Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 13 Juli 2021 | 10:00 WIB
Mahasiswa dengan foto Sukarno yang dijarah dari sebuah toko komunis pada 1965. (Elisabeth Novina)

 

Sebenarnya pada 1965, para mahasiswa di luar negeri memang mengutuk peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal. Mereka mengutuk karena alasan kemanusiaan, terlepas apakah benar pembunuhnya memang PKI atau bukan.

Berselang kejadian itu, terjadi genosida yang dilakukan kepada masyarakat sipil. Para mahasiswa ini pun sangat mengecam peristiwa itu. Tetapi tidak ada fokus pernyataan yang diminta pejabat yang datang, sebagaimana pernah dimintakan terkait pengecaman penculikan para jenderal.

Para mahasiswa yang tidak bisa pulang ke Indonesia terpaksa menetap selamanya di luar negeri, seperti Jerman dan Belanda sebagai eksil politik. Sedangkan mereka yang pulang justru ditahan. Hal itu terjadi pula speperti yang dialami Soesilo Toer yang sebelumnya National Geographic Indonesia laporkan.

 

Presiden Sukarno mengajar membaca dalam rangka pemberantasan buta huruf di alun-alun utara, Yogyakarta, 1948 (Kemdikbud)

 

"Kita kehilangan tiga manusia ini," Soe Tjen berpendapat setelah mengisahkan para eksil politik seperti Arif Harsana, Waruno Mahdi, dan Willy Wirantaprawira. "Masih banyak sebenarnya. Bayangkan kalau mereka pulang apa yang bisa disumbangkan ke Indonesia. Kini yang kita dapatkan hanyalah sampah."

Selama di Eropa, khususnya di Jerman, para eksil kerap bergaul dengan mahasiswa Indonesia yang datang. Para mahasiswa sebenarnya sudah diwanti-wanti agar tidak bergaul atau mengunjungi usaha milik mereka dengan tuduhan PKI.

Salah satu mahasiswa era Orde Baru yang berkuliah di Jerman adalah Asep Abro Ruhyat. Dalam penjelasannya kepada Soe Tje, stigma tuduhan PKI adalah kelompok yang jahat tidak ada pada diri mereka.