Kembali ke Kota Sungai

By , Selasa, 26 Februari 2013 | 15:58 WIB

Saat itu dia bekerja sebagai tukang kebun. Kemudian dia terjun ke dunia konstruksi, menjadi kontraktor, lalu mendalami bisnis perumahan; dan kini dia memiliki aset senilai lebih dari Rp152 miliar.

Pola pikir baru seperti itu lebih mengesankan saya daripada perubahan material. Saya berkesempatan menjadi dosen tamu pada suatu malam, dan dalam sesi tanya-jawab, seorang mahasiswa baru berdiri dan bertanya, “Apakah menurut Anda Cina akan dapat mengalahkan Amerika Serikat di bidang demokrasi dan ke­bebasan?” Ketika saya masih mengajar di sana, tidak seorang pun berani menanyakan hal se­macam itu secara terbuka. Saya menjawab se­cara demokratis namun jujur. “Itu tergantung padamu dan generasimu.”

Saya juga mendapati bahwa masyarakat Cina yang berpendidikan sepertinya jauh lebih tertarik untuk menganalisis lingkungan mereka. Emily memberi tahu saya bahwa sepupunya mungkin kaya, tetapi uang tidak berhasil mem­bahagiakannya.William dan istrinya baru-baru ini memutuskan untuk melanggar kebijakan “keluarga berencana” dengan hamil anak kedua.

Dia mengambil keputusan ini setelah menghadiri upacara penguburan seorang pria yang hanya memiliki seorang anak. “Saya harus bantu anaknya memanggul peti,” kata William. “Itu membuat saya memikirkan apa jadinya jika kami meninggal dan putri saya jadi sebatang kara. Sebaiknya dia punya saudara.”

Teman sekelasnya Mo Money—seorang lagi pemuda miskin yang mengganti namanya dengan nama Inggris mencolok—hidup sejah­tera sebagai guru di sebuah sekolah elite di Chong­qing. Namun, tekanan besar kehidupan urban Cina membuatnya bimbang.

“Kehidupan ini sangat kompetitif,” katanya. “Menurut saya, ini tahap istimewa bagi Cina. Orang Cina mung­kin pernah mengkritik negara-negara lain saat melalui tahap ini—ada sangat banyak kritik pedas terhadap kapitalis Amerika dahulu, tetapi kini kami melalui hal yang sama.”

Dari Fuling saya memperoleh tumpangan ke Yangtze bersama seorang mahasiswa bernama Jimmy dengan SUV barunya. Kami melewati Kota Yunyang dan Fengjie yang telah ditata ulang, lalu tiba di Wushan baru. Situs kota tua Wushan terletak di tepi Yangtze, dan tempat-tempat yang baru saja dibangun terlihat mewah.

Tetapi, wilayah ini longsor selama beberapa tahun terakhir. Murid-murid saya secara berkala menyampaikan kabar buruk: “Banjir telah me­rendam sekolah kami, bahkan menjangkau ruang kelas di lantai dua. Banjir bandang sudah dua kali melanda sebelum ini. Kini semakin banyak yang meragukan proyek Tiga Ngarai. Sejak bendungan itu berdiri, Chongqing dan Sichuan menjadi arena bencana alam.”

“Saya ingin mengabarkan bahwa keluarga saya akan pindah akibat proyek Tiga Ngarai. Tetapi, saya tidak tahu ke mana penduduk desa kami akan pindah…orang-orang di sini tahu bahwa tanah longsorlah penyebabnya, namun pemerintah berkilah bahwa ini semua demi masa depan yang lebih baik.”!break!

Beberapa saat usai kunjungan saya, Dewan Pemerintah Pusat Cina secara mengejutkan mengeluarkan pernyataan blak-blakan. Bahwa bendungan telah “menyebabkan beberapa masalah pelik dalam hal perlindungan ling­kung­an, pencegahan bahaya geologis, dan ke­­sejahteraan masyarakat yang direlokasi.”

Dewan menegaskan bahwa langkah-langkah pe­ngamanan telah diambil, tetapi ini mengingatkan bahwa pembangunan Waduk Tiga Ngarai belum sepenuhnya dan tidak akan pernah selesai.

Pada Maret 2012, skandal terbesar di Cina dalam puluhan tahun terakhir meledak di Chongqing. Bo Xilai dan Wang Lijun, yang se­mula sangat dipuja-puja, mendadak didepak dari Partai Komunis dan dituduh melakukan serangkaian kejahatan spektakuler.

Wang divonis bersalah untuk empat pelanggaran, termasuk penyalahgunaan jabatan dan penerimaan suap. Bo dituduh telah melakukan sederet panjang pelanggaran, dari “menerima suap berjumlah besar” hingga “hubungan seksual yang tidak senonoh,” menurut sumber resmi pemerintah.

Seorang murid saya mengakui bahwa ketika skandal ini pertama kali terungkap, laporan pen­dahuluan memastikan bahwa jabatan Wang akan diturunkan menjadi penanggung jawab pendidikan di kota madya. Para guru di sekolahnya di Chongqing sontak khawatir.

Selama bertahun-tahun mereka mengambil ke­untungan dari uang makan siang siswa, dan kini mereka takut Wang akan membersihkan sekolah-sekolah. Sepengetahuan murid saya, korupsi sudah menjadi endemi di semua jajaran, tetapi paling tidak Bo dan Wang berani membuat perubahan.

“Wang memberi rakyat kesan aman dan Bo menghadirkan harapan,” tulisnya. “Mereka tidak sempurna, tetapi mereka benar-benar mengambil tindakan.”

Akhirnya jabatan Wang tidak jadi diturunkan; dia malah dipenjara selama 15 tahun. Murid saya menyampaikan kabar terbaru tentang uang makan siang haram: “Kami memperoleh uang ekstra saat Wang dipastikan tidak akan kembali.”!break!

Perhentian terakhir saya adalah Wushan, tempat saya untuk pertama kalinya dalam delapan tahun menghubungi sebuah nomor. Saya tidak mengira akan berhasil: Di tempat-tempat yang mengalami perubahan pesat, tidak ada yang menyimpan satu nomor telepon dalam waktu lama.

Tetapi, Huang Zongming menjawab, dan sesaat kemudian saya sudah duduk di perahunya. Zongming dan saudaranya Zonggou adalah nelayan. Saya menyaksikan mereka pindah dari rumah mereka pada Juni 2003, ketika pembangunan waduk tahap pertama selesai.

Sepanjang pekan itu, air Yangtze membanjiri  seluruh wilayah mereka, dan saya yakin kehidupan kedua bersaudara itu akan se­penuhnya berubah. Namun, kini saya mendapati bahwa hanya mereka­lah kenalan saya yang tetap sama. Pe­merintah memberi mereka rumah baru di tepi Sungai Daning, anak Sungai Yangtze, tetapi keduanya lebih memilih tidur di perahu mereka, seperti yang telah mereka lakukan seumur hidup­.

Hari ini perahu mereka mengarungi Daning. Jeram-jeram Daning dangkal pada kunjung­an terakhir saya; kini menjadi bagian sungai yang tenang berkedalaman lebih dari 90 meter. Saya menanyakan pendapat Zongming tentang bendungan. Katanya, “Dahulu sungai justru lebih bagus.”

Hanya itu yang dikatakannya—analisis paling sederhana yang pernah saya dengar. Ke­dua bersaudara itu mengatakan bahwa ikan masih banyak di hulu, yang jeramnya dangkal dan deras. Kami mengarah ke sana. Saya mem­bayangkan satu pesan terakhir: Cuaca ‘kan sem­purna, ikan melimpah ruah. Sungai mengalir selamanya.