Emas Merah di Ujung Tanduk

By , Selasa, 26 Maret 2013 | 17:57 WIB

Mahoni adalah pohon tercantik di Amazon. Ia menjulang megah, menerobos kanopi hutan. Pola kayunya yang merah dan indah, serta daya tahannya, menjadikan pohon ini sebagai salah satu bahan bangunan yang paling dicari di Bumi, disukai oleh para pengrajin ulung, dan digunakan sebagai lambang kekayaan dan kekuasaan.

Sebatang pohon dapat menghasilkan ratusan juta rupiah di pasar internasional, pada saat produk akhir­nya mencapai lantai ruang pameran di Amerika Serikat atau Eropa. Setelah 2001, ketika Brasilia mengumumkan larangan pembalakan liar mahoni daun-besar, Peru muncul sebagai salah satu pemasok ter­besar di dunia.

Perburuan “emas merah”, begitulah mahoni kerap disebut, menyebabkan sejumlah daerah aliran sungai Peru—seperti Alto Tamaya, kampung halaman sekelompok Indian Ashéninka—ke­hilangan sebagian besar pohonnya yang ber­harga.

Per­tahanan terakhir mahoni, serta pohon cedar spanyol, kini hampir semuanya hanya dapat di­temu­kan di lahan orang Indian, taman nasional, dan daerah penampungan yang diperuntukkan guna melindungi suku-suku terpencil. Akibatnya, para pembalak sekarang mem­bidik raksasa kanopi lainnya yang jarang kita dengar—copaiba, ishpingo, shihuahuaco, capirona—yang masuk ke rumah-rumah dalam bentuk perabotan kamar tidur, lemari, lantai, dan lantai teras.

Jenis pohon ini tidak terlalu ketat dilindungi seperti mahoni, namun pe­pohonan tersebut kerap jauh lebih penting bagi ekosistem hutan. Saat pembalak beralih dari satu spesies ke spesies lainnya, mereka menebang lebih banyak pohon untuk menutupi pendapatannya yang semakin menyusut, sehingga mengancam habitat yang penting itu.

Primata, burung, dan amfibi yang menjadikan pepohonan sebagai rumahnya pun menghadapi risiko yang terus meningkat. Suku asli tercabik-cabik, antara yang mendukung pelestarian dan yang mencari durian runtuh. Beberapa suku yang paling terpencil di dunia pun berhamburan menyelamatkan diri dari raungan gergaji dan kecelakaan mengerikan akibat tumbangnya pepohonan raksasa.

Tidak jauh dari tenggara Alto Tamaya, terdapat kawasan lindung seluas 38.850 kilometer persegi yang dikenal sebagai Kompleks Konservasi Purús. Tempat itu dipenuhi pepohonan raksasa, tumbuh dari lantai hutan sekian abad yang lalu.

Daerah ini mencakup mata air Sungai Purús dan Yurúa, serta sejumlah suku yang hidup dalam keterpencilan ekstrem di perbukitan. Para pembalak liar menggunakan per­mukiman Indian di sekitarnya sebagai pintu masuk ke daerah yang dilindungi.!break!

Banyak komunitas ditipu oleh orang-orang yang me­nawar­kan uang tunai sebagai imbalan bantuan memperoleh izin pembalakan, yang kemudian mereka gunakan untuk menyelundupkan mahoni ilegal yang ditebang dari daerah reservat.

Di sepanjang Sungai Huacapistea, anak Sungai Yurúa yang membentuk perbatasan barat laut Wilayah Reservat Murunahua, tran­saksi ganda itu menyebabkan setengah lusin komunitas Ashéninka jatuh ke dalam jurang kemiskinan dan kekecewaan.

Pada puncak musim hujan, saya menyertai Chris Fagan, direktur eksekutif Upper Amazon Conservancy yang berbasis di AS, dan Arsenio Calle, direktur Taman Nasional Alto Purús, melakukan penggerebekan di Sungai Huacapistea. Calle, 47, memiliki wewenang hukum atas sebagian besar Kompleks Purús.

“Arsenio telah melakukan pekerjaan yang luar biasa untuk mencegah para pembalak masuk ke dalam taman,” kata Fagan. “Tetapi, masih banyak permintaan untuk mahoni ilegal.” Organ­isasi Fagan membentuk organisasi mitra di Peru, dinamakan ProPurús, yang mem­bantu penjaga taman dan komunitas warga asli untuk melindungi hutan.

Salah satu prakarsanya adalah membentuk “komite kewaspadaan” yang melibatkan masyarakat untuk melakukan patroli di perbatasan taman nasional, dan men­­cegah masuknya penyusup. Direktur lapangan ProPurús, José Borgo Vásquez, sosok berusia 60 tahun yang cerdik, yang sudah lama memperjuangkan perlindungan alam di seluruh hutan Amazon Peru, juga ikut bersama kami.