“Para pembalak mencuri dari kalian dan lolos dari hukuman,” ujar Borgo pada sebuah acara pertemuan di pemberhentian pertama kami, desa suku Ashéninka di Dulce Gloria. “Mengapa? Karena kalian tidak melakukan apa pun untuk menghentikan mereka.”
Borgo percaya bahwa upaya perlindungan alam akan berhasil hanya jika masyarakat setempat turut berperan aktif membela tanah leluhur mereka. Dua kendala utama, katanya, adalah kemiskinan dan kurangnya pendidikan.
Kendala ketiga adalah jarak, yang memberikan keuntungan luar biasa besarnya bagi pemburu kayu ilegal. Hutan hujan Amazon sangat luas, dan lembah sungainya yang begitu lebar sangatlah terpencil sehingga tidak mungkin melakukan patroli di semua tempat secara efektif. Tidak adanya otoritas di lapangan membuat para pembalak merasa seakan-akan mereka bebas merambah hutan.!break!
Keesokan harinya, dalam guyuran hujan lebat, pemandu setempat membawa kami jauh ke dalam hutan untuk menemukan operasi terlarang ini. Kami melewati sebatang pohon mahoni raksasa, dengan huruf X terukir pada kulitnya. Tampaknya diberi tanda untuk ditebang.
Dengan ditopang oleh akar tunjang yang melebar, batang raksasa itu menjulang menembus kanopi, sementara cabangnya dipenuhi bunga anggrek dan bromeliad. Sebuah bukaan di hutan mengarah ke rimba yang dibasahi hujan dan lenyap dalam bayangan hijau.
Kami segera menemukan pelakunya—sebuah kendaraan berat (skidder) dengan ban raksasa, diparkir di dalam gudang yang terbuat dari lembaran logam bergelombang yang sudah berkarat. Kami melanjutkan perjalanan, melewati belasan mahoni raksasa dan pohon cedar Spanyol yang akan ditumbangkan skidder tersebut. Calle mengukur diameter pohon—masing-masing berkisar 1,5 meter. Katanya pohon-pohon itu sudah berusia ratusan tahun.
Kami mencapai dataran kosong yang dipenuhi gubuk penampungan dari jerami. Tempat itu diawasi oleh seorang penjaga, lelaki bertubuh besar bernama Emilio, yang terbangun dari hammock-nya karena kedatangan kami. “Kami harus bekerja,” katanya membela diri.
“Jika tidak ada pekerjaan, apa yang dapat kami lakukan?” Ini juga pertanyaan yang membingungkan Calle. Operasi pembalakan ini jelas berada di luar batas legal, tidak seorang pun berwenang menebang hutan ini. Namun, kamp itu sendiri berada di luar jangkauan hukum Calle.
Karena hujan deras, terlalu sulit untuk mengikuti jalur skidder yang melintasi sungai yang meluap akibat hujan dan masuk ke kawasan reservat, jadi kami memutuskan untuk kembali. Calle akan mengingatkan pihak berwenang begitu kembali ke Pucallpa, tapi kemungkinan besar tidak seorang pun memiliki keberanian untuk menangkap atau mengadili siapa pun.
Tanpa bukti kuat dari kawasan reservat, kasus ini cukup sulit untuk diproses. Pembalak cenderung memiliki hubungan baik dengan pemegang kekuasaan di Pucallpa. Polisi yang jujur sering menghadapi ancaman pencemaran nama baik, bahkan pemecatan, jika melangkah terlalu jauh.
Terlebih lagi, pemerintah di Lima belakangan ini mengalihkan tanggung jawab perlindungan hutan ke pemerintah daerah, yang para pejabatnya sering kali lebih rentan menyikapi tindak kekerasan. “Kawasan yang dilindungi akan menjadi hutan yang terfragmentasi jika kita tidak mengambil pendekatan yang lebih proaktif,” kata Calle, yang khawatir pembalak sekarang memiliki kekuatan lebih besar untuk meremehkan supremasi hukum.!break!
Edwin chota valera—lelaki berotot berusia 52 tahun—adalah pemimpin desa suku Ashéninka di Saweto, sekitar 95 kilometer sebelah barat laut Kompleks Konservasi Purús. Sejak 1998, ketika suku Ashéninka setempat mendirikan desa Saweto, mereka hanya bisa menyaksikan tanpa daya saat, musim demi musim, para pembalak menghanyutkan batang raksasa ke hilir, dari hulu Sungai Alto Tamaya dan Putaya menuju tempat penggergajian di Pucallpa.