekan yang berharga; dan mereka yang mengais-ngais sekadar untuk bertahan hidup, berjejalan di “kandang”, blok-blok apartemen bersekat sebesar kardus kulkas. Sementara angka produk domestik bruto per kapita di Hong Kong menduduki peringkat kesepuluh di dunia, koefisien Gini-nya, indeks untuk mengukur kesenjangan antara kaum kaya dan miskin, juga salah satu yang tertinggi.

Menurut warga Hong Kong, kota mereka kembali menemukan jati diri setiap beberapa tahun. Contoh nyatanya bisa dilihat dari pe­mandangan yang selalu berubah. “Kami me­rasakan semua perubahan besar ini, tetapi tidak tahu bagaimana harus menyebutnya,” kata Patrick Mok, koordinator Hong Kong Memory Project, upaya bernilai Rp59 miliar untuk meng­uraikan permasalahan identitas Hong Kong lewat sebuah laman interaktif berisi benda-benda dan foto-foto tua. “Laju kota ini terlalu cepat untuk dicatat dalam kenangan.” !break!

Tidak jauh dari toko-toko desainer kelas atas di sepanjang Canton Road dan bangunan mewah Peninsula Hotel di distrik Tsim Sha Tsui, Kowloon, berdirilah gedung seluas lebih dari satu blok dan berlantai tujuh belas bernama Chungking Mansions. Gedung ini dihuni oleh 4.000 orang pelaku bisnis dari seluruh dunia. Mereka bisa ditemukan sepanjang waktu di bawah sorot lampu neon, membanting tulang di sejumlah hotel sederhana, restoran yang menjual semur afrika dan kari india, dan menjaga toko serba ada yang menawarkan wiski gelasan, sari, hingga sajadah.

Gordon Mathews menyebutkan, setiap tahun, tempat ini dihuni oleh orang-orang yang berasal dari 130 kewarganegaraan, yang berharap bisa menjalankan bisnis besar di tempat yang dijulukinya “kampung di pusat dunia”. Antropolog Amerika yang telah mempelajari dan menulis tentang Chungking Mansions selama enam tahun terakhir ini memperkirakan sekitar 20 persen ponsel yang digunakan di Afrika sub-Sahara berasal dari sini. “Tempat ini mungkin me­rupakan salah satu pusat jual-beli barang-barang murah di pasar global,” katanya.

Hong Kong dibangun di atas landasan per­dagangan global semacam ini, dimulai dari opium, yang bisa menjelaskan mengapa saat ini garis pembatas antara aktivitas legal dan ilegal di sana begitu kabur. Para pedagang Inggris mendaratkan kapalnya pada 1800-an untuk menukarkan berpeti-peti opium India dengan barang lain. Dalam perjalanan menyusuri Sungai Pearl menuju Guangzhou, mereka melihat pulau granit yang merupakan cikal bakal Hong Kong.

Kemudian pecahlah Perang Opium Pertama pada 1839. Kekaisaran Manchu memerintahkan penghentian perdagangan “lumpur asing” oleh “berandalan luar”, lalu menyita lebih dari 20.000 peti opium dan memusnahkannya di depan umum. Inggris melawan, membawa pasukan angkatan laut mereka hingga 160 kilometer dari Beijing sebelum menghentikan serangan.

Inspektur perdagangan Inggris, seorang pria bernama Charles Elliot, bernegosiasi untuk Hong Kong, yang ketika itu tidak ter­lihat berharga. Ia yakin bahwa pelabuhan laut-dalamnya akan terbukti berguna. Di bawah pemerintahan Inggris, rumah-rumah kumuh digantikan oleh bangunan-bangunan granit. Infrastruktur kolonial dikembangkan, dan sebuah kota mulai terbentuk di sekitar pelabuhan ramai yang berperan sebagai titik transit perdagangan dengan China.

