Kisah London Timur

By , Senin, 23 Juli 2012 | 12:23 WIB

Setelah pelanggan terakhir membersihkan remah-remah pastel daging dari wajah. Setelah belut kenyal terakhir meluncur turun melalui tenggorokan.

Setelah secangkir teh terakhir dihirup sampai habis, Fred Cooke­ membalikkan secarik karton bertulisan tangan di pintu depan kedai, dari BUKA menjadi TUTUP. Cooke adalah pemilik kedai pastel dan kentang tumbuk merek F.Cooke di 41 Kingsland High Street, London E8 2JS. Sang kakek mendirikan kedai ini ketika Raja George V masih bertakhta.

“Tentu saja kami semua sedih,” kata Cooke, mengenang hari itu, 11 Februari 1997. Cooke, pria berperawakan besar dengan rambut menipis di tengah kepala serta beruban ikal nan tebal di bagian belakang, merenung menatap pajangan dalam kotak di Museum Hackney. Pajangan itu memamerkan jaring yang biasa digunakannya untuk meraup belut dari dalam tangki, belanga tempat merebus kentang. Kemudian, ada juga panci pastel yang terbuat dari baja dan kantong kertas bertuliskan F. Cooke untuk membungkus pastel yang akan dibawa pulang oleh pembeli. Peralatan dapur milik perusahaan keluarga selama tiga generasi itu sekarang menjadi artefak museum itu.

“Kami adalah pembuat pastel dan kentang tumbuk paling tersohor,” katanya. Sebutir berlian di telinga kanan dan gelang emas setebal borgol menjadi saksi hasil kerja kerasnya selama ini. Kedai pastel dan kentang tumbuk di Kingsland High Street itu adalah salah satu dari enam kedai milik keluarga Cooke. Kedai ini adalah yang paling terkenal dari serangkaian kedai mereka, tetapi terpaksa tenggelam dilanda arus perubahan tatanan sosial di London Timur.

Pastel dan kentang tumbuk berlumur saus peterseli hijau segar, semangkuk belut kenyal dalam bubur gelatin, adalah lambang kelas pekerja berkulit putih di East End yang semakin pudar. Mereka digantikan oleh gelombang imigran yang berdatangan dari anak benua India—warisan dermaga London yang dulunya pintu masuk ke seluruh Kerajaan Inggris Raya. Klan Huguenot yang tiba pada abad ke-17 menyelamatkan diri dari penganiayaan agama. Pada abad ke-18 dan 19, warga Irlandia menghindari bencana kelaparan.!break!

Imigran berikutnya adalah warga Yahudi dari Eropa Timur yang melarikan diri dari pogrom (pembantaian etnis Yahudi) di Rusia. Sekarang, kelompok etnis yang dominan adalah warga Bengali, yang sebagian besar Muslim. Mereka mulai berimigrasi dalam jumlah besar pada 1960-an dengan alasan ekonomi dan sekarang meliputi sepertiga populasi kawasan. Meskipun demikian, ada juga orang Afrika, Hindia Barat (Karibia), Pakistan, India, Turki, Cina, dan Eropa Timur.

Di Cambridge Heath Road di Bethnal Green, Al-Rahman Supermarket, dengan tanda Daging Halal-nya, berdampingan dengan toko kelontong Sklep Mini-Kłos milik orang Polandia. Al-Rahman berseberangan dengan Mayfield House Day Centre milik orang Somalia. Lalu, Town Hall Hotel yang mewah, dengan suite De Montfort  bertarif Rp37,5 juta semalam. Di tikungan tampak York Hall, arena pertandingan tinju Sabtu malam. Beberapa langkah dari situ tampak Gallery Cafe, tempat para ibu mengasuh anak dalam kereta bayi sambil minum latte. Terpancar semangat yang meluap-luap, keragaman.

Jumlah kedai pastel dan kentang tumbuk di East End—seingat Cooke dulu ada 14 atau 15—sekarang hampir bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. “London Timur sekarang menjadi kawasan kosmopolitan,” ujar Cooke. “Orang ingin makan kacang polong dan nasi, mon, dan kebab.” Hal itu diucapkannya dengan nada jenaka dan getir, tetapi juga pasrah.

