Dengan hati pilu saya menyaksikan konsekuensi kehancuran bahasa di tengah suku Aka di Palizi, sebuah dusun kecil di lereng gunung di Arunachal Pradesh, negara bagian nan terjal di perbatasan utara India. Terpencilnya suku ini melahirkan swasembada radikal, terlihat dari ketiadaan kata Aka untuk pekerjaan, dalam arti kerja yang digaji.
Orang Aka mengukur kekayaan dengan mithan, sejenis lembu seladang Himalaya. Harta suku Aka yang dianggap paling berharga adalah kalung tradzy—setara dengan dua mithan—terbuat dari batu kuning dari sungai di dekat situ, yang diwariskan kepada anak-anak mereka. Batu kuning untuk kalung tradzy tidak lagi dapat ditemukan di sungai itu, jadi satu-satunya cara untuk memiliki kalung berharga ini adalah dengan mewarisinya.
“Saya memandang dunia melalui sudut pandang bahasa ini,” kata Pastor Vijay D’Souza, yang mengelola sekolah Yesuit di Palizi. Serikat Yesuit mendirikan sekolah itu karena mengkhawatirkan kerapuhan bahasa dan budaya Aka dan ingin mendukungnya (meskipun menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar di sekolah). D’Souza berasal dari selatan India, dan bahasa ibunya Konkani. Ketika dia datang ke Palizi pada 1999 dan mulai berbicara bahasa Aka, bahasa itu mengubahnya.
“Bahasa ini mengubah pola pikir dan pandangan kita,” katanya kepada saya suatu hari di kantor kepala sekolah. Satu contoh kecil: mucrow. Kata itu dalam bahasa ibu D’Souza merupakan penghinaan, artinya “gaek”. Dalam bahasa Aka, “mucrow” memiliki arti yang lebih luas. Itu panggilan yang menunjukkan rasa hormat, segan, sayang. Orang Aka dapat menyebut seorang wanita dengan mucrow untuk menunjukkan kebijaksanaan wanita itu dalam urusan kemasyarakatan. Kata D’Souza, “Seorang istri suku Aka memanggil suaminya mucrow, sekalipun sang suami masih muda,” dan mengucapkannya dengan rasa sayang.
Ahli bahasa dari Amerika David Harrison dan Greg Anderson datang ke Arunachal Pradesh untuk meneliti bahasanya sejak 2008. Mereka merupakan anggota Proyek Enduring Voices National Geographic. Beberapa kelompok linguis di seluruh dunia terlibat dalam penelitian bahasa yang terancam punah. Ada peneliti yang memiliki afiliasi akademik dan institusi, sementara yang lain mungkin bekerja untuk masyarakat Alkitab yang menerjemahkan Injil ke berbagai bahasa baru. Para penelitinya mungkin memiliki tujuan yang terpisah—untuk mengabadikan tata bahasa dan kosakata suatu bahasa sebelum sirna atau terkontaminasi—atau mungkin juga intervensionis, untuk membangun sistem tulisan bagi bahasa lisan, menyusun kamus, dan mengajari penutur asli untuk menulis. !break!
Ahli bahasa telah mengidentifikasi banyak titik-utama bahasa yang tinggi tingkat keanekaragaman linguistik dan jumlah bahasa yang terancamnya (lihat peta, halaman 90-91). Banyak dari tempat ini yang merupakan tempat yang paling sulit didatangi di dunia, dan biasanya alamnya juga paling keras—seperti Arunachal Pradesh. Aka dan bahasa sekitarnya terlindung karena Arunachal Pradesh merupakan wilayah tertutup bagi orang luar. Jadi budaya mikronya yang rapuh terhindar dari arus tenaga kerja imigran, modernisasi.
Kehidupan kemasyarakatan di Palizi diatur melalui cerita mite dan legenda yang berisi pelajaran akhlak. Kisah-kisah semacam ini diceritakan oleh para tetua dalam bahasa Aka yang sangat formal sehingga orang muda tidak memahaminya. Di daerah terpencil sekalipun, anak muda semakin meninggalkan bahasa ibunya akibat bahasa Hindi di televisi dan bahasa Inggris di sekolah. Sekarang jumlah penutur Aka kurang dari 2.000, termasuk dalam daftar bahasa yang terancam punah.
Suatu malam di Palizi, saya bersama Harrison, Anderson, dan seorang ahli bahasa India duduk bersila mengelilingi tungku di rumah Pario Nimasow, guru berusia 25 tahun di sekolah Yesuit itu. Setelah makan malam Nimasow menghilang sejenak dan kembali membawa bungkusan katun putih kotor. Di dalamnya ada beberapa azimat: rahang harimau, rahang sanca, rahang-bawah ikan sungai bergigi tajam, kristal kuarsa, dan barang lain yang biasa dimiliki dukun. Buntalan ini milik ayah Nimasow sampai dia meninggal pada 1991. “Bapak saya pendeta,” kata Nimasow. Dan sekarang? tanya saya. Apakah dia akan meneruskan tradisi itu? Nimasow menatap azimat itu dan menggeleng. Dia mewarisi peralatan, tetapi dia tidak tahu mantranya; ayahnya meninggal sebelum mengajarinya. Tanpa kata-kata, daya magis pepunden tersebut tidak bisa dikeluarkan.
Harrison mengingatkan kepada saya bahwa sekitar 85 persen bahasa di dunia belum terdokumentasikan. Pengetahuan itu dapat memperkaya pemahaman kita tentang sifat universal semua bahasa.
Setiap bahasa menyoroti pengalaman manusia yang berbeda, mengungkapkan berbagai aspek kehidupan yang cenderung kita anggap tetap dan universal, seperti pemahaman kita tentang waktu, jumlah, atau warna. Dalam bahasa Tuva, misalnya, masa lalu selalu disebut sebagai di depan, dan masa depan berada di belakang. “Kami tidak bisa berkata, ‘Ke depan, saya akan melakukan sesuatu,’” kata seorang Tuva kepada saya. Malah, dia berkata, “Ke belakang, saya akan melakukan sesuatu.” Sangat masuk akal jika kita memikirkannya dengan cara Tuva: Jika masa depan berada di hadapan kita, bukankah dapat kita lihat dengan jelas?
Jika bahasa Aka, atau bahasa apa pun, digantikan dengan bahasa baru yang lebih berguna secara universal, kematian bahasa itu dapat mengguncang fondasi suku. “Bahasa Aka merupakan identitas kami,” kata seorang penduduk desa. “Tanpa itu, apa bedanya kami dengan suku lainnya?” Namun, haruskah seluruh dunia juga turut berduka? Sulit mengajukan pertanyaan ini dalam bahasa Aka, yang tampaknya tidak memiliki satu kata pun untuk dunia. Namun, orang Aka mungkin mengajukan jawaban, yang terejawantah dalam konsep mucrow. Konsep tentang penghargaan terhadap tradisi, pengetahuan turun-temurun, keyakinan bahwa orang tua nan lemah punya sesuatu yang dapat diajarkan kepada pemuda yang kelak memandu hidup generasi selanjutnya. !break!
Seri