Suara-Suara yang Sirna

By , Jumat, 22 Juni 2012 | 10:40 WIB

BAHASA Tuva

WELAS ASIH Khoj Özeeri

Suatu pagi di awal musim gugur Andrei Mongush dan kedua orang tuanya mulai melakukan persiapan untuk makan malam. Mereka memilih seekor piaraan, domba muka hitam berekor gemuk, lalu membaringkannya di atas terpal. Rumah keluarga Mongush terletak di taiga Siberia, di tepi hamparan stepa sejauh mata memandang, di balik cakrawala Kyzyl, Ibu Kota Republik Tuva, di Federasi Rusia. Mereka tinggal di dekat pusat geografis Asia, tetapi secara linguistik dan hubungan kemasyarakatan, keluarga ini hidup di pinggiran, tapal batas antara kemajuan dan kekolotan. Sejak dahulu suku Tuva hidup sebagai penggembala nomaden, membawa aal—kumpulan tenda yurt—beserta domba, sapi, dan rusa kutub mereka dari satu padang rumput ke padang rumput lainnya. Kedua orang tua Andrei, yang kembali ke aal mereka di padang rumput setelah bekerja di kota, dapat berbicara bahasa Tuva dan Rusia. Andrei dan istrinya juga dapat berbicara bahasa Inggris. Mereka bekerja sebagai musisi di Orkestra Nasional Tuva, ansambel yang menggunakan melodi dan alat musik tradisional Tuva dalam aransemen simfoni. Andrei menguasai musik Tuva yang paling khas: nyanyian tenggorokan, atau khöömei.

Ketika saya menanyai mahasiswa di Kyzyl tentang kata Tuva yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau Rusia, mereka mengusulkan khöömei dan khoj özeeri, cara orang Tuva menjagal domba. Jika penyembelihan ternak dapat dilihat sebagai bagian dari kedekatan manusia dengan hewan, khoj özeeri merupakan versi yang luar biasa akrab. Melalui sayatan di kulit domba, penyembelih memutus nadi penting dengan jarinya, sehingga hewan itu mati tanpa terkejut, demikian tenang. Dalam bahasa suku Tuva, khoj özeeri tidak hanya berarti menyembelih, tetapi juga welas asih, kemanusiaan, dan adab saat orang menjagal, hingga menggarami kulitnya, mengolah dagingnya, serta membuat sosis dengan darah.

Khoj özeeri menyiratkan hubungan dengan satwa yang mencerminkan sifat yang dimiliki suku ini. Hal ini seperti penjelasan seorang mahasiswa, “Jika orang Tuva membunuh binatang seperti yang dilakukan di tempat yang lain”—dengan pistol atau pisau—“dia akan ditangkap atas tuduhan kekejaman”.

Tuva merupakan salah satu bahasa kecil di dunia. Penduduk bumi yang tujuh miliar menggunakan sekitar 7.000 bahasa, setiap bahasa-hidup mendapat sejuta penutur, jika dibagi rata. Kenyataannya, tujuh puluh delapan persen populasi dunia menggunakan 85 bahasa terbesar, sementara 3.500 bahasa terkecil hanya dipakai oleh total 8,25 juta penutur. Jadi, sementara bahasa Inggris digunakan 328 juta orang sebagai bahasa utama, dan Mandarin 845 juta, penutur Tuva di Rusia hanya 235.000 orang. Ketika pergantian abad nanti, menurut ahli bahasa, hampir setengah dari bahasa di dunia saat ini mungkin punah. Lebih dari se­ribu yang digolongkan kritis atau sangat genting. !break!

Di zaman yang kian mengglobal, terhubung, dan homogen ini, bahasa yang dipakai di tempat terpencil tidak lagi terlindung oleh batas negara atau batas alam dari bahasa yang mendominasi dunia komunikasi dan perdagangan. Jangkauan bahasa Mandarin, Inggris, Rusia, Hindi, Spanyol, dan Arab tampaknya meluas ke kampung-kampung, tempat bahasa ini bersaing dengan bahasa Tuva, Yanomami, dan Altai dalam pertempuran di setiap rumah. Orang tua di pedalaman sering mendorong anaknya supaya meninggalkan bahasa suku yang dipakai leluhur dan menggunakan bahasa yang dapat dipakai untuk meraih pendidikan dan kesuksesan yang lebih tinggi.