London Timur seperti itu. Kawasan yang semakin banyak kehilangan simbol; jalanan dihiasi jejak masa lalu, bangunan satu per satu hilang, kemudian muncul lagi dalam bentuk lain. Dapur umum Yahudi yang didirikan pada awal abad ini untuk orang miskin di Brune Street lahir kembali sebagai apartemen mewah. Sebuah gereja Protestan Prancis dari abad ke-18 menjadi Sinagog Besar Spitalfields pada tahun 1897. Lalu, 80 tahun kemudian berubah menjadi masjid Brick Lane, bukti diktum Lavoisier bahwa materi tidak diciptakan atau dihancurkan, melainkan hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.

Kedai pastel dan kentang tumbuk F. Cooke di Dalston dijual kepada pengusaha Cina, yang mengubah nama kedai itu menjadi Shanghai. Alih-alih belut, sekarang menunya lobster panggang dengan jahe dan bawang. Alih-alih pastel daging, kini mereka menyajikan pangsit isi daging babi. “Saya menjalankannya sebaik mungkin,” kata Cooke,” tetapi tidak ada gunanya menghidupkan bisnis yang sudah berakhir masa jayanya. Saya memutuskan untuk meninggalkan bisnis ini dan menikmati sisa hidup saya. Meskipun demikian, hati saya remuk redam. “!break!

Jika kita menelusuri jalan yang dimulai dari Tower Bridge di sepanjang tepi utara Sungai Thames; ke arah timur menuju Sungai Lea. Lalu, berbelok ke utara mengitari daerah Tower Hamlets dan sebagian Hackney; ke arah selatan menuju dinding Romawi kuno di kota ini. Kita akan dapati gambaran klasik East End seperti Charles Dickens, Jack the Ripper, dan gangster pesohor tahun 1950-an dan 1960-an, Kray bersaudara—Reggie dan Ronnie. Kata salah seorang penghuni East End: “Keluarga Kray menjelajahi jalanan membunuhi orang, tetapi mengurus baik-baik keluarganya sendiri.”

Sepanjang sejarah, daerah ini memang bagian London yang miskin. Jaraknya yang berdekatan dengan Sungai Thames, dan aliran sungai ke arah timur, secara alami menjadikan kawasan hilir ini sebagai lokasi pengapalan dan manufaktur. Karena terletak di luar dinding kota, berbagai industri berbahaya—penyamakan kulit, pemotongan hewan, tungku peleburan timbal—dapat beroperasi dengan pengawasan minimal. Angin bertiup dari barat, membawa terbang bau busuk melintasi East End, menjauh dari wanginya daerah Barat yang lebih beradab. Revolusi industri dan perluasan Kerajaan Inggris di bawah Ratu Victoria memperburuk kekumuhan kawasan tersebut. Kebutuhan besar untuk mempekerjakan buruh pelabuhan semakin menjejalkan warga kelas pekerja ke daerah yang sudah dipadati para imigran. Perumahan yang penuh sesak berkembang pesat. Sanitasi yang buruk menyebarkan penyakit.

Lanskap London Timur dahulu—hingga sekarang—susah diatur dan tidak terawat. Memang masih terlihat beberapa tempat yang indah: Ketenangan kawasan Regent Canal yang dihiasi rumah perahu, perumahan Georgia di Fournier Street yang tertib dan mahal. Juga, hijaunya Victoria Park, dibuka pada tahun 1845 berkat petisi penghuni East End, hingga warga West End yang ingin menciptakan penghalang udara tidak sehat yang berembus dari Timur. Tetapi, kemelaratan tampak di perumahan beton yang dihuni keluarga pekerja berpenghasilan rendah. Koridor rumah mereka menaungi transaksi para pengedar narkoba, bau pesing yang menyengat di undakan tangga. Lapangan berwarna kecokelatan karena dipenuhi sisa-sisa racun dari pabrik dan rawa-rawa yang dihiasi  barisan tiang listrik dan pipa gas berkarat.