Meretas Kebisuan

By , Selasa, 23 April 2013 | 16:39 WIB

Ada dua hal yang setidaknya perlu diketahui tentang orang Zimbabwe. Pertama, bahwa mereka memiliki keterikatan sangat kuat dengan tanah airnya dan ini tidak mengherankan. Di sana ada hamparan kawasan berhutan, dengan pepohonan musasa yang merah merona pada awal musim hujan, atau embusan angin gersang pada sore musim panas.

Tanah air mereka mampu memikat jiwa. Namun, keterikatan dengan tanah tersebut harus dibayar mahal. Perang dan revolusi kerap terjadi untuk memperebutkan tanah ini. Banyak warga kehilangan tanah leluhurnya dan terlihat bagaikan hantu di tanah airnya sendiri, jiwa yang terus mencari habitatnya.

Hal kedua yang perlu diketahui tentang orang Zimbabwe adalah bahwa mereka merupakan bangsa kecil, tapi selalu berisik, terdiri atas para pendongeng dan pencipta musik. The Bhundu Boys adalah grup musik yang membuka konser diva pop Madonna di Stadion Wembley, London pada 1987.

Thomas Mapfumo, Singa Zimbabwe, menciptakan genre musik protes—chimurenga (pemberontakan). Penghargaan sastra paling bergengsi di Afrika, Caine Prize, telah dua kali diraih anak bangsa Zimbabwe sepanjang 13 tahun sejarahnya (Brian Chikwava pada 2004, NoViolet Bulawayo pada 2011). Doris Lessing, yang menghabiskan masa dewasanya di negara itu, memenangi Hadiah Nobel bidang sastra.

Sekarang saya bukan orang zimbabwe lagi. Namun, pada 1970-an, orang tua saya yang kelahiran Inggris memiliki peternakan di perbatasan timur negara yang saat itu masih dikenal sebagai negara Rhodesia nan barbar. Mereka berjuang—ayah sebagai prajurit wajib militer, ibu sebagai polisi suka­rela—mempertahankan negara agar tetap dikendalikan orang berkulit putih dan tidak tersentuh tangan komunis.

Usaha mereka patut dipertanyakan: Ian Smith, perdana menteri Rhodesia, berkampanye pada 1965 dengan slogan “Rhodesia yang lebih putih dan lebih cerah”. Selama lima belas tahun berikutnya, jumlah minoritas kulit putih terus menurun (sedikit di atas 200.000 orang pada awal 60-an dan sekitar 150.000 pada 1980).

Mereka berusaha mempertahankan kekuasaan di negara yang dihuni oleh mayoritas kulit hitam yang tumbuh dari sekitar 3,5 juta orang menjadi lebih dari 7 juta orang dalam periode yang sama.!break!

Pada akhir 1979, aliran masuk pasukan pem­bebasan ke Rhodesia dari negara Mozambik dan Zambia, jauh lebih cepat ketimbang yang dapat ditewaskan oleh tentara pemerintah. Kedua belah pihak merundingkan perdamaian. Pada Februari tahun berikutnya, pemilihan umum diselenggarakan dan dimenangi oleh Zimbabwe African National Union—Patriotic Front (ZANU-PF).

Pemimpinnya menjadi perdana menteri pertama Zimbabwe. Robert Gabriel Mugabe berjanji akan bermurah hati dan menjunjung tinggi rekonsiliasi. Ibu saya tidak mempercayainya. Orang tua saya pindah ke utara menuju Malawi.Dengan memanfaatkan kelemahan pe­merintahan sebelumnya—etnis, ras, dan politik—Mugabe melanjutkan usaha memecah-belah bangsanya dan mengamankan kekuasaan absolut untuk dirinya sendiri.

Ada dua kelompok etnis utama di Zimbabwe: mayoritas Shona dan minoritas Ndebele. Mugabe berasal dari suku Shona. Pada 1983, Mugabe mengerahkan Brigade Lima yang dilatih di Korea Utara ke wilayah barat untuk meredam setiap oposisi politik suku Ndebele.

Selama lima tahun berikutnya diperkirakan sekitar 20.000 orang Ndebele dibantai. “Dia mengerti dan memanipulasi kelemahan kami dengan sangat baik,” ujar Wilfred Mhanda, mantan komandan pembebasan ZANU-PF yang berjuang bersama Mugabe.

