Emas Merah di Ujung Tanduk

By , Selasa, 26 Maret 2013 | 17:57 WIB

Karena merasa terancam oleh pelanggaran ini, satu dasawarsa yang lalu penduduk desa meng­ajukan petisi kepada pemerintah daerah di Pucallpa untuk memberikan sertifikat ke­pemilikan yang sah atas tanah mereka—hutan yang dialiri sungai dengan luas lebih dari 650 kilo­meter persegi yang membentang dari Saweto hingga perbatasan Brasilia.

Klaim mereka terjebak dalam jeratan birokrasi selama bertahun-tahun, sementara pemburu terus men­jarah hutan mereka. Tampaknya, petisi mereka akhirnya dapat diselesaikan akhir tahun ini. Epidemi pembalakan liar mendorong anggota parlemen AS pada 2007 meminta dilakukannya serangkaian reformasi sebagai syarat persetujuan perjanjian perdagangan bebas dengan Peru.

Per­­janjian itu antara lain mengharuskan Peru meng­­implementasikan rencana tindakan mahoni daun besar yang sesuai dengan Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam (CITES).

Tetapi, ini era baru bagi suku Ashéninka di Alto Tamaya. Pada pertemuan di gedung se­kolah satu ruangan di Saweto, Teresa López Campos mendesak warganya untuk menghadapi para pembalak. “Kami mau pergi ke mana jika mereka mengusir kami dari tempat ini?” ujarnya dengan geram.

“Di sinilah tempat kami akan mati. Kami tidak tahu harus pergi ke mana lagi.” Dua hari kemudian, sekitar sepuluh warga suku Ashéninka bersatu di bawah arahan Chota untuk mengikuti para pembalak liar ke hulu Alto Tamaya dan mengusir mereka.

Sejak fajar, kami mengikuti lika-liku Anak Sungai Mashansho yang hijau, melalui hutan lebat di sepanjang per­batasan timur Peru dengan Brasilia. Sambil mendorong kano melalui sungai yang dangkal, pemandu Ashéninka tampak tidak terburu-buru, yakin bahwa di hulu nanti kami akan ber­temu dengan serombongan orang yang di­pimpin oleh seorang lelaki licin yang mereka sebut El Gato—Si Kucing.!break!

Orang-orang Saweto sedang pergi ketika El Gato melaju menuju hulu melewati desa itu se­­minggu sebelumnya. Dengan mengabaikan teriakan sejumlah perempuan di bantaran untuk tidak mengganggu hutan mereka di hulu, El Gato terus melaju, ketiga kapalnya dipenuhi cukup banyak makanan dan bahan bakar yang memungkinkan awaknya yang berwajah muram untuk terus menebang pepohonan di dalam hutan lebat sepanjang musim panas.

“Selama kami tidak memiliki sertifikat ke­pemilikan, para pembalak tidak akan meng­hormati kepemilikan penduduk asli,” kata Chota yang berdiri di bagian belakang kano, mendorongnya dengan menggunakan tongkat sepanjang tiga meter.

“Mereka mengancam kami. Mereka mengintimidasi. Mereka ber­senjata.” Karena sering menjadi sasaran ancam­an pembunuhan, Chota berulang kali terpaksa mencari perlindungan di antara kerabat suku Ashéninka di Brasilia, yang jaraknya dua hari berjalan kaki dari tempat ini.

“Pembuatan sertifikat adalah unsur yang sangat penting dalam memerangi pembalakan liar,” ujar David Salisbury, ahli ilmu bumi dari University of Richmond, yang duduk di samping saya. Salisbury yang kurus dan berambut pirang itu telah menjadi penasihat desa sejak pertama kali mengetahui penderitaan mereka saat me­laku­kan penelitian doktornya pada 2004. “Penduduk asli adalah orang-orang yang paling dirugikan,” ujarnya.

“Mereka adalah pihak yang paling mampu membuat keputusan jangka panjang tentang bagaimana memanfaatkan sumber daya alam mereka secara lestari.”

Industri pembalakan peru beroperasi dalam kerangka konsesi dan izin yang dirancang se­demikian rupa, sehingga memungkinkan se­buah komunitas, perusahaan, atau perorangan memperoleh hasil yang berkelanjutan dari daerah tertentu.