Kisah London Timur

By , Senin, 23 Juli 2012 | 12:23 WIB

Di Woodseer Street, demografinya mulai berubah. Restoran Kari Brick Lane berubah menjadi Butik Brick Lane. Butik itu disemarakkan oleh toko busana terbaru, klub musik, dan bar yang dipenuhi pemuda berjanggut tipis dan wanita muda bercelana ketat dan atasan berpotongan dada rendah.

Seorang pria tua Bengali berjuang menembus kerumunan anak muda. “Dahulu ini lingkungannya,” kata Sotez tentang Brick Lane yang trendi, terusan Woodseer Street. Dulu jalan itu dipenuhi keceriaan “semau gue” generasi yang berbeda, yang memiliki banyak uang untuk dibelanjakan. Apakah mereka menyadari kemiskinan di sekitar mereka? tanya saya kepada Rowshanara. “Mereka sama sekali tidak menyadarinya,” jawabnya.

“Saya datang ke sini dengan teman-teman sekampus,” kata Sotez. “Tempat ini penuh gairah. Keren. Di sini pemandangannya luas. Dari sini kita dapat melihat lampu-lampu Canary Wharf, meskipun ternyata hanya ilusi.” Dia terdiam dan wajahnya tampak serius. “Semua teman saya ingin menjadi bankir investasi. Namun, tak seorang pun yang berhasil mewujudkannya.”

Di dalam salah satu menara kaca yang berkilauan di Canary Wharf, Jerome Frost membungkukkan tubuh dan menjelaskan kekuatan pendorong di balik perencanaan Olimpiade London. Frost merupakan kepala perancangan di Otoritas Pembangunan Sarana Olimpiade (ODA, Olympic Delivery Authority).

”Kejuaraan ini merupakan kesempatan unik bagi London,” jelasnya. “Kami akan mewujudkan pesta olahraga itu ke tingkatan yang baru. Membuat pengaruhnya lebih abadi. Tawaran yang dulu kami ajukan kepada Komite Olimpiade mempertimbangkan berbagai sarana yang akan kami wariskan.” Kejuaraan ini dijuluki sebagai “Olimpiade warisan”. Dalam mengembangkan lokasinya, ODA membersihkan lahan yang terkontaminasi seluas 2,5 kilometer persegi, mengubur kabel listrik di bawah tanah, dan menciptakan taman baru seluas 80 hektare. Tidak ada unsur lingkungan yang diremehkan: 2.000 ekor kadal air dengan hati-hati dipindahkan dari lokasi konstruksi ke cagar alam di dekatnya.!break!

Setelah Olimpiade usai, gedung-gedung peninggalannya akan dimanfaatkan sebagai pusat olahraga masyarakat, sedangkan perkampungan atlet akan menjadi perumahan swasta—konon setengahnya untuk warga berpenghasilan rendah. Berkah pembangunan sarana ini akan menyebar ke daerah sekitarnya. Westfield Stratford City, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Eropa, baru-baru ini dibuka di Stratford. Kota itu adalah kota terdekat ke arena Olimpiade.

Mengesankan, meskipun kata “warisan” yang terus-menerus dikumandangkan memicu keraguan di beberapa daerah. “’Warisan’ adalah kata yang menyiratkan istilah seperti ‘keren’ dan ‘merek’,” ujar Stephen Bayley, seorang kritikus desain London. “Kita tidak dapat menciptakan warisan. Janganlah membayangkan bahwa gedung-gedung besar dapat begitu saja menghapus permasalahan kawasan kumuh.”

“Mungkin menunya perlu diperbarui?” Pertanyaan itu diajukan kepada sepupu Fred Cooke, Bob, yang masih menjalankan bisnis kedai pastel dan kentang tumbuknya di Broadway Market, Hackney. Bob Cooke meletakkan mangkuk berisi potongan belut mengambang di lautan saus hijau di depan saya, lalu duduk. Sungguh sulit menyendok potongan belut licin itu, lalu mencoba menggigit daging di sekeliling tulang putih mungil di tengahnya.

