Meretas Kebisuan

By , Selasa, 23 April 2013 | 16:39 WIB

Tetapi, kami bertahan di ruangan terbuka, agar lebih mudah menemukan penyadap yang dibayar pemerintah. Namun, Muzondo telah menulis skenario yang memprovokasi pe­merintah dan berbicara dengan penulis asing. Melakukan salah satu dari kedua hal itu sama saja dengan mengundang masalah.

Dalam dasawarsa dari 2001 hingga 2011, tekanan resmi telah memaksa sedikitnya 49 warta­wan Zimbabwe mengasingkan diri, catatan terburuk kelima di dunia. Di dalam perbatasan Zimbabwe, puluhan aktivis hak asasi manusia, penulis, serta juru foto nasional dan internasional, diintimidasi atau ditangkap.

Seorang juru kamera setempat dibunuh pada 2007. Dia diduga menyebarkan foto ke­pada media asing soal pemukulan terhadap Morgan Tsvangirai. Sejak 2000, Tsvangirai sering ditangkap dan pernah dipukuli nyaris sampai mati oleh antek Mugabe. Di atas kertas, kebebasan berbicara memang dilindungi. Pada kenyataannya, serangkaian undang-undang yang imajinatif berusaha memastikan kebisuan.

“Bagaimana kami bisa mengungkap sejarah kekerasan jika tidak dapat membicarakannya?” tanya Muzondo. “Jika kita menggabungkan kemiskinan dengan rasa takut dan kebisuan—hidup ini menjadi tidak layak dijalani.

Seolah-olah mereka berhak melakukan pembunuhan massal.” Warga Zimbabwe takut menjadi orang yang tak boleh disebutkan namanya dan tidak akan pernah terdengar kembali—mirip orang bisu. Lalu, kisah mereka hanya akan disampaikan oleh koresponden asing dan pekerja amal dari Barat.!break!

Dahulu, negara ini memiliki tingkat melek huruf tertinggi di Afrika—lebih dari 90 persen. Sejumlah orang meramalkan, tingkat melek huruf Zimbabwe akan merosot hingga 75 persen pada 2020. “Kami tahu. Jika tidak mampu bersuara, kami tidak punya pilihan,” ujar Muzondo. “Tanpa pilihan, kami ada di mana? Kami selamanya akan terjebak dalam kekerasan.”

Namun, para penulis, seniman, dan penulis skenario Zimbabwe belum menyerah. Novel, pameran seni, dan pertunjukan kontroversial yang secara politis sangat keras, kadang sangat kocak, bermunculan lebih cepat daripada yang dapat dicegah oleh agen CIO.

Dalam delapan tahun terakhir, Muzondo menulis setengah lusin skenario yang terkait dengan masalah sosial dan politik terbaru. Pertunjukan terbarunya—No Voice, No Choice—dilarang tampil pada Agustus 2012 setelah pertunjukan tersebut disambut dengan antusias di seluruh negeri.

“Orang-orang menghampiri kami usai pertunjukan dan berkata, ‘Awalnya kami takut apa yang akan terjadi jika seseorang melihat kami menonton pertunjukan Anda, tapi kemudian kami lihat Anda tidak takut memainkannya. Kami merasa lebih berani berkat keberanian Anda’.”

Muzondo berkata, kami semua bersama-sama menjalaninya. Tetangga menyerang tetangganya. Sekarang kami harus duduk bersama dan menghadapi apa yang telah saling kami lakukan terhadap sesama.

Mugabe tampaknya sengaja mengubah banyak warga Zimbabwe menjadi pelaku. Selain tentara dan polisi, Mugabe juga memerintahkan anak-anak sekolah keluar dari ruang kelas mereka untuk memperkosa dan menyiksa. “Korban kekerasan politik takut hal itu akan muncul kembali pada setiap pemilu, sementara pelaku kekerasan politik takut hal itu akan berakhir,” ujar Rutendo Munengami, pengacara korban pemerkosaan.

“Semua orang tahu siapa pelakunya; mereka adalah tetangga dan pejabat kami. Tidak sulit menemukan mereka. Orang-orang itu takut pada pemerintah baru yang akan meminta pertanggungjawaban mereka.”