Mugabe mendiamkan korupsi merajalela dalam kabinetnya, asalkan mereka tetap setia kepadanya. Perekonomian negara runtuh. Pertengahan 1990-an, bahan bakar menyusut, pegawai negeri mogok, dan veteran perang mulai menuntut kompensasi yang dijanjikan saat meraih kemerdekaan. Lalu, pada 1998, Mugabe mengirimkan pasukan ke Republik Demokratik Kongo untuk membantu rezim Laurent Kabila, dengan biaya total Rp10 miliar per hari. Nasib perekonomian Zimbabwe pun sudah terpatri.

Movement for Democratic Change (MDC) didirikan pada 1999, dipimpin oleh mantan pimpinan serikat buruh, Morgan Tsvangirai. Mugabe membalas gerakan politik baru ini dengan membiarkan mereka merebut pe­ternakan komersial milik warga berkulit putih tanpa kompensasi.

Pada 2000, dengan persetujuan eksplisit dari Mugabe, pendukung ZANU-PF yang menganggur dipimpin oleh veteran perang bersenjatakan kapak dan parang menyerbu peternakan, meneriakkan, “Hondo! Perang!” Pasokan bahan pangan dalam negeri menukik tajam. Pada 2005, setelah MDC me­menangi beberapa kursi di parlemen, Mugabe membalas dengan meluncurkan Operasi Murambatsvina (Operasi Singkirkan Kotoran).!break!

Di seluruh penjuru negeri, kios di pasar dan rumah milik masyarakat kota miskin dihancurkan. Mereka umumnya anggota pendukung oposisi ZANU-PF. Diperkirakan, sekitar 700.000 orang kehilangan rumah atau mata pencaharian dan lebih dari 2 juta orang semakin terpuruk dalam jurang kemiskinan.

Lalu, dalam putaran pertama pemilu yang diselenggarakan pada 2008, ZANU-PF pimpinan Mugabe akhirnya kalah dari MDC pimpinan Tsvangirai. Para pendukung dan pejabat ZANU-PF menuntut putaran kedua dan melakukan perusakan ganas yang dibiayai pemerintah. Ratusan pendukung MDC tewas dan ribuan luka-luka, ratusan wanita dan anak perempuan diperkosa, dan puluhan ribu orang menjadi pengungsi di dalam negeri.

“Jika Anda ingin bunuh diri pada 2008, Anda hanya perlu mengenakan kaos MDC,” kata mereka kepada saya. Pada November tahun itu, Steve Hanke, profesor ekonomi di Johns Hopkins University di Baltimore, mencatat laju inflasi bulanan di Zimbabwe mencapai 79,6 miliar persen.

Untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih parah dan kehancuran ekonomi yang lebih tak terbayangkan lagi, Tsvangirai menarik diri dari pencalonannya. Lalu, Mugabe menyatakan dirinya sebagai pemenang. Mugabe mempertahankan kendali atas tambang, tentara, dan polisi serta pelayanan intelijen—dengan kata lain, segala sesuatu yang akan men­jamin kelangsungan dominasinya.

Tsvangirai membawahi kementerian keuangan, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup—dengan kata lain, segala sesuatu yang menjamin dia tidak akan memperoleh kekuasaan.

Masa penantian yang rapuh pun berlangsung—masa penantian melemahnya cengke­raman Mugabe atas kekuasaannya atau me­nunggu kematiannya (Mugabe dilahirkan pada 1924). Tetapi, Mugabe terlihat masih segar bugar. Pada 2012, organisasi nirlaba yang berbasis di Washington D. C., Fund for Peace, memberi Zimbabwe peringkat kelima pada Failed States Index yang disusun setiap tahunnya.

Tetapi, ketika saya tiba di negara itu pada pertengahan Oktober 2012, kehidupan di ibu kota Harare tampaknya berjalan seperti biasa. Penemuan berlian di bagian timur negara itu pada 2006 disebut sebagai penemuan tambang berlian terbesar di dunia.

Arus masuk pendapat­an dari industri berlian mampu memoles kota itu. Hasilnya: penggunaan dolar AS dalam per­dagangan, mobil baru berseliweran, toko barang impor dari Afrika Selatan, rumah mewah menjamur di daerah pinggiran kota.!break!

Namun, di balik kesan keteraturan itu, ke­resahan tetap membara. Jelang pemilu yang dijadwalkan pada Juli 2013, sejumlah geng pemuda ZANU-PF mulai menebar teror di pasar yang padat. Di televisi internasional, pejabat ZANU-PF secara terang-terangan meng­ancam bahwa mereka tidak akan mendukung kemenangan Tsvangirai. Posisi Tsvangirai sebagai alternatif kuat untuk menggantikan Mugabe mulai dipertanyakan.

