Kembali ke Kota Sungai

By , Selasa, 26 Februari 2013 | 15:58 WIB

Pada suatu malam, saya makan bersama Huang Xiao-qiang, istrinya, Feng Xiaoqin, dan keluarga mereka, yang dahulu memiliki restoran mi kesukaan saya. Pada 1998, Huang memperoleh surat izin mengemudi dan me­nyampai­­kan harapannya untuk membeli sebuah mobil kelak, sesuatu yang sepertinya mustahil dengan pendapatan keluarganya yang terbatas.

Tetapi, malam ini dia menjemput saya di hotel menggunakan sedan BYD hitam baru buatan Cina. Setelah makan malam, dia berkeras untuk mengantar saya pulang ke hotel. “Di bukumu kau katakan bahwa impian terbesarku adalah memiliki mobil,” kata Huang. “Dan ini adalah mobil ketigaku!”

Saya menanyakan impian terbesarnya saat ini. “Tidak ada lagi yang benar-benar kubutuhkan,” akhirnya dia menjawab. “Memiliki mobil adalah impian besarku. Semua yang penting sudah kami miliki sekarang.”

Cobalah tinggal di Cina, dan Anda akan menyadari bagaimana Beijing dan Shanghai men­ciptakan pandangan terlampau optimistis tentang negeri ini. Tetapi, inilah pertama kalinya saya berpikir bahwa Fuling pun mendatangkan reaksi sama. Kota ini berada di bawah yurisdiksi Kota Madya Chongqing, yang memperoleh anggaran lebih besar dari wilayah lainnya karena bendungan.!break!

Ketika saya berkunjung, pejabat tertinggi di sana adalah Bo Xilai, yang dikenal berkat ambisi nasionalnya. Bersama kepala polisinya, Wang Lijun, Bo secara terang-terangan berupaya memberantas kriminalitas dan korupsi di jajaran kepolisian. Sebagai bagian dari proyek ini, kota-kota seperti Fuling wajib mendirikan pos-pos polisi terbuka, tempat para petugas berjaga sepanjang waktu.

Ini bukan gagasan baru, tetapi terasa revo­lusioner di China. Di beberapa pos yang saya kunjungi, para petugas sibuk menangani berbagai macam masalah yang dahulu kerap pecah semacam perkelahian jalanan. Ke mana pun saya pergi, orang-orang membicarakan reformasi Bo, dan saya menyadari bahwa baru kali ini di Cina saya bertemu dengan orang-orang yang berpendapat sangat positif tentang pemerintah mereka.

Namun, Anda tidak perlu beranjak jauh untuk mendengar kisah lain. Kemiskinan dan keterpencilan bukan lagi ciri khas Fuling, tetapi kota-kota kecil dan desa-desa masih menghadapi tantangan ini. Sebagian besar mantan murid saya tinggal di daerah semacam itu, mengajar bahasa Inggris di SMP dan SMA.

Surat-surat mereka mengingatkan saya tentang panjangnya langkah yang masih harus diambil oleh Cina: “Pak Hessler yang baik, maaf karena saya harus menyampaikan kabar buruk. Kota saya bernama Yihe di Kabupaten Kaixian di Chongqing.

Dua hari yang lalu, petir menyambar sekolah istri saya di desa. Tujuh orang murid kehilangan nyawa dan 44 orang terluka… Dahulu ada penangkal petir… tetapi sekolah tidak mampu menanggung biayanya.”

“Ibu salah seorang murid saya sudah sepuluh tahun bekerja [di sebuah pabrik] di Guangdong, dan [kembali] ke Luzhou bulan lalu. Dia menjadi korban penipuan kartu ATM… Dia kehilangan 45.000 yuan [lebih dari Rp68 juta]. Uang itu ada­lah tabungannya selama sepuluh tahun terakhir. Dia ingin menggunakannya untuk membangun rumah baru dan membiayai anak-anaknya kuliah… Dia pulang dan menangis berhari-hari, lalu dua hari kemudian menelan racun tikus dan meninggal di ranjangnya. Sayang sekali. Sulit untuk membayangkan makna 45.000 yuan bagi seorang wanita desa.”

Selama kunjungan saya, sekitar 15 orang mantan murid kembali ke Fuling untuk sebuah reuni dadakan. Beberapa dari mereka tinggal di kota-kota pesisir yang tengah berkembang, dan salah satunya berdagang di India. Seorang lagi dipenjara karena korupsi.

William Jefferson Foster, anak desa miskin yang mengganti nama­nya dengan nama Inggris nan berat, dapat hidup makmur dengan mengajar Bahasa Inggris kepada anak-anak pemilik pabrik kaya di timur. Emily kini bekerja di sebuah sekolah dasar di Fuling, dan dia bercerita tentang sepupunya, jebolan SMA yang dahulu tinggal di kantor saya di kampus.!break!