Bagaimanapun, reaksi terhadap revolusi komunis di China pada 1949 mengubah Hong Kong menjadi pusat kapitalisme industri. Di­hadapkan pada tekanan nasionalisme Mao Zedong, para industrialis China memindahkan pabrik-pabrik mereka ke Hong Kong. Gelom­bang pengungsi yang mencari pekerjaan pun membanjir. Ekonomi mulai menggeliat, mengubah kota itu menjadi eksportir berbagai komoditas, dan mengundang kedatangan penanam modal dari seluruh penjuru dunia.!break!

Beberapa waktu kemudian, Hong Kong mem­bangun gedung-gedung pencakar langitnya—sebagian di antaranya dirancang oleh para arsitek kelas dunia seperti I. M. Pei dan Norman Foster—begitu pula kompleks-kompleks perumahan besar yang lebih bermasalah, se­mentara di balik kedok modernnya, penyakit sosial semacam prostitusi, peredaran obat-obatan terlarang, penyelundupan, dan per­judian terus tumbuh subur.

Chungking Mansions bisa dianggap sebagai tolok ukur perubahan. “Di sini, tidak banyak yang ilegal, kecuali pekerja, yang sebagian besarnya mencari suaka,” kata Mathews. Ia percaya bahwa Mansions adalah tempat Hong Kong mewujudkan sebagian janjinya dari abad ke-19 dan 20: pusat peleburan, pelabuhan terbuka, pasar global tanpa batasan.

“Tempat ini adalah pengejawantahan sejati dari Hong Kong di masa lalu, masa kini, dan masa depan.”

Di sebuah kedai kari di Chungking Mansions, saya bertemu seorang pria yang mengaku berasal dari Pakistan, namun memperkenalkan diri dengan nama “Jack Dawson”, meminjam karakter Leonardo DiCaprio dalam Titanic. Katanya, dia terancam di negerinya sendiri dan mendatangi Hong Kong tanpa surat-surat yang sah. Dengan sedikit modal, dia mulai berjualan “ponsel 14 hari”, dan memperoleh penghasilan lebih dari setengah miliar rupiah per tahun. Menunjuk koridor yang ramai, Jack Dawson berujar, “Ini negeri impian saya.”

Di Lockhart Road, tepatnya di distrik Wan Chai, pemandangan di lobi sebuah gedung kumuh tampak sangat menegangkan: remaja-remaja lelaki bermain game di ponsel dan pria-pria bersetelan menggoyang-goyangkan kaki dengan gelisah, menghindari kontak mata. Semuanya menunggu lift menuju lantai atas. Ketika pintu lift terbuka, serombongan pria keluar, sementara serombongan lainnya masuk—dan naiklah mereka. Masing-masing dari kedua puluh lantai di gedung ini mencakup enam apartemen berdinding tipis yang dengan gamblang menawarkan jasa wanita pekerja seks.

Selama tahun 1980-an, perdagangan manusia difasilitasi oleh triad—geng kriminal yang mengidentifikasi diri dengan dialek, profesi, dan afiliasi politik—yang mendatangkan para pekerja seks ke Hong Kong menggunakan kapal cepat. Triad berdiri sebagai organisasi kriminal rahasia ketika hukum belum ditegakkan dan semakin kuat pada 1960-an hingga awal ’70-an, selama masa keemasan korupsi di Hong Kong. Film-film penuh kekerasan bertema triad karya John Woo mengetengahkan konsep anggota geng sebagai pahlawan seraya menekankan kesenjangan sosial yang masih terlihat di seluruh kota. Di gedung-gedung megah, para bandit berkerah putih menumpuk kekayaan dengan berspekulasi dan mengeruk keuntungan, sementara di jalanan kumuh, para begundal triad mengobrak-abrik ketenangan masyarakat dengan pertumpahan darah.!break!

