Kisah London Timur

By , Senin, 23 Juli 2012 | 12:23 WIB

Sekarang, London Timur semakin luas—tergantung pada siapa Anda bertanya—mencakup daerah Newham, Barking dan Dagenham, Redbridge, Waltham Forest, dan Havering. Di mana pun batasnya, London Timur masih tetap merupakan bagian kota yang paling dihantui kemiskinan.

Dari 1889 sampai 1903, ilmuwan sosial Victoria, Charles Booth, menerbitkan seri peta kemiskinan London yang mengikhtisarkan pemisahan kawasan London Timur dan Barat. Pada peta Booth, Kensington dan Belgravia di kawasan West End gemerlap oleh persegi panjang emas yang menunjukkan “kelas menengah atas dan  kelas atas. Kaya raya.” Sementara itu, East End dipenuhi bercak hitam yang menunjukkan “kelas terendah”, dan kotak biru menandakan “warga miskin”. Dewasa ini, indeks kemiskinan di London menampilkan pemisahan yang lebih-kurang sama saja.!break!

Pada 2005, Komite Olimpiade Internasional memilih London sebagai penyelenggara Olimpiade 2012. Kota ini mengumumkan akan menggunakan pesta olahraga sebagai kesempatan untuk mengubah London Timur dan mengatasi “kemiskinan, pengangguran, kurangnya keterampilan, dan kesehatan yang buruk.” Jack Straw, yang saat itu menjabat sebagai menteri luar negeri, berjanji akan menjadikan Olimpiade sebagai “kekuatan untuk melakukan pembaruan dan pertumbuhan kota.”

Di London Timur, kesenjangan antara warga kaya dan miskin sangat lebar. Di Bethnal Green, kita dapat memesan roti sosis (Rp20.000) dan secangkir teh (Rp10.000) dan makan di meja Formica sembari duduk di kursi berlapis plastik di restoran Hülya. Atau, dapat juga menyeberang jalan, menghempaskan tubuh ke kursi buatan tangan di restoran Viajante berbintang Michelin dan menikmati cumi saus tartar dengan serutan es dari tinta cumi. Lalu, diikuti oleh, misalnya, hati dan lidah bebek dengan serat jamur dan kaldu berbumbu (enam hidangan dengan minuman anggur, Rp1.700.000).

“London,” kata Danny Dorling, profesor geografi manusia di University of Sheffield, “adalah ibu kota ketidaksetaraan.” Seperti kata rambu peringatan di stasiun kereta bawah tanah London: Awas Celah!

Jika menikung ke kanan di Hanbury Street dari Brick Lane menuju Bethnal Green Road, kita mendekati beberapa permukiman penduduk berpenghasilan rendah yang paling kumuh di London. Namun, jika menikung ke kiri, Anda mendekati lingkungan Shoreditch paling modern, tempat berkantornya sekitar 300 bisnis berteknologi tinggi berbasis digital.

“Pengusaha memerlukan empat hal,” ujar Elizabeth Varley, pendiri TechHub, tidak jauh dari Old Street. Di sini, dengan biaya sekitar Rp50 juta setahun, para pengembang aplikasi Web dan produk berbasis cloud yang berharap menciptakan Produk Digital Terkenal Berikutnya, dapat menyewa ruang kantor. “Mereka membutuhkan daya listrik, koneksi internet supercepat, aliran kopi tanpa henti, dan orang kreatif hebat yang membantu mereka.”!break!

London Timur telah menjadi pusat inovasi teknologi tinggi, ujarnya menjelaskan, karena keterjangkauannya, jaraknya yang dekat ke pusat kota, dan “atmosfer yang sama.” “Daerah ini dipenuhi seniman, pemilik restoran, dan pedagang eceran, orang yang ingin berkiprah dengan caranya sendiri.”

Contohnya adalah David Tenemaza Kramaley, 24 tahun, pengembang game komputer yang sudah mampu menjual produk digital pertamanya ketika berusia 13 tahun seharga Rp15 juta. Saat ini dia berharap dapat memperoleh dana Rp4,5 miliar untuk memproduksi karya terbarunya. Dia baru saja pindah ke sebuah flat ruang bawah tanah satu kamar tanpa jendela yang berjarak lima menit dari kantornya, dengan uang sewa Rp15 juta per bulan yang dibayarnya dengan senang hati.

“Saya senang tinggal di sini karena kemudahan dan kepraktisan untuk menjalin jejaring,” katanya. Kramaley, yang berwajah bulat dengan rambut hitam gaya personel grup musik The Beatles, menikmati jatuh bangunnya mendirikan perusahaan. “Saya tahu, saya mampu mendapatkan pe­ker­jaan bergaji tinggi dengan melakukan pengkodean atau pemasaran, tetapi saya senang mengendalikan nasib saya sendiri.”

“Semua orang terus mengincar imigran yang baru datang,” kata Sotez Chowdhury, 22 tahun, organisator komunitas Bengali untuk Warga Shoreditch. “Mereka terus bertanya-tanya—kelompok etnis mana yang berikutnya? Saya selalu mengatakan, mereka ini imigran baru, dan kita tidak bisa mengatakan mereka tak berhak tinggal di sini.” Yang dimaksudkannya, para profesional muda yang pindah ke situ karena terpikat semangat dan gaya modern kawasan itu.

Pada suatu malam, saya, Sotez, dan ibunya, Rowshanara, yang bekerja sebagai terapis keluarga, berjalan di Brick Lane, pusat kota Banglatown. Bagian jalan dipenuhi restoran kari yang gemerlapan oleh lampu neon beraneka warna. Udaranya pekat oleh aroma hidangan kari, cengkeh, dan arang terbakar, serta musik Bollywood nan menggelegar.!break!