Pada pagi 28 Desember, unit Kavaleri Ketujuh AS yang pongah menemukan suku Big Foot dan mengawal mereka ke Wounded Knee Creek. Esok paginya kavaleri ini berusaha melucuti senjata para Indian. Apa yang terjadi berikutnya tidak terlalu jelas. Katanya seorang dukun, Yellow Bird, mulai menari, melemparkan beberapa genggam tanah ke udara. Perkelahian menyusul, senapan meletus, Tentara mulai menembak, dan pada saat asap buyar, Big Foot dan setidaknya 145 anggota sukunya terbunuh (menurut orang Oglala, lebih dari itu), termasuk 84 lelaki bocah dan dewasa, 44 wanita, dan 18 anak. Dilaporkan 25 tentara AS juga tewas, sebagian mungkin akibat tertembak temannya sendiri.
Saat bersaksi kepada komisaris Indian Affairs pada bulan Februari 1891, ketua Oglala, American Horse, berkata tentang hari itu, “Ada seorang wanita yang menggendong bayi, dibunuh saat ia hampir menyentuh bendera tanda menyerah… Persis di dekat bendera itu, seorang ibu ditembak roboh bersama bayinya; anak itu, yang tidak tahu bahwa ibunya sudah meninggal, masih menyusu, dan itu pemandangan yang sangat memilukan… Tentu saja tidak masalah jika hanya lelaki yang dibunuh, mungkin kami malah bersyukur. Tetapi, fakta bahwa pembunuhan dilakukan terhadap kaum perempuan, dan lebih khusus lagi pembunuhan anak-anak yang semestinya membentuk kekuatan bangsa Indian di masa depan, adalah bagian paling menyedihkan dalam keseluruhan perkara ini. Dan, kami sangat merasakan pedihnya.”!break!
“Mereka mencoba pemusnahan, asimilasi, dan mereka melanggar setiap perjanjian yang pernah dibuat dengan kami,” kata White Plume. “Mereka merampas kuda kami. Mereka menjadikan bahasa kami ilegal. Upacara kami dilarang.” White Plume sungguh meyakini bahwa kebijakan dan undang-undang yang digunakan pemerintah AS untuk menindas bangsa Pribumi Amerika sangatlah luas dan dalam, tetapi ia menyampaikannya tanpa emosi, tanpa keluhan. Para pemimpin suci kami terpaksa bergerak diam-diam selama hampir seabad.” Baru setelah Kongres mengesahkan Undang-Undang Kebebasan Beragama Indian-Amerika, pada 1978, gangguan terhadap praktik spiritual pribumi dijadikan sebagai tindakan pidana. “Namun, upacara kami masih selamat, bahasa kami pun selamat,” kata White Plume.
Terkubur dalam halaman rancangan undang-undang anggaran Pertahanan 2010, yang ditandatangani Presiden Barack Obama pada Desember 2009, terdapat permintaan maaf resmi “kepada semua Suku Pribumi atas berbagai kejadian kekerasan, perlakuan buruk, dan penelantaran terhadap semua Suku Pribumi, oleh warga Amerika Serikat.” Tetapi tidak disebutkan tentang ganti rugi, ataupun menepati perjanjian yang telah lama dilanggar.
White Plume menyalakan rokok lintingannya dan menyipitkan mata kepada saya melalui kepulan asap. “Tahukah Anda apa yang mencegah saya menjadi pembunuh berdarah dingin? Bahasa sayalah yang menyelamatkan saya. Tidak ada kebencian dalam bahasa saya. Bahasa yang begitu indah, lembut. Begitu damai.” Lalu White Plume mulai berbicara dalam bahasa Lakota, dan tidak dapat dimungkiri bahwa kata-kata itu terlantun lembut.
Di atas kepala, dua awan kecil di langit bersentuhan lalu sirna. White Plume bangkit dan berjalan ke arah kali, lalu terdengar ia berseru kaget. Ia telah menemukan pohon poplar yang tepat untuk upacara Tari Matahari-nya. Pohon itu akan ditebang oleh beberapa lelaki dari keluarganya, lalu diangkut ke tempat Tari Matahari dengan rasa hormat yang selayaknya ditujukan kepada makhluk suci. Di sana, pohon itu akan diikat dengan ikatan doa—buntelan tembakau dan sajen lain yang dibungkus kain aneka warna—lalu dipancangkan di dalam lubang di tanah, dan dibiarkan di situ sampai tahun berikutnya.