Kenyataan yang ada saat ini jauh lebih abu-abu—dan tidak sevulgar itu. Sebagian aktivitas kriminal triad, seperti perdagangan obat-obatan terlarang, telah bergeser ke China daratan. Triad yang masih beroperasi di Hong Kong, menurut Alex Tsui, mantan aparat antikorupsi, tidak lagi mengusung kesetiaan dan patriotisme, yang dahulu memicu sebagian konflik.

Saat ini, segalanya berazaskan bisnis. Dengan keuntungan yang sudah berada di tangan, triad lebih mudah diajak bekerja sama untuk menuntaskan permasalahan di atas meja, alih-alih di jalanan. Mereka mengelola trayek bus dan memiliki biro dekorasi interior, kendati masih menebar ketakutan. Namun, garis pem­batasnya kian samar. Anak-anak para petinggi triad belajar di universitas-universitas terbaik dan lebih memperoleh kepuasan dari iPad terbaru daripada menindas di jalanan. Para anggota geng kelas atas lebih tertarik pada investasi dan portofolio realestat, atau bertaruh dalam pacuan kuda, daripada mempertaruhkan nyawa dalam aksi tembak-menembak berdarah.

“Sebagian anggota geng sudah menyadari bahwa pelanggaran hukum di Hong Kong bisa ber­ujung di penjara,” kata Tsui. “Tetapi mereka bisa pergi sejauh 30 kilometer saja, ke Shenzhen dan daratan, dan memperoleh kekebalan hukum.” Pakar triad Kent Lee menambahkan, “Mereka yang tetap di Hong Kong tidak sekeji dahulu dan lebih mementingkan kekayaan.”

Perubahan di bidang hukum juga telah me­longgarkan cengkeraman triad pada eko­nomi bawah tanah. Saat ini, prostitusi telah dilegalkan di Hong Kong, walaupun praktiknya tetap disembunyikan dari publik dan hanya boleh dilakukan di tempat tertentu, untuk melindungi para pekerja seks dari triad atau mucikari yang hendak meraup keuntungan. Hukum bukannya senantiasa kokoh, tetapi era baru telah tiba, membawa serbuan besar pekerja seks dari China daratan, yang menjadikan pengawasan semakin sulit dilakukan.

Saat ini terdapat banyak gedung apartemen, tanpa tanda di luarnya, yang menyediakan jasa para pekerja seks di setiap lantainya. Wanita-wanita itu bekerja di flat-flat berkamar satu dan mengiklankan jasa melalui situs-situs Internet. Para pelanggan bisa menilai mereka secara online, sebagaimana pelanggan lainnya yang berada di gedung itu, yang bersedia membayar sekitar Rp550.000 untuk 40 menit.

Di lantai atas, saya bertemu dengan seorang wanita yang bersedia bicara, walaupun enggan menyebutkan namanya. “Di luar biaya sewa tempat tinggal, saya masih bisa mengumpulkan lebih dari Rp900 juta setahun,” katanya dengan suara menggoda, sambil berdiri dalam balutan gaun tidur berpotongan dada rendah. Dinding “ruang kerja”-nya berlapis cermin, dengan lantai kamar mandi basah setelah digunakannya lagi sehabis melayani seorang klien. “Berkat pekerjaan ini, saya bisa membeli tiga apartemen untuk keluarga saya,” ujarnya bangga.!break!

Pada bulan Juni, hantu China senantiasa membayangi Hong Kong. Peringatan tahunan pertikaian di Lapangan Tiananmen—4 Juni 1989—setara dengan peringatan tragedi 9/11 bagi warga Hong Kong. Terjadi hanya beberapa tahun sebelum penyerahan, pembantaian ratusan pengunjuk rasa itu menggentarkan penduduk Hong Kong, memberi kesan bahwa pemerintah China adalah penegak hukum yang siap mengambil tindakan seekstrem mungkin untuk meredam setiap ekspresi kemerdekaan.