Siapa yang bisa menyalahkan mereka? Saat ini semua bahasa yang memiliki stasiun televisi dan mata uang dapat melenyapkan bahasa yang tidak memilikinya. Jadi penduduk Tuva harus bisa berbicara bahasa Rusia dan Mandarin jika ingin berhubungan dengan dunia sekitarnya. Serbuan dominasi Rusia ke Tuva terlihat jelas dalam kemampuan berbahasa generasi Tuva yang dibesarkan pada pertengahan abad ke-20, saat tren berbicara, membaca, dan menulis bahasa Rusia mewabah.

Namun bahasa Tuva cukup sehat bila dibandingkan bahasa lain yang lebih rapuh, sebagian penuturnya tinggal seribu, atau sepuluh, atau bahkan satu orang. Bahasa seperti Wintu, bahasa asli di California, atau Siletz Dee-ni, di Oregon, atau Amurdak, logat Aborigin di Wilayah Utara Australia, hanya memiliki satu atau dua penutur fasih atau setengah fasih. Penutur terakhir yang tidak punya teman bicara pasti merasakan kesepian yang tidak terucapkan.

Untungnya, Tuva tak termasuk bahasa yang terancam punah di dunia. Sejak pecahnya Uni Soviet, bahasa ini mencapai kestabilan. Bahasa Tuva kini punya “tentara bersenjata lengkap”—belum ada stasiun televisi atau mata uang, tetapi punya surat kabar dan 264.000 penutur (beberapa di Mongolia dan Tiongkok). Sementara itu Tofa, bahasa Siberia di dekatnya, sekarang hanya digunakan oleh 30 penutur.

Arti penting bahasa Tuva bagi pemahaman kita tentang bahasa yang punah terletak pada perta­nyaan lain yang sulit dijawab para ahli linguistik: Apa yang membuat satu bahasa berkembang sementara yang lain menyusut atau punah? !break!

Aka

Penghormatan terhadap Mucrow

Dengan hati pilu saya menyaksikan konsekuensi kehancuran bahasa di tengah suku Aka di Palizi, sebuah dusun kecil di lereng gunung di Arunachal Pradesh, negara bagian nan terjal di perbatasan utara India. Terpencilnya suku ini melahirkan swasembada radikal, terlihat dari ketiadaan kata Aka untuk pekerjaan, dalam arti kerja yang digaji.

Orang Aka mengukur kekayaan dengan mithan, sejenis lembu seladang Himalaya. Harta suku Aka yang dianggap paling berharga adalah kalung tradzy—setara dengan dua mithan—terbuat dari batu kuning dari sungai di dekat situ, yang diwariskan kepada anak-anak mereka. Batu kuning untuk kalung tradzy tidak lagi dapat ditemukan di sungai itu, jadi satu-satunya cara untuk memiliki kalung berharga ini adalah dengan mewarisinya.

“Saya memandang dunia melalui sudut pandang bahasa ini,” kata Pastor Vijay D’Souza, yang mengelola sekolah Yesuit di Palizi. Serikat Yesuit  mendirikan sekolah itu karena mengkhawatirkan kerapuhan bahasa dan budaya Aka dan ingin mendukungnya (meskipun menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar di sekolah). D’Souza berasal dari selatan India, dan bahasa ibunya Konkani. Ketika dia datang ke Palizi pada 1999 dan mulai berbicara bahasa Aka, bahasa itu mengubahnya.

“Bahasa ini mengubah pola pikir dan pandangan kita,” katanya kepada saya suatu hari di kantor kepala sekolah. Satu contoh kecil: mucrow. Kata itu dalam bahasa ibu D’Souza merupakan penghinaan, artinya “gaek”. Dalam bahasa Aka, “mucrow” memiliki arti yang lebih luas. Itu panggilan yang menunjukkan rasa hormat, segan, sayang. Orang Aka dapat menyebut seorang wanita dengan mucrow untuk menunjukkan kebijaksanaan wanita itu dalam urusan kemasyarakatan. Kata D’Souza, “Seorang istri suku Aka memanggil suaminya mucrow, sekalipun sang suami masih muda,” dan mengucapkannya dengan rasa sayang.