Sementara itu, personel Central Intelligence Organization (CIO) konon memantau kegiatan warga. “Ya, ada orang yang mengatakan agar saya berhati-hati,” ujar Tafadzwa Muzondo, penulis skenario Zimbabwe berusia 33 tahun. “Tapi, saya harus melakukan tugas saya. Hal yang terpenting adalah saya seorang warga negara.

Seniman adalah pekerjaan saya. Dan, bukankah lebih baik untuk mengatakan di akhir hidup kita bahwa kita pernah mencoba untuk membuat perbedaan?” Muzondo menyarankan agar kami bertemu di belakang Galeri Nasional di Taman Harare. Saat itu pagi berkabut dan ancaman badai tercium di udara.

Tetapi, kami bertahan di ruangan terbuka, agar lebih mudah menemukan penyadap yang dibayar pemerintah. Namun, Muzondo telah menulis skenario yang memprovokasi pe­merintah dan berbicara dengan penulis asing. Melakukan salah satu dari kedua hal itu sama saja dengan mengundang masalah.

Dalam dasawarsa dari 2001 hingga 2011, tekanan resmi telah memaksa sedikitnya 49 warta­wan Zimbabwe mengasingkan diri, catatan terburuk kelima di dunia. Di dalam perbatasan Zimbabwe, puluhan aktivis hak asasi manusia, penulis, serta juru foto nasional dan internasional, diintimidasi atau ditangkap.

Seorang juru kamera setempat dibunuh pada 2007. Dia diduga menyebarkan foto ke­pada media asing soal pemukulan terhadap Morgan Tsvangirai. Sejak 2000, Tsvangirai sering ditangkap dan pernah dipukuli nyaris sampai mati oleh antek Mugabe. Di atas kertas, kebebasan berbicara memang dilindungi. Pada kenyataannya, serangkaian undang-undang yang imajinatif berusaha memastikan kebisuan.

“Bagaimana kami bisa mengungkap sejarah kekerasan jika tidak dapat membicarakannya?” tanya Muzondo. “Jika kita menggabungkan kemiskinan dengan rasa takut dan kebisuan—hidup ini menjadi tidak layak dijalani.

Seolah-olah mereka berhak melakukan pembunuhan massal.” Warga Zimbabwe takut menjadi orang yang tak boleh disebutkan namanya dan tidak akan pernah terdengar kembali—mirip orang bisu. Lalu, kisah mereka hanya akan disampaikan oleh koresponden asing dan pekerja amal dari Barat.!break!

Dahulu, negara ini memiliki tingkat melek huruf tertinggi di Afrika—lebih dari 90 persen. Sejumlah orang meramalkan, tingkat melek huruf Zimbabwe akan merosot hingga 75 persen pada 2020. “Kami tahu. Jika tidak mampu bersuara, kami tidak punya pilihan,” ujar Muzondo. “Tanpa pilihan, kami ada di mana? Kami selamanya akan terjebak dalam kekerasan.”

Namun, para penulis, seniman, dan penulis skenario Zimbabwe belum menyerah. Novel, pameran seni, dan pertunjukan kontroversial yang secara politis sangat keras, kadang sangat kocak, bermunculan lebih cepat daripada yang dapat dicegah oleh agen CIO.

Dalam delapan tahun terakhir, Muzondo menulis setengah lusin skenario yang terkait dengan masalah sosial dan politik terbaru. Pertunjukan terbarunya—No Voice, No Choice—dilarang tampil pada Agustus 2012 setelah pertunjukan tersebut disambut dengan antusias di seluruh negeri.

“Orang-orang menghampiri kami usai pertunjukan dan berkata, ‘Awalnya kami takut apa yang akan terjadi jika seseorang melihat kami menonton pertunjukan Anda, tapi kemudian kami lihat Anda tidak takut memainkannya. Kami merasa lebih berani berkat keberanian Anda’.”

Muzondo berkata, kami semua bersama-sama menjalaninya. Tetangga menyerang tetangganya. Sekarang kami harus duduk bersama dan menghadapi apa yang telah saling kami lakukan terhadap sesama.

Mugabe tampaknya sengaja mengubah banyak warga Zimbabwe menjadi pelaku. Selain tentara dan polisi, Mugabe juga memerintahkan anak-anak sekolah keluar dari ruang kelas mereka untuk memperkosa dan menyiksa. “Korban kekerasan politik takut hal itu akan muncul kembali pada setiap pemilu, sementara pelaku kekerasan politik takut hal itu akan berakhir,” ujar Rutendo Munengami, pengacara korban pemerkosaan.

“Semua orang tahu siapa pelakunya; mereka adalah tetangga dan pejabat kami. Tidak sulit menemukan mereka. Orang-orang itu takut pada pemerintah baru yang akan meminta pertanggungjawaban mereka.”

