Dalam Bayang-bayang Wounded Knee

By , Senin, 23 Juli 2012 | 12:10 WIB

Hampir setiap kekejaman sejarah memuat simbolisme geo­­­grafis, tempat yang namanya meng­ingatkan kita pada trauma suatu kaum. Sebut saja, Auschwitz (Eropa), Pulau Rob­ben (Atlantik), Nan­jing (China). Bagi suku Lakota Oglala dari Reservat Indian Pine Ridge, tempat itu berada di dekat Wounded Knee Creek.

Di sini, di kuburan massal bagi semua orang yang tewas pada pagi musim dingin lebih dari se­abad lalu, suatu energi—tindak kekerasan nan biadab sekaligus persembahan cinta yang luhur—melayang di udara selamanya.

Alex White Plume, aktivis Lakota Oglala berusia 60 tahun, tinggal bersama keluarganya di peternakan seluas 800 hektare di dekat Wounded Knee Creek. Tanah White Plume indah-permai, mulai dari bukit-bukit berselimut tumbuhan sage (sejenis tumbuhan semak), hingga anak-anak sungai yang berhias rerimbunan kecokelatan akhir musim panas. Dari beberapa tempat ter­lihat tanah yang tandus, tiang-tiang yang pucat terpanggang matahari, dan pilar-pilar yang terkikis bersih oleh angin. Ke arah lain tampak Black Hills di South Dakota.

Pada suatu hari yang panas dan lembap di awal Agustus, saya berkendara ke sana untuk mewawancarai White Plume di dapur luar rumah yang dikelilingi kawat nyamuk, yang baru saja dibangunnya untuk istrinya. Tanaman ganja tumbuh lebat di seluruh kebun mereka. “Silakan isap sebanyak yang kauinginkan,” White Plume menawarkan. “Saya selalu berkata begitu kepada semua orang: Isap sebanyak yang kauinginkan, toh kau tidak akan terlalu teler.” Tanaman itu adalah sisa-sisa dari perkebunan ganja industri—turunan dari tanaman Cannabis sativa yang memiliki kandungan rendah-tetrahydrocannabinol (THC). Keluarga Whi­te Plume pernah mem­budidayakan tanam­an itu tahun 2000.

Selama Perang Dunia II, budi daya ganja digiatkan di AS, seratnya di­manfaatkan untuk tali, kanvas, dan seragam. Tetapi, pada 1970 ganja industri rendah-THC dilarang oleh hukum, di bawah Controlled Substances Act. Pada 1998 Suku Sioux Oglala mengesahkan peraturan yang memperbolehkan budi daya ganja rendah-THC.!break!

“Warga Pine Ridge memiliki status berdaulat sebagai bangsa mandiri,” kata White Plume. “Dalam penafsiran saya, artinya saya bebas mencari nafkah dari tanah ini.” Menurut laporan, mereka telah beberapa kali diberi peringatan tegas oleh Robert Ecoffey, ketua Bureau of Indian Affairs (BIA) di Pine Ridge. Ecoffey mengingatkan bahwa kedaulatan Sioux Oglala bersifat terbatas dan tidak termasuk hak melanggar undang-undang federal. Tetapi, keluarga White Plume tetap menanam setengah hektare ganja industri menggunakan benih yang dikumpulkan dari tanaman yang tumbuh liar di rez (singkatan untuk reservat). Beberapa hari sebelum tanam­an itu memasuki masa panen, pada akhir Agus­tus 2000, agen dari Drug Enforcement Administration, FBI, BIA, dan U.S. Marshals Service membanjiri tempat itu dengan helikopter dan SUV, lalu menutup operasi ganja tersebut. Tanaman itu pun tumbuh liar. “Ini tujuannya bereksperimen dengan kapitalisme dan menguji kedaulatan kami, tetapi tampaknya pemerintah AS tidak ingin mengakui bahwa kami berhak atas keduanya,” kata White Plume. Lalu dia tertawa, khas orang yang tahu bahwa dia tidak dapat dikalahkan oleh kekecewaan biasa.

