Dalam Bayang-bayang Wounded Knee

By , Senin, 23 Juli 2012 | 12:10 WIB

Dia menyalakan seikat sage, dan kami ber­giliran mengarahkan asap yang menyucikan itu di sekitar rambut kami. Di luar terjadi ke­ricuhan. Meskipun uang selalu pas-pasan, dan Martinez punya tiga anak (berusia 19, 11, dan 5), sering ada gerombolan remaja tanggung berkumpul di rumahnya, yaitu peserta “pelatihan” kepemimpinan Martinez. Hari ini tidak ter­kecuali. Beberapa remaja, berusia 14 ke atas, sedang berlari di kebunnya yang lembap dan tak terurus, bermain tembak-tembakan dengan senapan angin. Salah seorang pemuda itu ter­tembak pantatnya dan sekarang menangis me­raung-raung. Martinez tertawa. “Oh pemuda pendekarku,” katanya. “Mari kita usut siapa yang menembak siapa.”

Mungkin wajar saja jika Martinez, yang besar di rez pada tahun 1970-an dan awal 80-an, memiliki kecenderungan radikal. “Masa itu masa edan,” kata Martinez. Orang-orang tak ter­lihat berkeliaran malam-malam, bersenjata api; banyak terjadi pembunuhan. “Tetapi keadaan pada masa itu terasa seperti perang bagi orang-orang yang terlibat,” katanya.

Pada bulan Februari 1973, 200 anggota American Indian Movement (AIM), kelompok pro-pribumi yang juga dianggotai orang tua Mar­tinez yang masih muda, menduduki tempat pembantaian Wounded Knee untuk mem­protes perjanjian yang dilanggar dan tata pe­me­rintahan suku yang korup. Pemerintah suku menanggapinya dengan membentuk milisi swasta—Guardians of the Oglala Nation, demikian sebutan mereka (singkatnya, GOON)—dan bersama puluhan tentara Garda Nasional dan agen FBI, menghadapi para aktivis. Pada akhir pengepungan itu, 71 hari kemudian, 130.000 peluru telah ditembakkan, dan pihak berwenang menangkap lebih dari 1.200 orang.

Saya dan Martinez membicarakan hal ini pada suatu sore di Permakaman Wounded Knee. “Saya adalah anak kandung dari revolusi itu,” katanya. Kami sedang bersantai di bawah pohon teduh, yang juga menaungi makam ayahnya. Angelo “Angel” Martinez tewas dalam tabrakan mobil pada 1974, sewaktu Martinez masih bayi. “Di sini, di Wounded Knee,” kata Martinez, sambil menusukkan jarinya ke tanah. “Di sinilah gagasan diri saya lahir.”

Jika dinilai langsung, pengepungan pada 1973 tidak mencapai tujuannya. Perjanjian antara AS dan suku Sioux Oglala yang dilanggar tetap di­langgar, pemerintahan suku tetap korup, dan masa pemberontakan itu memiliki dampak yang panjang dan penuh kekerasan. Antara 1 Maret 1973 dan 1 Maret 1976, tingkat pembunuhan di Reservat Pine Ridge lebih dari 17 kali lipat rata-rata AS. Tetapi, aktivis AIM berhasil mem­perjelas dua hal. Pertama, pemerintah AS tidak dapat lagi mengabaikan bangsa Indian se­bagai sekadar rintangan dalam mewujudkan mimpi­nya menguasai benua Amerika. Kedua, sebagai pribumi sejati, melawan kolonisasi dan asimilasi adalah hal yang layak diperjuangkan bangsa Indian sepanjang hayat dengan bangga.!break!

Pada suatu sore beberapa minggu kemudian, saya dan Martinez berkendara dua jam ke barat laut untuk mengantar kue ulang tahun kepada keponakannya, yang diperkosa di rez dan kabur ke penampungan perempuan di Rapid City, South Dakota. Dalam perjalanan, Martinez menunjuk beberapa mobil polisi negara bagian yang tidak berlogo. Ketika saya bertanya bagaimana dia tahu, kata Martinez, “Saya bisa mengenali polisi dari jauh. Demikianlah saya dibesarkan oleh ibu saya.”

Memang, Victoria Thunder Hawk telah mem­persiapkan anaknya untuk menghadapi penjara “Saya dibesarkan dengan uang mariyuana,” kata Martinez. “Demikianlah cara ibu saya menafkahi kami dan mendanai kegiatan perlawanannya. Jadi dulu dia sering berkata, ‘Pokoknya ingat, saat ditangkap polisi, tegakkan kepala dan tutup mulut.’” Kata Martinez, sewaktu dia kecil, sepertinya seluruh komunitas rez datang ke rumah mereka untuk membeli mariyuana, “guru, polisi, tetangga. Saya berpikir, semua orang merokok ganja.” Tetapi, Thunder Hawk tidak pernah menjadi kaya dari usaha itu, karena keuntungannya dibagi-bagikan kepada komunitas dengan royal. Dia juga memandang mariyuana sebagai obat untuk membantu kaum­nya sembuh dari penindasan dan untuk mencapai kerangka pikiran kontemplatif yang kreatif. Pada saat Martinez berusia 30 tahun, dia telah terlibat dalam penjualan obat hampir sepanjang ingatannya. “Tinggal masalah waktu saja,” kata Martinez. “Begitu kan? Akhirnya kita menjadi egois, ceroboh, lalu tertangkap.”

