Ancaman terhadap lingkungan Suqutra amat menumpuk, meskipun setidaknya untuk sementara dapat dihindari karena masalah keamanan. Salah satu pantainya yang elok direncanakan untuk dijadikan pelabuhan besar, meskipun tidak ada yang tahu apa perlunya ada pelabuhan itu. Ketika saya berkunjung, penduduk mencabut rambu yang menyatakan pembangunan pelabuhan itu. Kabar burung di warung kopi amat beragam, mulai dari yang tampaknya benar (politikus Yaman membeli lahan untuk dijadikan pesanggarahan) hingga yang diragukan kebenarannya (militer AS akan mendirikan pangkalan).
Suatu hari, saya dan Banfield bergegas mendaki tebing di dekat desa Qulansiyah, di ujung barat Suqutra. Di bebatuan merah di sini, dia menunjukkan Dorstenia gigas yang aneh, pohon ara berbentuk bulat, myrrhs, dan lidah buaya langka, serta sederet tumbuhan endemik lainnya. Tebing Maalah dan dataran di dekatnya, kata Banfield, merupakan tempat ditemukannya keragaman hayati terbesar kedua di Suqutra, setelah Pegunungan Hajhir—bukan hanya tumbuhan dan invertebrata, melainkan juga reptil, yang 90 persen di antaranya hanya terdapat di pulau ini.
Namun, tepat di bawah kami, dan yang tak terlihat di atas kami, terdapat sejumlah gua yang diratakan untuk dijadikan jalan yang akan langsung melintasi kawasan hayati yang kaya ini; kawasan tebing tidak terjamah karena para pengembang tidak memiliki keahlian teknis untuk meratakannya. Di kawasan dataran rendah lain, di Iryosh, petroglif (tatahan huruf) di bebatuan datar mungkin berisi petunjuk tentang permukiman purba di Suqutra. Namun, pada 2003, pemerintah menghancurkan sedikitnya 10 persen petroglif itu dengan membangun jalan melintasi kawasan tersebut.
Pembangunan seperti itu membuka kawasan baru untuk dibangun, dan jika pariwisata meraih kembali momentumnya, akan muncul tekanan untuk menjual lahan kepada para investor asing. Di pulau yang menganut tradisi kepemilikan bersama, klaim atas lahan yang dipertikaikan dan kemungkinan diraihnya keuntungan kilat telah memecah belah desa, bahkan keluarga. Sekarang jalan baru berlika-liku dibangun di pinggiran Suqutra dan hotel serta pertokoan baru sedang dibangun di Hadibu, sebagian besar milik orang yang bukan penduduk pulau itu.
Namun, di Pegunungan Hajhir, cara lama tampaknya tetap bertahan. Para tetua desa bangun di waktu subuh dan bernyanyi kepada kambing mereka. Penduduk desa juga masih meminta bantuan dukun yang membakar kulit mereka guna mengusir penyakit. Kabut malam menghilang bersama terbitnya matahari, burung starling suqutra (Onychognathus frater) melayang-layang di antara pohon suji darah, dan bunga misterius mekar di lereng bukit yang masih belum terjamah manusia.
Menjelang akhir perjalanan, saya bersama Van Damme, Banfield, dan para pemandu menuju Dataran Tinggi Momi. Kawasan ini berupa deretan bukit batu gamping dan semak yang tersebar di atas gua besar-besar, dipenuhi udang air tawar dan invertebrata endemik yang langka. Tatkala kami mulai melangkah, seorang lelaki tua berjanggut putih bergegas menghampiri dan berseru, mengapa kami berada di lahannya? Kami harus pergi! Katanya, jika dia mengizinkan kami berada di situ, artinya akan lebih banyak wisatawan berdatangan meracuni kalajengking.
Kalau kami memberinya sepuluh dolar, katanya dia bersedia memandu kami di lereng bukit menuju tebing curam di bawah. Dia berjalan dengan kaki telanjang melintasi bebatuan tajam. Kami mendaki tebing yang memiliki tinggi hampir 600 meter di atas Laut Arab, dan ketika kembali, lelaki tua itu menggunakan syal hijaunya untuk menyatukan seikat besar dahan pohon, memanggul beban berat itu di punggung untuk dibawa pulang ke gubuknya.
Setelah tiba kembali di desa, Van Damme berkata akan menunjukkan benda aneh dan misterius yang ditemukannya tidak jauh dari situ. Van Damme meyakini benda itu milik ular ajaib yang menjadi penjaga gua. Dia mengambil sehelai kain putih dari lipatan sarung miliknya. Di dalamnya tampak sebutir kelereng—berwarna cokelat melingkar yang kerap dimainkan oleh anak-anak, tetapi di dunianya, benda ini sungguh menakjubkan.
“Suqutra relatif masih murni,” ujar Van Damme. “Tetapi gelombang peradaban dan pembangunan ini merupakan bahaya terbesar yang mengancam keragaman hayati Suqutra. Warga Suqutra telah mempraktikkan pelestarian melalui tradisi mereka, namun sekarang tergantung pada kita untuk menjaga agar tradisi ini dapat terus berlanjut, dan kuat menghadapi berbagai ancaman. Suqutra adalah salah satu tempat terakhir di muka Bumi dengan lingkungan unik yang sebetulnya dapat kita lindungi, dan di sini kita masih dapat melakukan sesuatu yang positif sebelum terlambat.”