Di distrik modern Causeway Bay, di plaza di depan Times Square, Sam Wong, 22 tahun, berdiri di bawah baliho-baliho besar bergambar George Clooney yang mengenakan arloji Omega dan supermodel-supermodel berpose seksi. Wong mengenakan kaus putih bertulisan “Freedom Now!” dalam bahasa Inggris dan ikat kepala bertulisan “Hunger Strike!” dalam bahasa China. Wong, yang berbadan kerempeng dan berjanggut kasar, telah menjalani 24 dari 64 jam aksi mogok makan untuk memperingati kejadian Tiananmen. Aksinya diikuti oleh 18 pengunjuk rasa muda lainnya. Mereka men­dirikan tenda darurat, membagi-bagikan brosur, dan meneriakkan seruan agar China ber­sikap lebih demokratis dan membebaskan para tahanan politik.

Para pejalan kaki lalu-lalang, nyaris tidak memedulikan mereka. Tetapi, malam sebelumnya, serombongan besar turis dari daratan singgah untuk menonton film dokumenter tentang Lapangan Tiananmen. Mereka menyaksikan adegan-adegan pem­bantaian di bawah penayangan iklan film komersial di JumboTron. Sesudahnya, se­kelompok turis meluangkan waktu untuk ber­cakap-cakap, sebagian di antaranya mengaku baru mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, sementara yang lainnya dengan sopan menyanggah cerita versi antipemerintah yang diketengahkan para pengunjuk rasa. “Kami khawatir polisi akan menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk menangkap kami, lalu membungkam kebebasan berpendapat kami.”

Berikut adalah gagasan yang kerap di­dengang-dengungkan di Hong Kong akhir-akhir ini: tidak bisa ditebaknya sikap pihak yang berwenang, yang diyakini oleh banyak orang sebagai boneka para dalang jahat di Beijing. Walaupun China telah menjanjikan “satu negara, dua sistem”, yang menjamin hak otonomi Hong Kong dalam hal sistem politik dan ekonomi hingga 2047, penduduk Hong Kong tetap khawatir China akan membatasi kemerdekaan dan memerintah dengan cara kuno, memaksakan kehendak, merenggut jati diri Hong Kong, dan menjadikannya ke­panjangan tangan dari China.

Leung Kwok Hung, seorang aktivis pro­demokrasi, dengan garang menentang semakin maraknya pembatasan terhadap kebebasan berpendapat. “Polisi menjura ke Beijing, karena menolak keinginan Partai Komunis sama saja dengan membunuh karier sendiri,” kata pria berambut gondrong yang juga seorang anggota dewan legislatif ini. “Tetapi pejabat pemerintah pun kini ikut-ikutan, begitu pula para pengusaha media atau mereka yang ingin berbisnis di China. Semakin hari, kita semakin pasif. Setengah dari media yang ada bahkan tidak berminat meliput protes kami.”

Mengenakan kaus Che Guevara dan mendengarkan musik Richie Havens di kantornya yang penuh buku, pria berjuluk si Rambut Panjang ini mengaku pernah ditahan hampir dua puluh kali, dijatuhi vonis dua belas kali, dan dipenjara empat kali. Dia berusaha membela apa yang dianggapnya sebagai bagian terpenting identitas Hong Kong: kebebasan berekspresi, kebebasan media—semuanya ber­kembang di bawah “nonintervensionisme positif” pemerintah Inggris dan kini terancam oleh Partai Komunis China. Karena Hong Kong tidak memiliki kewenangan otonomi maupun demokrasi, si Rambut Panjang meng­endus kevakuman yang berbahaya. Namun, dalam pandangan optimistisnya, dia percaya bahwa Hong Kong merupakan basis penting kemerdekaan sipil dan, jika terpaksa, akan mampu menghadapi China.!break!