Saya bertemu dengan Munengami dan sesama aktivis, Margaret Mazvarira, di taman restoran Harare yang sunyi. Matahari muncul, tunas pohon musasa mencuat pada tanah lembut yang jarang dibasuh hujan. Kedua wanita itu berbicara susul-menyusul, menyelesaikan kalimat yang diucapkan temannya, menegaskan ikatan batin akibat pengalaman selama ini.!break!

Pada dini hari 3 Juni 2003, Munengami—yang suaminya kemudian menjabat sebagai penasihat MDC—diseret dari tempat tidurnya. Anaknya yang berusia sembilan bulan masih dalam pelukannya. Sambil ditonton para tentara, cerita Munengami kepada saya, dia diperkosa oleh menteri ZANU-PF yang terkemuka.

Setelah itu, sang menteri mengantarnya ke kantor polisi di Harare. Di situlah dia dan anaknya digantung di atas kubangan asam, sementara para tentara berunding apakah akan membunuhnya atau tidak. “Mereka ingin membanting bayi saya ke tanah,” kata Mu­nengami. “Mereka berteriak, ‘Dia akan sama seperti ayahnya. Dia akan memberikan negara ini kepada orang kulit putih’.”

Mazvarira diculik pada 2000 dari rumahnya di Chivhu, kota kecil di selatan Harare, dan diperkosa oleh dua petugas CIO dari ZANU-PF. Mazvarira tertular HIV dari serangan itu. “Mereka berkata, ‘Kamu dan putrimu adalah pelacur Tsvangirai’.” Ketika Mazvarira pergi ke kantor polisi untuk melaporkan serangan itu, petugas tidak mau mendengar kasusnya. “Polisi adalah antek ZANU-PF,” katanya.

Kedua wanita itu tidak tinggal diam mem­biarkan apa yang terjadi pada mereka. Namun, hal yang mengubah mereka dari korban men­jadi aktivis adalah karena mereka tidak pernah mampu menyeret penyerang mereka untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.

“Pemerintah tidak akan membantu kami. Tidak ada yang dapat membantu kami. Se­karang terserah kepada kami, diri kami sen­diri. Itulah situasi yang kami hadapi.” Pada 2009, Munengami mendirikan Doors of Hope, organisasi nirlaba yang membantu dan mewakili korban pemerkosaan bermotif politik. Doors of Hope kini memiliki 375 anggota dari seluruh penjuru negeri.

“Kami membela kaum wanita,” ujar Munengami. “Orang yang disebut sebagai veteran perang telah memperkosa begitu banyak wanita selama perang pembebasan, tetapi mereka tidak mau membicarakannya. Jadi, kami yang akan membicarakannya. Tidak jadi soal apakah kejadiannya berlangsung pada 1975, atau sekarang, kami tidak ingin hal ini terus berlanjut. Kami sudah muak. Kami sudah capai dan lelah untuk terus membisu. Apa yang dihasilkan dari kebisuan itu?”!break!

Dari perjalanan ke seluruh penjuru negeri baru-baru ini, saya tahu bahwa organisasi seperti Doors of Hope tersebar di seluruh Zimbabwe. Saya berbicara dengan direktur Radio Dialogue, stasiun radio kecil di Bulawayo yang mampu menghindari larangan penyiaran independen dengan membagikan kaset dan CD kepada sopir minibus.

Saya berbicara dengan korban penyiksaan politik yang me­nyelenggarakan lingkaran penyembuhan dengan mantan penyerang mereka dan se­karang menjalankan organisasi nirlaba, Tree of Life. Saya berbicara dengan editor Weaver Press di Harare, yang masih menerbitkan buku provokatif secara politis.

Saya berbicara dengan seniman, penulis, dan dokter yang melawan masa depan yang penuh kekerasan akibat kebisuan yang tidak dapat dihindari. “Saya seperti pohon itu,” kata Mazvarira tiba-tiba, menunjuk ke arah pohon jacaranda. “Cabang saya sudah dipotong, akan tetapi saya tidak mati. Saya melekat pada tanah yang memberi makan akar saya.”

Dia menyingkirkan piring­nya. “Hari ini saya menceritakan kisah saya. Saya didengar. Ini bagaikan hujan untuk pohon yang sekarat.”  Dia mencondongkan tubuh ke depan dengan menyungging jenis senyuman yang hanya bisa muncul ketika masih ada harapan, di tempat yang nyaris tanpa harapan.

“Jadi, tolong sampaikan kepada dunia Anda untuk jangan melupakan kami dulu. Katakan kepada mereka untuk tetap mendengar kami. Kami masih mampu berbicara.”