Kami telah menyerahkan kue ulang tahun dan sedang melaju di pusat kota Rapid City, dihiasi karya seni publik yang menampilkan adegan klasik koboi-dan-Indian. Tetapi, seperti yang terus ditegaskan oleh Martinez, masa lalu belum berakhir. Masa itu masih berlangsung. Sehari sebelumnya, se­orang lelaki Indian ber­usia 22 tahun yang ber­asal dari reservat, Daniel Tiger, menembak dan menewaskan seorang polisi dalam sebuah per­selisihan. Tiger juga di­tembak, lalu tewas akibat luka-lukanya, dan seorang polisi lain me­ninggal, dan seorang lagi dirawat di rumah sakit. “Orang kulit putih selalu berkata, kejadian seperti ini bukanlah rasialisme,” kata Martinez. “Tapi itu karena mereka bukan pribumi. Mungkin sudah waktunya kami menutup perbatasan di sekeliling rez. Indian tetap di dalam, orang kulit putih di luar. Lalu kita dapat bergerak maju. Tak ada lagi koboi dan Indian.”

Martinez menunjuk gedung persegi yang tegas di sebelah kanan. “Penjara County Pennington,” katanya. “Di situlah saya mengalami neraka se­lama 11,5 bulan.” Menurut Martinez, bagian ter­buruk dalam dirinya mati di penjara itu. “Mar­tinez yang serakah dan egois mati di dalam tembok itu. Dia dikubur di sana.” Dia meng­ulur­kan tangan, menepuk tangan saya, lalu tertawa. “Bukankah itu tempat yang cocok untuk mengubur keledai Indian yang terjajah? Di penjara orang kulit putih.” Mengikuti kelas rehabilitasi kecanduan, Martinez sepenuhnya bersih dari narkoba untuk pertama kalinya se­telah berpuluh tahun. “Lalu, saat saya mendapat wangsit, saat saya merasakan dewa-dewa, saya tahu saya tidak berhalusinasi. Saya mulai memercayai terawangan itu.” Menurut Martinez, sewaktu duduk di sel tanpa jendela, dia melihat masa depannya. “Saya melihat puluhan kemah didirikan di padang rumput, dan pendekar muda di mana-mana, bendera, kepang rambut, dan kamuflase berkibaran. Saya berada di tengah-tengah mereka, dan anak-anak saya ikut.” Martinez memejamkan mata, dan sejenak semua kepedihan dan perlawanan surut dari wajahnya.

Pada awal musim semi 2011, Olowan Thunder Hawk Martinez melihat sekilas terawangan yang diperolehnya di penjara. Selama be­berapa minggu, dia meminjam kemah dan men­dirikannya di tanah warisan ibunya.!break!

Menurut standar moral Barat konvensional, cita-cita Martinez tampak tidak ambisius, bahkan tidak bermakna. Namun, ibunya tentu merestuinya. Dan, Alex White Plume pasti menghormati hal seperti ini. “Segala sesuatu di AS berfokus pada uang,” katanya. “Jadi, bagai­mana mungkin kami bisa hidup seperti itu—dengan rumah orang kulit putih, truk orang kulit putih, mata uang orang kulit putih—sambil tetap mempertahankan budaya kami?”

Di dalam kemah, Martinez memanaskan kacang merah panggang di atas api terbuka, di­kelilingi dua putrinya yang belia, seorang putranya, dan setengah lusin pemuda Lakota Oglala. Seperti dalam visinya, para pemuda itu memakai kamuflase, sebagian besar mengepang rambut panjang mereka, pita berkibaran. Selama beberapa minggu yang suci, Martinez tidak tinggal di perumahan berlumut dari pemerintah. Dia meninggalkan listrik. Dia bangun pagi-pagi dan keluar dari kemah, langsung menerima rahmat bintang pagi, memanjatkan syukur.

Dan di luar kemah, dengan latar langit Great Plains yang resah, Martinez menaikkan bendera Amerika terbalik. Menurut aturan di AS, bendera itu tidak boleh dikibarkan dengan terbalik, kecuali sebagai sinyal bahaya besar, atau jika ada ancaman terhadap nyawa atau harta. “Memang kurang lebih begitu,” Martinez mengatakan. “Kami sedang dalam bahaya, tetapi kami tidak perlu orang datang dan menyelamatkan bangsa Indian. Saat kami menjunjung tradisi, mengadakan upacara, dan mendengarkan leluhur, segala sesuatu yang dibutuhkan untuk sembuh tersedia dalam diri kami.” Martinez berpikir sejenak. Lalu, ia menambahkan, “Kami akan bertahan.”