Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 13 Juli 2021 | 10:00 WIB
Mahasiswa dengan foto Sukarno yang dijarah dari sebuah toko komunis pada 1965. (Elisabeth Novina)

 

Bahkan ketika Asep menceritakan pengalamannya di tanah air seperti menangkap belut, membuat para eksil ini sedih dan emosional akan rasa rindu kampung halaman.

"Kok orang yang ditakuti kok begini, baik-baik, dan menyedihkan-melas gitu?" terang Soe Tjen menggambarkan rasa heran Asep di Jerman. "Ini yang sebenarnya bohong itu siapa?"

Moment itulah yang juga turut memengaruhi pandangan politik Asep, dari yang sebelumnya cenderung konservatif, dan menjadi aktivis demokrasi.

Baca Juga: Kisah Hidup Soesilo Toer: Doktor Pemulung dan Tuduhan Komunis

Soesilo Toer sempat melakukan studi di Uni Soviet. Tetapi ketika pulang dan Indonesia berganti rezim, ia ditangkap dengan tuduhan PKI. (Afkar Aristoteles Mukhaer/National Geographic Indonesia)

 

Enggan pulang

Pasca-Orde Baru jatuh, ada beberapa eksil yang kembali ke Indonesia, tetapi kebanyakan memilih tetap menyandang kewarganegaraan negara penampungnya. Alasannya, mereka tidak mau kehilangan tunjangan seperti asuransi kesehatan, dan uang pensiun.

"Nah, terus siapa yang mau nanggung hidupnya di Indonesia?" tambahnya.

"Selain itu enggak mau kehilangan asuransi kesehatan. Terus terang, di Indonesia asuransi kesheatannya enggak begitu bagus. Kalau di Eropa bagus banget, semua gratis, dan kalau pun ada bayarannya pun minimal banget."

Ada pula yang menolak kembali setelah mengunjungi Indonesia dengan visa liburan. Mereka menolak pulang karena kecewa dengan kondisi pasca reformasi yang masih sama saja kacaunya, dan urusan politik yang tidak berubah.

Baca Juga: Bagaimana Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Penjajahan Belanda?