Setelah itu, kami membicarakan soal per­janjian yang dibuat dan dilanggar antara AS dan bangsa Sioux, dan itu tentu saja berujung ke percakapan tentang Black Hills, yang dipandang suku Oglala sebagai axis mundi, pusat dunia spiritual mereka. Perjanjian Fort Laramie 1868 menjamin kepemilikan bangsa Sioux atas per­bukitan itu, tetapi setelah emas ditemukan di sana pada 1874, pemerintah AS langsung menyita tanah itu. Bangsa Sioux tidak mau me­nerima keabsahan penyitaan itu dan melawan pengambilalihan tersebut selama seabad lebih. Pada 30 Juni 1980, dalam kasus negara versus bangsa Indian Sioux, Mahkamah Agung AS men­dukung putusan pengadilan berupa imbalan senilai Rp165 miliar untuk nilai tanah itu pada 1877, ditambah bunga 103 tahun, dengan nilai total sekitar Rp995 miliar. Tetapi, bangsa Sioux me­nolak pembayaran itu, bersiteguh bahwa Black Hills tak akan pernah dijual.

White Plume meminta saya me­renung­kan penghinaan Gunung Rushmore yang se­olah disengaja. “Para pemimpin dari bangsa yang telah melanggar setiap perjanjiannya dengan bangsa saya, wajah mereka dipahat di tempat tersuci kami. Apa yang setara dengan itu? Anda tahu yang setara dengan itu?” Saya tak terpikir satu pun. Lalu White Plume—yang sering menyela pandangannya yang tenang soal ketidakadilan sejarah dengan tertawa, juga dengan jeda untuk me­linting rokok—mengangkat kepala dan bertanya apakah saya punya waktu luang dan cukup bensin di mobil.

Saya mengiyakan keduanya, lalu kami keluar melaju ke tanahnya yang agung. Sambil duduk di tepi kali yang dibatasi pohon poplar, kami bercakap-cakap tentang berbagai penyebab ke­matian di rez. Kami juga membicarakan tentang bunuh diri yang terjadi pada musim panas itu, seorang gadis Oglala Lakota yang berusia 15 tahun. Saya me­rasa ada kaitan sejarah antara tumpukan mayat di tengah salju di Wounded Knee pada 1890, dan jenazah Dusti Rose Jumping Eagle yang terbaring sempurna bak boneka ber­kilau dalam peti mati terbuka di dalam kemah di Billy Mills Hall di kota Pine Ridge pada awal Juli 2011. Selendang tersampir di lehernya untuk menutupi cara bunuh dirinya.

“Seluruh Bangsa Sioux terluka dalam pem­bantaian besar terakhir itu, dan kami menderita semenjak itu. Memang benar bahwa kami punya cara sendiri untuk menyembuhkan diri dari luka genosida, tetapi ada begitu banyak trauma sejarah, begitu banyak kepedihan, begitu banyak kematian,” kata White Plume, dan dia memang sepantasnya tahu.!break!

Di tengah peternakannya ada sebuah dataran, yang konon merupakan tempat diadakannya Tari Arwah bersejarah yang memicu pembantaian Wounded Knee. Para pe­serta upacara spiritual yang diritualkan ini menari hingga mencapai tatar kesadaran lain dan konon menyatu dengan arwah leluhur dengan mudah, kesadarannya terlepas dari Bumi, dan menyentuh bintang pagi. Lalu ada fakta yang tak dapat dimungkiri bahwa tiga kerabat White Plume tewas pada hari musim dingin itu.

Pada 1890, kemarau parah mengakibatkan ke­melaratan yang lebih daripada biasanya bagi berbagai reservat yang menyempit di Great Plains (Reservat Great Sioux telah dibagi-bagi men­jadi enam reservat yang lebih kecil.) Pada saat yang sama, para agen BIA menjadi gugup melihat semakin seringnya Tari Arwah di­laku­kan oleh bangsa Sioux. Mereka kian kerap ber­kumpul di padang rumput terbuka dengan rasa semakin putus asa, memohon bimbingan dan petunjuk dari arwah leluhur dan dewa-dewa.

Pada tanggal 15 Desember 1890, polisi Indian AS menangkap Sitting Bull dalam upaya meredam “demam mesias” berupa upacara pribumi itu. Penangkapan ini kemudian me­libat­kan kekerasan, dalam cara-cara yang tampak­­nya tak terelakkan. Sitting Bull terbunuh, beserta tujuh pendukungnya dan enam polisi. Karena mencemaskan serangan balasan, seorang pemimpin lain, Big Foot, kabur ke selatan ber­sama sukunya untuk meminta suaka kepada Red Cloud di Reservat Pine Ridge.