Mentimun?
“Ya, inilah satu-satunya spesies pohon dalam keluarga Cucurbitaceae, keluarga tumbuhan yang biasanya tumbuh mendaki atau merambat dengan liar. Tetapi di sini dapat kita lihat yang ukurannya sangat besar, dengan batang besar. Seperti tumbuhan dari negeri antah berantah.”
Meski demikian, bentuk unik pohon endemik lain, suji darah, yang menjadi lambang Suqutra, bahkan mirip uang koin. Sebagai kerabat tanaman rumah dari genus Dracaena, suji darah tumbuh di dataran dan pegunungan hampir di seluruh pulau. Hutan suji darah yang paling luas terdapat di Firmihin dan di situlah saya menghabiskan malam hari bersama Neehah dan Metagal. Esoknya, Banfield dan rekannya Ahmed Adeebd yang berasal dari Suqutra mengajak saya mendaki di seputar Firmihin.
Bentang alamnya berupa batu gamping berserakan yang terkikis menjadi bentuk setajam pisau. Padang tandus kecokelatan di sana-sini diselingi bunga berwarna merah cemerlang dari tanaman sukulen mishhahir. Di sekitar kami tampak kumpulan pohon suji darah yang dahannya menyeruak ke atas, tampak seperti payung terbuka. Beratus-ratus pohon suji darah menyebar ke semua penjuru, tetapi Banfield mengemukakan hal yang merisaukan: Hampir tidak ada tunas yang tumbuh dari bebatuan di bawah pohon dewasa.
Banyak tumbuhan di sini mengandalkan kabut untuk mendapatkan air. Beberapa di antara tumbuhan endemik yang langka di Suqutra tumbuh di tebing terjal di pegunungan dan di sekitar tepian pulau, dan di situ mereka menyerap lembap yang terhimpun saat kabut mengembun di bebatuan. Cabang suji darah yang menyeruak ke atas itu sesungguhnya merupakan adaptasi yang berlangsung amat lambat untuk mengumpulkan lembap yang berharga dari kabut di udara—dan saat ini jumlah air semakin menyusut.
Jika perubahan iklim itulah yang menyebabkan tidak terjadinya regenerasi suji darah dan tumbuhan langka lainnya, mungkin tidak akan ada solusi jangka pendek. Sementara itu, Banfield dan para pakar pelestarian alam lainnya sama-sama prihatin akan ancaman manusia.
Sebelum 1999, tidak ada bandara bagus di Suqutra dan tidak ada jalan beraspal. Namun, sejak tahun itu, laju pembangunan sangat pesat. Perubahan yang di tempat lain berlangsung selama puluhan tahun dipadatkan menjadi beberapa tahun saja di sini. Semakin banyak kendaraan melintasi pulau di jaringan jalan raya yang terus tumbuh.
Meski pergolakan politik belum lama ini membatasi kedatangan wisatawan asing, selama dasawarsa yang lalu pantai yang molek, pegunungan yang bergerigi, keragaman hayati yang unik, dan budaya purba pulau ini menarik wisatawan dengan kenaikan jumlah yang mencengangkan—dari 140 wisatawan asing pada tahun 2000 menjadi hampir 4.000 orang pada 2010. Para pencinta Suqutra mengkhawatirkan bahwa ketidaksabaran pemerintah Yaman dalam mengubah pulau ini menjadi pulau abad ke-21 mungkin telah menimbulkan kerusakan yang tak dapat dipulihkan pada berbagai hal yang justru membuat orang tertarik untuk mendatanginya.
Ahli biologi Belgia Kay Van Damme pertama kali mengunjungi Suqutra pada 1999 sebagai anggota suatu ekspedisi ilmiah. Sebagai pakar udang air tawar, dia masih ingat bahwa dia dan rekan-rekan kerjanya menemukan beberapa spesies baru hanya dengan berjalan di jalan setapak atau menyusuri sungai kecil, mengumpulkan kadal, keong, serangga, tumbuhan, dan makhluk hidup lain—kadang berhasil menemukan beberapa spesies yang tadi disebutkan dalam satu hari saja.
Saat dia kembali ke Suqutra tahun demi tahun, tujuan Van Damme yang sepenuhnya ilmiah berubah menjadi keprihatinan mendalam akan nasib pulau itu dan budayanya. “Kami diundang ke rumah penduduk, dan baru tahu bahwa penduduk Suqutra memiliki hubungan kuat dengan lingkungannya,” katanya. “Saya sadar bahwa semua spesies itu mampu bertahan selama ini hanya karena berbagai cara tradisional yang digunakan penduduk untuk melindungi pulau mereka.”
Lebih dari 600 desa, kebanyakan hanya berupa kumpulan rumah yang dihuni oleh keluarga besar, tersebar di seluruh Suqutra, masing-masing dipimpin oleh seorang muqaddam, atau tetua yang dihormati. Selama berabad-abad, penduduk Suqutra mengembangkan cara praktis yang menyangkut kegiatan merumput, memanen kayu, pertikaian kepemilikan lahan antarsuku, penggunaan sumber daya air, dan berbagai masalah yang serupa. Suqutra tidak seperti Yaman daratan yang kerap terjadi perseteruan sengit antarsuku dan pemandangan lelaki bersenjata yang membawa-bawa jambiya (belati upacara). Penduduk Suqutra terbiasa menyelesaikan masalah secara kekeluargaan dalam rapat di antara desa-desa yang bertetangga. Pelestarian sumber daya merupakan satu-satunya pilihan untuk bisa bertahan hidup di lingkungan pulau yang ganas. Hal itulah yang melindungi keragaman hayati yang istimewa di Suqutra.
Van Damme telah meneliti dengan cermat pengaruh pembangunan di pulau lain, dan yang disaksikannya membuatnya risau. “Habitat hilang, tercerai-berai, spesies menjadi ganas, keragaman hayati menyusut,” katanya.