Pada 1974, White Plume masuk tentara dan dikirim ke Jerman. (Jumlah orang Pribumi Amerika yang masuk angkatan bersenjata tidak proporsional.) “Pada tahun saya berangkat untuk masuk angkatan bersenjata, Tari Matahari hanya diadakan tiga kali di seluruh reservat. Sekarang ada puluhan,” katanya. White Plume masih melaksanakan Tari Matahari bersama keluarga dekat dan keluarga besarnya dengan cara tradisional. “Hanya kami,” katanya, ucapan yang mungkin terasa eksklusif dalam tulisan, tetapi sebenarnya diutarakan dengan nada hangat. “Begitu indah, begitu spiritual.”!break!
Upacara Tari Matahari kembali bergairah bukan hanya berkat disahkannya undang-undang 1978, melainkan juga berkat meluasnya gerakan aktivisme Indian yang dimulai sungguh-sungguh pada awal 1970-an. Sekarang, pada setiap musim panas, diadakan lebih dari 50 Tari Matahari di seluruh Pine Ridge, meningkat dari hanya beberapa yang dilakukan diam-diam pada beberapa puluh tahun silam. Pada setiap upacara, puluhan peserta undangan menari, bertapa, berdoa, disucikan dalam pondok-pondok “sauna”, dan berpuasa berhari-hari. Beberapa lelaki, yang dianggap mampu secara spiritual untuk menanggung tindakan simbolis pengorbanan-diri bersama, ditindik dengan pasak tulang di ujung tali yang diikatkan pada dahan pohon poplar yang dipanen secara ritual. Lalu mereka menyentakkan tubuh agar terlepas dari pasak itu, sehingga kulitnya terkoyak.
Sosok Alex WhitePlume bakal tergambar jika kita tahu bahwa Olowan Thunder Hawk Martinez—wanita 38 tahun yang tidak sempurna tetapi optimismenya menular—menganggap lelaki itu sebagai mentor. Sepanjang hidupnya Martinez pernah mengalami berbagai musibah, tetapi dia juga merupakan jiwa yang tangguh, berinisiatif menjadi pemimpin kaum muda, dan berbicara sangat blakblakan dan berani. “Anda ingin saya menjadi perempuan Indian pemabuk di pojok?” Seperti mentornya, Martinez memiliki kebiasaan meresahkan, yaitu tertawa saat sedang serius.
Menurut Martinez, pada malam dia mendengar kabar tentang bunuh diri Jumping Eagle, dia dapat merasakan kesakitan si korban—seakan-akan tubuh gadis yang sekarat itu sempat melepaskan diri dan merasuk ke tubuh wanita itu. “Saya tahu mengapa banyak gadis di rez mencoba bunuh diri,” kata Martinez. “Kami semua senantiasa terancam kehilangan diri, kehilangan identitas. Setiap hari kami semua berjuang agar dapat menjadi Lakota sejati. Dan, kadang-kadang kami kalah dalam perjuangan itu, lalu kaum lelaki melampiaskan rasa tak berharga itu pada kaum perempuan, kaum perempuan melampiaskan rasa tak berharga itu pada diri sendiri, dan semua orang melampiaskan rasa tak berharga itu pada anak-anak.”
Dalam kasus Martinez, dia dilecehkan secara seksual oleh seorang pamannya sewaktu usianya enam tahun, lalu saat usianya sepuluh tahun. “Setelah itu dia mencaci—saya disebutnya tidak berguna. Saya masih bisa merasakan kepedihan yang begitu mendalam, yang tak dapat diraih dan disingkirkan oleh apa pun dan siapa pun.” Tak lama setelah pelecehan kedua, Martinez berdiri sendirian di dapur di rumah ibunya. “Saya ingat memandang meja dapur dan melihat pisau. Dan, tiba-tiba pisau itu terasa seperti satu-satunya cara untuk memotong setiap kepedihan dalam diri saya. Jadi saya memungutnya dan mulai menyayat kulit pergelangan tangan saya.”
Sementara Martinez menuturkan cerita ini, terdengar gemuruh dari langit sementara awan guntur berkumpul—Wakinyan, demikian sebutan suku Lakota Oglala, Makhluk Guntur. “Kali keenam saya mencoba menyayat, lantai di kaki saya bergemuruh,” katanya. “Wakinyan berbicara kepada saya. Mereka mengatakan saya harus hidup. Saya pun melepaskan pisau itu.”!break!