Ahli bahasa dari Amerika David Harrison dan Greg Anderson datang ke Arunachal Pradesh untuk meneliti bahasanya sejak 2008. Mereka merupakan anggota Proyek Enduring Voices National Geographic. Beberapa kelompok linguis di seluruh dunia terlibat dalam penelitian bahasa yang terancam punah. Ada peneliti yang memiliki afiliasi akademik dan institusi, sementara yang lain mungkin bekerja untuk masyarakat Alkitab yang me­nerjemahkan Injil ke ber­bagai bahasa baru. Para penelitinya mungkin memiliki tujuan yang terpisah—untuk mengabadikan tata bahasa dan kosakata suatu bahasa sebelum sirna atau terkontaminasi—atau mung­kin juga intervensionis, untuk mem­bangun sistem tulisan bagi bahasa lisan, menyusun kamus, dan mengajari penutur asli untuk menulis. !break!

Ahli bahasa telah mengidentifikasi banyak titik-utama bahasa yang tinggi tingkat keanekaragaman linguistik dan jumlah bahasa yang terancamnya (lihat peta, halaman 90-91). Banyak dari tempat ini yang merupakan tempat yang paling sulit didatangi di dunia, dan biasanya alamnya juga paling keras—seperti Arunachal Pradesh. Aka dan bahasa sekitarnya terlindung karena Arunachal Pradesh merupakan wilayah tertutup bagi orang luar. Jadi budaya mikronya yang rapuh terhindar dari arus tenaga kerja imigran, modernisasi.

Kehidupan kemasyarakatan di Palizi diatur melalui cerita mite dan legenda yang berisi pelajaran akhlak. Kisah-kisah semacam ini diceritakan oleh para tetua dalam bahasa Aka yang sangat formal sehingga orang muda tidak memahaminya. Di daerah terpencil sekalipun, anak muda semakin meninggalkan bahasa ibunya akibat bahasa Hindi di televisi dan bahasa Inggris di sekolah. Sekarang jumlah penutur Aka kurang dari 2.000, termasuk dalam daftar bahasa yang terancam punah.

Suatu malam di Palizi, saya bersama Harrison, Anderson, dan seorang ahli bahasa India duduk bersila mengelilingi tungku di rumah Pario Nimasow, guru berusia 25 tahun di sekolah Yesuit itu. Setelah makan malam Nimasow menghilang sejenak dan kembali membawa bungkusan katun putih kotor. Di dalamnya ada beberapa azimat: rahang harimau, rahang sanca, rahang-bawah ikan sungai bergigi tajam, kristal kuarsa, dan barang lain yang biasa dimiliki dukun. Buntalan ini milik ayah Nimasow sampai dia meninggal pada 1991. “Bapak saya pendeta,” kata Nimasow. Dan sekarang? tanya saya. Apakah dia akan meneruskan tradisi itu? Nimasow menatap azimat itu dan menggeleng. Dia mewarisi peralatan, tetapi dia tidak tahu mantranya; ayahnya meninggal sebelum mengajarinya. Tanpa kata-kata, daya magis pepunden tersebut tidak bisa dikeluarkan.

Harrison mengingatkan kepada saya bahwa sekitar 85 per­sen bahasa di dunia belum terdokumentasikan. Pengetahuan itu dapat memperkaya pemahaman kita tentang sifat universal semua bahasa.

Setiap bahasa menyoroti pengalaman manusia yang berbeda, mengungkapkan berbagai aspek kehidupan yang cenderung kita anggap tetap dan universal, seperti pemahaman kita tentang waktu, jumlah, atau warna. Dalam bahasa Tuva, misalnya, masa lalu selalu disebut sebagai di depan, dan masa depan berada di belakang. “Kami tidak bisa berkata, ‘Ke depan, saya akan melakukan sesuatu,’” kata seorang Tuva kepada saya. Malah, dia berkata, “Ke belakang, saya akan melakukan sesuatu.” Sangat masuk akal jika kita memikirkannya dengan cara Tuva: Jika masa depan berada di hadapan kita, bukankah dapat kita lihat dengan jelas?

Jika bahasa Aka, atau bahasa apa pun, digantikan dengan bahasa baru yang lebih berguna secara universal, kematian bahasa itu dapat mengguncang fondasi suku. “Bahasa Aka merupakan identitas kami,” kata seorang penduduk desa. “Tanpa itu, apa bedanya kami de­ngan suku lainnya?” Namun, haruskah seluruh dunia juga turut berduka? Sulit mengajukan pertanyaan ini dalam bahasa Aka, yang tampaknya tidak memiliki satu kata pun untuk dunia. Namun, orang Aka mungkin mengajukan jawaban, yang terejawan­tah dalam konsep mucrow. Konsep tentang penghargaan terhadap tradisi, pengetahuan turun-temurun, keyakinan bahwa orang tua nan lemah punya se­suatu yang dapat diajarkan kepada pemuda yang kelak memandu hidup generasi selanjutnya. !break!