Unjuk rasa 4 Juni tahun lalu—satu-satunya yang diizinkan di seluruh China—dirasa sangat penting karena kehebohan akibat penahanan seorang seniman China, Ai Weiwei, yang karya provokatif dan protes sosialnya mendapat kecaman dari pemerintah komunis. (Dia ditahan dengan tuduhan penggelapan pajak ketika hendak menaiki pesawat menuju Hong Kong.) Demonstrasi agitasi dan propaganda diadakan di East Point Road: Seorang pria mempersilakan orang-orang menuliskan protes mereka di kertas Post-it, yang kemudian ditempelkan di sekujur tubuhnya; seorang wanita menyulut serbuk herba di telapak tangannya, lalu meniup api tepat sebelum tangannya terbakar.

Puluhan ribu orang berkumpul di Victoria Park untuk menyalakan lilin. Para aktivis mengklaim kehadiran 150.000 pengunjuk rasa, sementara polisi memperkirakan hanya setengahnya. Urgensi unjuk rasa tersebut ditekankan oleh banyaknya kaus, spanduk, dan pin bertulisan “Siapa Takut kepada Ai Weiwei?” Lagu-lagu dinyanyikan (“Kami generasi muda baru, dan takkan ada lagi ketakutan”), orasi disampaikan, dan rekaman video berisi pesan-pesan ibu para korban Lapangan Tiananmen ditayangkan, memancing ingatan dan keberanian. Aksi tersebut menyentuh hati, melodramatis, menarik perhatian, dan menimbulkan harapan, namun yang terpenting adalah keyakinan yang timbul di antara para pengunjuk rasa bahwa apa yang terjadi di Tiananmen, kelak bisa terjadi pula di Victoria Park. Bahwa kenyataannya, mereka mungkin akan menjadi korban berikutnya.

Setelah itu, sekelompok pengunjuk rasa muda membersihkan taman, menggosok tro­toar, mengeruk bekas lilin dengan pengikis cat. Tidak ada keributan, tidak ada ajakan spontan untuk berpawai atau melemparkan bom Molotov. Inilah unjuk rasa gaya Hong Kong, sopan, berjangka waktu singkat, garang hingga titik akhir, tetapi damai dan tanpa provokasi.

Di taman yang telah lengang setelah aksi protes malam itu, saya bertemu dengan seorang pria berkipas merah dan bercelana pendek biru muda. Dia membawa tas berisi selebaran dan brosur, sebagian di antaranya berisi sanjungan terhadap gerakan pro-demokrasi atau seruan pembebasan tahanan politik, termasuk pemenang Penghargaan Nobel Liu Xiaobo dan para anggota Falun Gong. “Partai Komunis membenci saya,” ujarnya.

Sebagai anggota keluarga pemilik lahan di China, dia pindah ke Hong Kong pada 1951, saat berumur 17 tahun, untuk melarikan diri dari pemerintahan Mao Zedong. Beberapa orang pamannya ditahan, sementara salah seorang pamannya menjadi pejabat di Partai Komunis. “Keluarga kami memiliki peran dalam semua sisi sejarah politik China,” katanya. Dia pensiun dari bisnis perhiasan pada usia 50-an dan sejak saat itu pulang setiap bulan ke kampungnya di Provinsi Guangdong. “Saya menentang komunis,” katanya, “dan mendukung bentuk demokrasi Hong Kong.” Apakah yang hendak diperbuatnya dengan pamflet-pamflet di tasnya? “Membawanya pulang ke China,” katanya.

Walaupun Hong Kong diam-diam mengekspor gagasan politik mereka ke China, penduduk daratan justru banyak membantu kota itu dengan daya beli mereka, terutama setelah serangan flu burung pada 1997 dan krisis SARS pada 2003. “Toko Rolex di Times Square menjual 200 arloji setiap hari, sebagian besarnya kepada penduduk China daratan,” kata Francis Cheng, perencana acara ternama bagi merek-merek terkemuka di Hong Kong dan asisten pribadi Pansy Ho, sosialita dan miliarder yang mengelola kerajaan judi MGM China. !break!

