Hari sudah menjelang tengah malam di bukit luas Firmihin, tempat tumbuhnya hutan suji darah (Dracaena cinnabari). Rembulan yang berusia sehari setelah purnama membanjiri bentang alam yang tidak rata dengan cahaya peraknya nan indah. Di dalam perkampungan gembala yang dikelilingi dinding batu, lidah api menerangi wajah empat orang yang duduk bertelanjang kaki mengelilingi api unggun, menikmati seteko teh panas yang dicampur susu kambing segar.
Neehah Maalha mengenakan sarung yang disebut fouta; istrinya Metagal mengenakan rok panjang dan kerudung senada berwarna ungu. Mereka membicarakan kehidupan di pulau Suqutra, dalam bahasa yang asal-usulnya sudah lama dilupakan.
Meskipun keduanya buta huruf, mereka tahu bahwa rambu baru di kaki bukit menyatakan Firmihin sebagai suaka alam. Orang asing berdatangan ke desa mereka, katanya, untuk memotret pohon suji darah dan mawar gurun serta bunga mishhahir (Caralluma suqutrana). Para ilmuwan berdatangan dan membalik-balik bebatuan, mengaku sedang mengumpulkan serangga dan kadal. Tetapi, apa sebenarnya yang mereka cari?
Suqutra, yang berjarak 350 kilometer dari wilayah Yaman yang bergolak di seberang Laut Arab, pernah menjadi tempat legendaris. Dewasa ini, keragaman hayati Suqutra yang kaya menyebabkan berdatangan para penjelajah baru, yang berharap dapat menyingkap rahasianya sebelum kehidupan modern mengubahnya untuk selamanya.
Mendadak wajah cemas Metagal berganti menjadi senyuman geli. Dia menghilang ditelan kegelapan, lalu muncul lagi dan menawarkan paket kecil yang dibungkus kertas. Apakah saya ingin membeli kemenyan? Neehah mengambil sejumput kecil, lalu menaruhnya di atas bara api. Asap membubung berkepul-kepul, dan kami menghirup aroma wangi yang dulu pernah mengharumkan acara pemakaman para firaun Mesir dan kuil para dewa Yunani.
Bangsa Mesir, Yunani, dan Romawi KUNO memanfaatkan kekayaan alam Suqutra: getah aromatis seperti kemenyan, sari lidah buaya yang berkhasiat, dan getah merah darah dari pohon suji darah, yang digunakan sebagai obat dan bahan pewarna karya para seniman. Para petualang berdatangan untuk menjarah kekayaan pulau, meskipun konon pulau itu dijaga oleh ular-ular raksasa penghuni sejumlah gua di situ.
Nilai kemenyan dan suji darah mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Kekaisaran Roma. Selanjutnya, pulau itu berperan terutama sebagai pos persinggahan para saudagar dan selama berabad-abad relatif terpencil dari dunia luar. Dari generasi ke generasi, penduduk Suqutra hidup seperti nenek moyang mereka: bangsa Badui di pegunungan memelihara kambing, penduduk pantai menjadi nelayan, dan semuanya memanen kurma. Sejarah pulau itu dikisahkan secara turun-temurun melalui puisi, yang dibacakan dalam bahasa Suqutri.
Selain lokasinya yang strategis, dulu tidak ada hal lain yang menarik dunia luar tentang Suqutra. Tetapi, keadaan itu sekarang berubah.
Penelitian pada akhir abad ke-20 membuktikan bahwa pulau tropis ini, meskipun hanya sedikit lebih luas daripada Pulau Madura, menduduki salah satu peringkat tertinggi di dunia sebagai pusat keanekaragaman hayati, menggabungkan unsur dari Afrika, Asia, dan Eropa dengan cara yang masih tetap membingungkan para ahli biologi. Jumlah spesies tanaman endemik (yang tidak ditemukan di tempat lain) per kilometer persegi di Suqutra dan tiga pulau kecil terpencil lainnya merupakan keempat terbanyak di gugus kepulauan di muka Bumi—setelah Seychelles, Kaledonia Baru, dan Hawaii. Pegunungan Hajhir, gunung granit bergerigi yang menjulang hampir setinggi 1.500 meter di tengah pulau, kemungkinan besar ditumbuhi tanaman endemik yang densitasnya tertinggi di Asia Barat Daya.
Pada suatu siang yang terik, saya berjalan-jalan di dekat kota Hadibu yang berdebu, bersama ahli botani Lisa Banfield, pakar tentang Suqutra. Kami mendaki lereng bukit berbatu dan berhenti di samping tumbuhan yang pasti cocok berada dalam lukisan Salvador Dalí—benda pendek dan lebar yang terlihat seperti bonsai yang meleleh dalam cuaca panas. Bunganya yang berwarna merah muda mengilhami nama lazimnya, mawar gurun.
“Ini contoh masyhur tentang kiat tumbuhan Suqutra yang berevolusi agar dapat bertahan dari terjangan musim kering yang ganas di sini,” kata Banfield. “Ini Adenium obesum sokotranum. Tumbuhan ini juga tumbuh di daratan Arab dan Afrika, tetapi di sana ukurannya jauh lebih kecil daripada yang terdapat di Suqutra. Batangnya menyimpan air, dan tumbuh dalam bentuk yang aneh dan indah sehingga dapat menempelkan diri ke bebatuan. Sebagian orang menyebutnya jelek, tetapi bagi saya pohon ini sungguh menawan hati.” Salah seorang pengunjung dari abad ke-19 mengatakan mawar gurun ini “pohon paling jelek di dunia.”
Kami melangkah beberapa meter menuju tumbuhan yang pasti merupakan juara tumbuhan aneh di tempat lain, tetapi tidak di Suqutra. Batangnya yang membengkak menjulang tinggi di atas kepala, di bagian atasnya tampak dahan berdaun rimbun yang bermunculan tak beraturan seperti rambut gimbal.
“Pertumbuhannya sangat mirip dengan Adenium,” kata Banfield, “tetapi sebenarnya ini Dendrosicyos suqutrana—pohon mentimun.”