“Salah seorang teman saya berkata: ‘Mengapa kamu tidak menjual piza saja? Anak-anak pasti suka piza.”

“Komentar saya: ‘Kau urus saja bisnis binatumu. Biar kuurus kedai pastelku.’”

Cooke berdiri dan menyeka tangannya dengan celemeknya yang bergaris-garis biru.!break!

“Ya, kami memiliki pelanggan, tapi mereka sudah tua dan jumlahnya semakin sedikit. Generasi muda bukan pelanggan kami,” katanya. “Kami sudah berjualan di sini lebih dari seratus tahun lalu. Kami akan terus berjualan seratus tahun lagi.”

Hari semakin siang. Jalan di luar penuh sesak dengan muda-mudi yang menjelajahi Broadway Market—dulu tempat menjual sayuran—mencari kue kenari pisang organik bebas gluten, daging sapi Devon, dan minyak zaitun berjamur supermahal. Terdengar lantunan musik, dan bau harum roti yang baru dipanggang, namun hanya tampak lima pelanggan di kedai pastel dan kentang tumbuk itu.

Kita mungkin bisa mendengar lebih dari 200 bahasa di London Timur–antara lain Bengali, Gujarati, Urdu, Tamil, Swahili, dan Latvia. Para imigran membuat diri mereka terdengar selain juga terlihat, tetapi ada berbagai bahasa yang tidak lagi terdengar seperti Yiddish, bahasa sehari-hari Brick Lane pada awal abad ke-20. Dengan alasan yang sama, para pekerja Cockney berkulit putih pindah ke arah timur menuju tempat di Essex. Warga Yahudi London Timur bergerak ke utara menuju pinggiran kota seperti Golders Green dan High Barnet. Semuanya karena aspirasi: keinginan untuk pindah dan keluar dari daerah tersebut. Sampai tahun 1950-an Brick Lane adalah daerah bisnis mayoritas Yahudi. Sekarang, jejak kehidupan dari masa lalu itu hanya berupa dua kedai roti bagel.

“Itu daerah Yahudi di East End,” kata Mildred Levison sambil menunjukkan apartemen di Brick Lane tempatnya dibesarkan pada masa Perang Dunia Kedua. (Saya yakin masih ada tikus di sana. Di London Anda tidak pernah bisa menjauh dari tikus.) Kami berjalan ke Spitalfields Market, tempat berlindung dari serangan bom selama berlangsungnya blitz (serangan bom pasukan Jerman), yang sekarang seluruhnya berubah total menjadi kawasan butik dan bistro. Levison, 72 tahun, pensiun dari pekerjaannya menangani perumahan rakyat, sekarang tinggal di London Utara. Dia masih ingat ongkos senilai Rp1.000 yang harus dibayarkan untuk mandi di pemandian umum dan bermain di reruntuhan bangunan yang diterjang bom, selain kehangatan masyarakat dan keluarga.

“Semua itu tidak terlihat lagi di sini.” Dia berhenti sejenak, lalu menyentuh dadanya. “Tapi, masih ada di sini.”

Masih ada di sini, hanya saja tampilannya berbeda.  London Timur masih tetap didatangi dan ditinggalkan banyak orang, yang baru muncul dan yang pergi lagi, manusia yang kadang hanya melanjutkan kehidupan apa adanya. Generasi demi generasi berdatangan dengan sedikit atau tanpa membawa apa pun dan membangun bisnis, keluarga, kehidupan. Jika kemiskinan terus mencengkeram dengan gigih, kita harus selalu mengingatnya, kata Alveena Malik. Dia adalah direktur UpRising, sebuah program untuk melatih para pemimpin muda di London Timur. “Miskin dari segi ekonomi tidak berarti miskin dari segi rohani.”