Seri

Kearifan Hant Iiha Cöhacomxoj

Hancurnya keanekaragaman hayati dunia yang sedang terjadi merupakan metafora yang tepat bagi krisis kepunahan bahasa. Lenyapnya suatu bahasa berarti lenyap pula pengetahuan yang sama berharganya dengan obat ajaib masa depan yang mungkin raib ketika ada spesies yang punah. Bahasa kecil, melebihi bahasa besar, menyimpan kunci untuk membuka rahasia alam, karena penuturnya cenderung hidup a­krab dengan tanaman dan hewan di sekitar mereka, dan pembicaraan mereka mencerminkan pengamatan tersebut. Ketika komunitas kecil me­ninggalkan bahasanya dan beralih menggunakan bahasa Inggris atau Spanyol, ba­nyak kekayaan tradisi yang tidak terwariskan ke generasi selanjutnya—mengenai tanaman obat, budi daya tanaman pangan, teknik irigasi, sistem navigasi, kalender musiman.

Suku Seri di Meksiko adalah kaum seminomaden yang berburu dan meramu di Gurun Sonora barat dekat Teluk California. Kelangsungan hidup mereka bergantung sifat dan perilaku spesies yang hidup di gurun dan laut itu. Keakraban dengan dunia tanaman dan hewan merupakan ciri khas kehidupan suku Seri dan bahasa mereka, Cmiique Iitom.

Biasanya suku Seri, yang menyebut diri mereka Comcaac, tidak memiliki tempat tinggal tetap, sehingga keberadaan mereka bergantung kepada bagian gurun yang menyediakan pangan paling banyak. Kini mereka tinggal di dua permukiman, Punta Chueca dan El Desemboque, masing-masing sekumpulan kecil rumah batako di tengah gurun merah luas di tepi teluk. Rumah-rumah itu dikelilingi oleh kaktus ocotillo berduri.

Setiap hari Armando Torres Cubillas duduk di sudut studio terbuka di tepi pantai di El Desemboque, bersimpuh di tanah berpasir dengan kakinya yang lumpuh. Sesekali dia memandang teluk dan mengiringi kegiatan seni itu dengan lagu taijitiquiixaz tentang percakapan antara kerang pantai kecil dan undur-undur laut atau yutuk. Liriknya khas suku Seri: karunia alam, dan diwarnai dengan nada sendu.

Ketika ahli bahasa dari Amerika Edward Moser dan Maria Beck Moser datang untuk tinggal bersama suku Seri pada 1951 di El Desemboque, nasib suku ini sedang nahas—wabah campak dan influenza menurunkan jumlahnya menjadi sekitar dua ratus orang.

Maria Moser bekerja sebagai perawat dan bidan bagi suku itu. Setelah membidani banyak kelahiran, sesuai adat, keluarga bayi memberinya sepotong tali pusar bayinya yang sudah dikeringkan, yang disimpan Mary di dalam “botol pusar”. Mereka juga memberinya kepangan panjang dari delapan ikat rambut, jati diri Indian. Para pria Indian merasa harus memotongnya saat pergi ke kota-kota Meksiko. Kepangan itu seperti tali pusar budaya, hubungan yang terputus antara yang lama dan yang baru. !break!

Pasangan Moser memiliki seorang putri, Cathy, yang tumbuh di tengah suku Seri di El Desemboque dan menjadi seniman grafis dan ahli etnografi. Dia dan suaminya, Steve Marlett, melanjutkan penelitian pasangan Moser tentang bahasa Seri. Sekarang komunitas ini telah pulih menjadi antara 650-1.000 penutur. Mereka berhasil mempertahankan bahasa me­reka, sebagian berkat permusuhan terhadap budaya mayoritas yang ada di Meksiko. Pada 1773 mereka membunuh misionaris Katolik. Vatikan tidak melanjutkan upaya itu sehingga suku Seri tidak pernah dikatolikkan.

