Kembali ke Kota Sungai

By , Selasa, 26 Februari 2013 | 15:58 WIB

Sinyal ponsel dengan sempurna menjangkau dasar Sungai Yangtze, walaupun hanya Huang Dejian dan segelintir orang yang tahu. Sebagai direktur White Crane Ridge Underwater Museum yang baru dibuka, hari itu ponselnya kerap berdering di kedalaman 40 meter.

Museum itu adalah pemandangan teraneh di Fuling—pengunjung dapat masuk melalui eskalator berselubung tabung baja sepanjang 90 meter, bak sedotan raksasa yang dicelupkan ke air keruh Yangtze. “Ini museum termahal di wilayah Tiga Ngarai,” ujar Huang, menjawab panggilan di teleponnya lagi. Nada deringnya adalah suara wanita yang mengulang-ulang frasa “Jia you—ayo, ayo, ayo, ayo, ayo!”

Terakhir kalinya saya berjumpa dengan Huang, seluruh dataran ini masih kering, museum senilai Rp330 miliar itu belum berdiri, dan Waduk Tiga Ngarai masih dibangun hingga 450 kilometer ke hilir. Saya tinggal di Fuling sejak 1996 hingga 1998, ketika menjadi relawan Korps Perdamaian di sebuah perguruan tinggi lokal.

Ketika itu populasi di sana sekitar 200.000, kecil untuk standar Cina. Sebagian besar warga sangat mendukung didirikannya bendungan, meskipun mereka tidak banyak membicarakannya. Pembangunan dijadwalkan selesai pada 2009, bagaikan berabad-abad di tempat yang telah mengalami begitu banyak peristiwa.

Era reformasi di Cina dimulai pada 1978. Tetapi, baru pada pertengahan 1990-an gagasan tentang pasar bebas mulai memunculkan dampak besar di kota-kota kecil semacam Fuling. Penduduk setempat harus menghadapi perubahan luar biasa: penghentian pekerjaan atas penunjukan pemerintah, privatisasi perumahan mendadak.

Ketika itu, White Crane Ridge memberi saya sudut pandang berbeda tentang waktu. Garis batu pasir hanya tampak pada musim dingin, saat permukaan air turun. Pada masa lampau, musim surut berbahaya bagi para nakhoda, sehingga seseorang membuat ukiran dua ekor ikan di sisi gigir. Ukiran itu berfungsi sebagai tolok ukur bagi para nakhoda, agar mereka dapat mengantisipasi bukit-bukit pasir dan arus deras.

Para penduduk setempat menganggap patung ikan batu tersebut sebagai perlambang nasib baik, dan sudah menjadi tradisi di sana untuk memperingati ulang tahunnya dengan mengukir pesan. Tanggal terawal yang terukir di sana adalah 763 SM, masa kejayaan dinasti Tang, dan hingga saat ini, lebih dari 30.000 karakter telah menghiasi batu pasir. Kaligrafinya menawan, dan pesan-pesannya bersajak: “Air sungai undur diri. Ikan batu menampakkan diri. Tahun depan panenan ‘kan membanjiri.”

Pada 1990-an, harga tiket masuk ke gigir adalah tiga yuan, sekitar Rp3.500, mencakup ongkos menumpang sampan ringkih yang didayung oleh seorang nelayan di luar musim. Huang Dejian biasa duduk di gigir selama berjam-jam, mengenakan mantel panjang hibahan Tentara Pembebasan Rakyat. Dia akan memperhatikan permukaan air dan bertutur tentang ukiran ikan yang termasyhur.

Waktu berjalan dengan cara berbeda di sungai. Yangtze tetap berpegang pada siklusnya, kendati kehidupan di sepanjang tepinya senantiasa maju bersama garis sejarah dan kemajuan. Dan kedua jenis waktu, alam dan manusia, bersimpangan di White Crane Ridge setiap tahun.

Air sungai surut; kata-kata muncul; pesan dan tanggal berbaris rapi di permukaan batu. Kemudian musim semi hadir melelehkan salju, permukaan air naik, dan seluruh sejarah itu akan menghilang kembali di sungai yang tak lekang oleh waktu.!break!

Kini bendungan sudah ditutup, dan per­mukaan Yangtze tidak pernah lagi serendah dahulu. Untuk mengamankan Fuling dari ketinggian permukaan air reservoar, di­bangunlah parit dengan panjang lebih dari 60 kilometer dan tinggi hampir 60 meter di sekelilingnya.

White Crane Ridge Museum berdiri di sisi dinding beton raksasa itu. Hari ini, Huang Dejian membawa saya ke galeri bawah air, memperlihatkan sisi gigir yang berada di bawah air dari balik jendela-jendela bulat. Pemandangan itu bagaikan mimpi: saya mengenali tempat-tempat yang pernah saya injak dan ukiran-ukiran yang pernah saya sentuh.

Tetapi, kata-kata yang sudah saya kenal baik sekalipun seolah-olah memiliki makna baru: “Pilar Batu di Tengah Sungai,” “Sungai Mengalir Abadi.” Apa makna tulisan-tulisan itu setelah 40 meter di bawah permukaan air?Huang Dejian tersenyum ketika saya me­nanyakan apakah dia pernah merasa kehilangan. Selain menjawab telepon yang tak henti-hentinya berdering, dia juga harus bergantian menemui saya dan kru film dari China Central Television.