Jika dahulu Hong Kong mengirim bantuan yang dibutuhkan China dan mendukung pasar pe­rumahan negara itu melalui investasi, kini ke­adaannya berbalik: Chinalah yang kini me­nyokong stabilitas ekonomi Hong Kong. Mereka membanjiri kota me­tropolis itu untuk membeli lahan, bangunan, dan beraneka ragam barang, sering kali secara tunai. Pasalnya, di China kartu kredit mereka hanya bisa digunakan untuk pembelian berskala kecil.

“Dahulu, kami merasa lebih unggul daripada orang China,” kata Cheng. Di Hong Kong, orang-orang menertawakan orang kaya baru China yang mengunjungi restoran mahal dan ber­keras agar gelas mereka diisi anggur hingga penuh. Konon, seorang China membawa tas penuh uang ke sebuah butik mewah dan bertitah, “Yang mana barang termahal di sini?” Cerita-cerita semacam ini sejalan dengan stereotip lama penduduk China daratan sebagai ah chan, atau kampungan. Akan tetapi, menurut Cheng, saat ini selalu terdapat antrean panjang di kesembilan toko Gucci di Hong Kong, menunjukkan permintaan yang seakan tiada habisnya. “Selalu ada kelompok petani daratan yang kaya mendadak,” katanya.

Pergeseran kekuatan ekonomi ini telah memperparah krisis identitas Hong Kong, hingga para penduduk daratanlah yang kini menyebut saudara-saudara mereka di Hong Kong sebagai kong chan, atau kampungan Hong Kong. Survei terbaru Program Opini Publik University of Hong Kong melaporkan bahwa sebagian besar penduduk memandang diri mereka sebagai orang Hong Kong, bukan orang China, menekankan kebencian yang kian menjadi-jadi kepada penduduk daratan, yang oleh salah satu iklan di surat kabar Hong Kong disebut sebagai “hama” yang menyerbu wilayah mereka. Hampir setengah dari jumlah bayi yang dilahirkan di rumah-rumah sakit terkemuka di Hong Kong sepanjang tahun lalu berasal dari China. Hal ini mengundang protes para ibu Hong Kong yang khawatir sistem rumah sakit Hong Kong yang kaku tidak akan sanggup memberikan layanan memadai.

Di salah satu toko Dolce & Gabbana baru-baru ini, warga Hong Kong dilarang mengambil foto di depan etalase. Akibatnya, lebih dari seribu warga Hong Kong berunjuk rasa, karena merasa diperlakuan sebagai penduduk kelas dua di negeri mereka sendiri.

Ketegangan pun terbentuk, lapis demi lapis di kota terapung. “Para turis menganggap Hong Kong sebagai kota zamrud di atas gunung,” kata Alex Tsui, “tetapi kota ini sesungguhnya sakit. Kepalanya tidak bekerja dengan baik. Persendiannya tidak berfungsi. Kakinya copot.”

Kembali ke Times Square, Sam Wong telah mendekati akhir dari aksi mogok makannya. Lemah dan kelelahan, dia beristirahat di tenda, memegangi kepala dan memejamkan mata. Para pelancong yang acuh tak acuh datang dan pergi. Dia merasa harus ada yang menentang China, walaupun dia akan merasa lega setelah semua ini berakhir.

Malam pun tiba; lampu-lampu di berbagai gedung serempak menyala. Kapal-kapal feri berlayar di laut. Pesawat-pesawat melesat di udara bagaikan pterodactyl perak, jalanan bagaikan sungai beraliran pelancong. Hong Kong, kota seratus kota, seakan-akan tidak pernah beristirahat, kembali berubah wujud.

“Orang-orang terkejut waktu saya me­nunjuk­kan foto sawah yang berada di sini pada 1970-an,” kata Patrick Mok, sang penyimpan kenangan. “Kemudian, kami hidup di jalanan, di pasar terbuka dan lapak kaki lima. Setelah itu, semuanya pindah ke dalam ruangan, ke mal dengan pintu-pintu tertutup dan tempat-tempat berpendingin udara. Entah apa jadinya kami sekarang, namun kami bisa merasakan diri kami menghilang.”