Kemewahan modern milik suku Seri diimpor tanpa disertai nama Spanyolnya. Mobil, misalnya, telah memicu banjir kata baru. Peredam knalpot mobil Seri disebut ihíisaxim an hant yaait, atau “pernapasan turun ke dalamnya”, sementara istilah Seri untuk tutup busi dikaitkan dengan ikan pari listrik yang berenang di Teluk California yang bisa menyetrum. Ibarat tanaman ocotillo yang terpancang di pasir: Leksikon Iitom Cmiique masih hidup, dan seiring pertumbuhannya, bahasa itu menciptakan pagar hidup di sekeliling budayanya.

René Montano bercerita tentang hant iiha cöhacomxoj, orang yang telah diberi tahu tentang pusaka bumi, semua hal kuno. “Diberi tahu” disertai dengan perintah: Turunkan pe­ngetahuan itu. Berkat itu, kita semua menjadi ahli waris pengetahuan yang diabadikan dalam bahasa Cmiique Iitom. Peribahasa rakyat dan bahkan kata-kata mengabadikan pengamatan mendalam berabad-abad terhadap spesies yang baru mulai dipelajari para ilmuwan-tamu pada beberapa dasawarsa terakhir.

Para ahli menggolongkan bahasa Seri sebagai bahasa isolat, tetapi mungkin istilah yang lebih tepat adalah “satu-satunya yang selamat”. “Suku Seri merupakan pintu masuk ke dunia suku teluk yang hilang,” kata Steve Marlett. “Banyak suku lain yang sudah punah,” katanya, dan sa­yangnya, punah sebelum didokumentasikan.

Salah satu cara melestarikan bahasa adalah mengabadikannya dalam tulisan dan menyusun kamus. David Harrison dan Greg Anderson menyusun kamus Tuva-Inggris pertama dan bangga melihat gairah penutur asli terhadap buku itu. Steve dan Cathy Marlett bekerja sampai pada 2005 menyelesaikan kamus Cmiique Iitom yang diawali oleh kedua orang tua Cathy pada 1951.

Pengumpulan kosakata, lafal, dan sintaksis yang dilakukan ahli bahasa lapangan di tempat-tempat terpencil membantu menjaga bahasa tetap hidup. Namun, penyelamatan bahasa tidak dapat dilakukan oleh ahli bahasa, karena keselamatan harus berasal dari dalam.

Jawabannya mungkin terletak pada apa yang disaksikan Harrison dan Anderson di Palizi, ketika seorang warga desa berusia 20-an tahun datang bersama temannya untuk bernyanyi. Kedua ahli bahasa itu cukup terkejut ketika kedua pemuda menyanyikan lagu rap bergaya L.A. tulen. Mereka lengkap dengan gerakan tangan geng, anggukan kepala, dan gayanya, penampilan seni jalanan Amerika yang sempurna, dengan satu penyesuaian: Mereka menyanyi rap berbahasa Aka.

Apakah para ahli bahasa kecewa? Saya bertanya. Sebaliknya, Harrison mengatakan. “Anak-anak ini fasih berbahasa Hindi dan Inggris, tetapi mereka memilih bernyanyi rap dalam bahasa yang hanya digunakan oleh beberapa ribu orang.” Kooptasi dan penyerapan bahasa dapat terjadi dua arah, dan bahasa kecil kadang berperan sebagai penjajah. “Satu hal yang diperlukan untuk kebangkitan bahasa,” kata Pastor D’Souza, “adalah kebanggaan”.

Saat terlibat soal bahasa yang kian pupus, se­kalipun hanya sebagai wartawan, kami juga mau tak mau merenungkan rapuhnya kehidupan suku tradisional. Sejak kunjungan saya selama dua tahun terakhir ke Palizi; Pario Nimasow muda, yang memperlihatkan isi bungkusan azi­­mat ayahnya kepada saya, tewas akibat tanah longsor. Seminggu usai saya menulis paragraf tentang nyanyian Armando Torres, saya menerima surel dari Cathy Marlett. “Berita duka,” demikian judulnya. Torres wafat karena serangan jantung pada usia 67 tahun.

Kefanaan mereka mengingatkan kita tentang kefanaan budaya mereka. Sebuah pengingat bahwa dengan kematian setiap penutur, terputus pula satu lagi nadi penting.

Sejumlah hal yang menghalangi kemung­kinan pu­pus­­­nya bahasa milik mereka adalah keteguhan yang disertai rasa bangga, rasa hor­mat kepada para pen­da­hulu, kesadaran bahwa kunci masa depan ada di belakang kita. Itu, dan bahwa keyakinan te­guh, bahasa dengan penutur paling sedikit pun ma­sih menyimpan banyak hal yang dapat disampaikan.