Meretas Kebisuan

By , Selasa, 23 April 2013 | 16:39 WIB

Saya bertemu dengan Munengami dan sesama aktivis, Margaret Mazvarira, di taman restoran Harare yang sunyi. Matahari muncul, tunas pohon musasa mencuat pada tanah lembut yang jarang dibasuh hujan. Kedua wanita itu berbicara susul-menyusul, menyelesaikan kalimat yang diucapkan temannya, menegaskan ikatan batin akibat pengalaman selama ini.!break!

Pada dini hari 3 Juni 2003, Munengami—yang suaminya kemudian menjabat sebagai penasihat MDC—diseret dari tempat tidurnya. Anaknya yang berusia sembilan bulan masih dalam pelukannya. Sambil ditonton para tentara, cerita Munengami kepada saya, dia diperkosa oleh menteri ZANU-PF yang terkemuka.

Setelah itu, sang menteri mengantarnya ke kantor polisi di Harare. Di situlah dia dan anaknya digantung di atas kubangan asam, sementara para tentara berunding apakah akan membunuhnya atau tidak. “Mereka ingin membanting bayi saya ke tanah,” kata Mu­nengami. “Mereka berteriak, ‘Dia akan sama seperti ayahnya. Dia akan memberikan negara ini kepada orang kulit putih’.”

Mazvarira diculik pada 2000 dari rumahnya di Chivhu, kota kecil di selatan Harare, dan diperkosa oleh dua petugas CIO dari ZANU-PF. Mazvarira tertular HIV dari serangan itu. “Mereka berkata, ‘Kamu dan putrimu adalah pelacur Tsvangirai’.” Ketika Mazvarira pergi ke kantor polisi untuk melaporkan serangan itu, petugas tidak mau mendengar kasusnya. “Polisi adalah antek ZANU-PF,” katanya.

Kedua wanita itu tidak tinggal diam mem­biarkan apa yang terjadi pada mereka. Namun, hal yang mengubah mereka dari korban men­jadi aktivis adalah karena mereka tidak pernah mampu menyeret penyerang mereka untuk mempertanggungjawabkan tindakannya.

“Pemerintah tidak akan membantu kami. Tidak ada yang dapat membantu kami. Se­karang terserah kepada kami, diri kami sen­diri. Itulah situasi yang kami hadapi.” Pada 2009, Munengami mendirikan Doors of Hope, organisasi nirlaba yang membantu dan mewakili korban pemerkosaan bermotif politik. Doors of Hope kini memiliki 375 anggota dari seluruh penjuru negeri.

“Kami membela kaum wanita,” ujar Munengami. “Orang yang disebut sebagai veteran perang telah memperkosa begitu banyak wanita selama perang pembebasan, tetapi mereka tidak mau membicarakannya. Jadi, kami yang akan membicarakannya. Tidak jadi soal apakah kejadiannya berlangsung pada 1975, atau sekarang, kami tidak ingin hal ini terus berlanjut. Kami sudah muak. Kami sudah capai dan lelah untuk terus membisu. Apa yang dihasilkan dari kebisuan itu?”!break!

Dari perjalanan ke seluruh penjuru negeri baru-baru ini, saya tahu bahwa organisasi seperti Doors of Hope tersebar di seluruh Zimbabwe. Saya berbicara dengan direktur Radio Dialogue, stasiun radio kecil di Bulawayo yang mampu menghindari larangan penyiaran independen dengan membagikan kaset dan CD kepada sopir minibus.

Saya berbicara dengan korban penyiksaan politik yang me­nyelenggarakan lingkaran penyembuhan dengan mantan penyerang mereka dan se­karang menjalankan organisasi nirlaba, Tree of Life. Saya berbicara dengan editor Weaver Press di Harare, yang masih menerbitkan buku provokatif secara politis.

Saya berbicara dengan seniman, penulis, dan dokter yang melawan masa depan yang penuh kekerasan akibat kebisuan yang tidak dapat dihindari. “Saya seperti pohon itu,” kata Mazvarira tiba-tiba, menunjuk ke arah pohon jacaranda. “Cabang saya sudah dipotong, akan tetapi saya tidak mati. Saya melekat pada tanah yang memberi makan akar saya.”

Dia menyingkirkan piring­nya. “Hari ini saya menceritakan kisah saya. Saya didengar. Ini bagaikan hujan untuk pohon yang sekarat.”  Dia mencondongkan tubuh ke depan dengan menyungging jenis senyuman yang hanya bisa muncul ketika masih ada harapan, di tempat yang nyaris tanpa harapan.

“Jadi, tolong sampaikan kepada dunia Anda untuk jangan melupakan kami dulu. Katakan kepada mereka untuk tetap mendengar kami. Kami masih mampu berbicara.”