Urat Nadi Cina Kuno

By , Selasa, 23 April 2013 | 17:57 WIB

Tongkang Kanal Besar tak menyandang nama mentereng, atau cat bertuliskan ungkapan norak di buritannya. Hanya ada huruf dan angka di lambung, seperti cap di badan sapi.

Perlakuan acuh tak acuh itu bisa jadi menunjukkan penyepelean, namun tongkang yang lalu-lalang di Kanal Besar telah mempersatukan Cina sejak abad ke-14. Tongkang mengangkut padi, prajurit, dan gagasan antara pusat perekonomian di selatan dan ibu kota politik di utara.

Di pinggir Kota Jining di utara, Zhu Silei—Zhu Tua, begitulah orang menjulukinya—me­nyalakan mesin diesel ganda Lu-Jining-Huo 3307, tongkang barunya yang masih mulus. Saat itu pukul 04.30, dan Zhu Tua berharap bisa bertolak lebih cepat dari para kru lain. Tetapi ketika menatap pantai, saya melihat pepohonan mematung.

Saya terkejut melihat tongkang lain mendahului kami. Ketika itulah radio berdesis. “Zhu Tua, kenapa kau?” kata kapten sebuah tongkang, tergelak. “Kau gagal melewati kanal!” Kapal kami tersangkut di endapan pasir.

Zhu Tua memicingkan mata dengan kesal. Selama enam bulan dia sibuk di darat, mengawasi perakitan tongkangnya, dan kini dalam ketergesaan telah meremehkan Kanal Besar, dengan arusnya yang menantang dan dasar jalur airnya yang naik. Walaupun enggan, dia mengangkat mikrofon dan meminta saran.

Setelah mendengar bahwa gosong yang me­ngandaskan kami kecil, dia menatap tajam ke air dan memutuskan untuk mengambil tindakan cepat. Dia memasang gigi mundur dengan kekuatan penuh. Kedua diesel mendorong tongkang sepanjang 50 meter beserta muatan ribuan ton batu bara-nya dengan guncangan dahsyat.

Dia memutar roda kemudi, memasang gigi maju, lalu kembali menyalakan mesin. Air berpusar saat kami melesat maju. Target kami: Nantong, 690 kilometer di selatan.!break!

Di atas kertas, panjang Kanal Besar adalah 1.800 kilometer, mengalir di antara Beijing dan kota metropolis Hangzhou di bagian selatan. Tetapi, selama hampir empat dasawarsa, se­tengah lintasan atasnya—dari Beijing hingga Jining—terlalu dangkal untuk dilalui kapal. Arteri komersial utama di jalur air itu kini terbentang sejauh 523 kilometer dari Jining sampai Yangtze.

Sistem kanal asli yang dibangun oleh Kaisar Yang dari dinasti Sui itu dipandang ahli sejarah Cina sebagai aksi kegilaan yang brilian. Sungai-sungai utama Cina kuno mengalir dari barat ke timur, dan Yang ingin membebaskan diri dari cengkeraman geografis.

Ia membutuhkan cara untuk mengangkut padi dari daerah subur di sekitar barat laut Yangtze guna men­cukupi kebutuhan kerajaan dan yang ter­penting, kebutuhan pasukannya, yang tak henti melawan suku nomaden. Maka, pengawal kaisar me­maksa jutaan orang, kebanyakan petani, untuk membangun bagian pertama kanal.

Di bawah pengawasan ribuan prajurit, pria dan wanita bekerja paksa sepanjang hari. Yang “menyebabkan penderitaan tidak terperikan,” tulis seorang pujangga abad kesembilan. Namun proyek ini “menghadirkan manfaat sepanjang zaman bagi masyarakat.”

Secara resmi, pembangunan kanal berakhir dalam 171 hari pada 605. Namun, kenyataannya, proyek tersebut memakan waktu enam tahun dan banyak korban jiwa—penduduk desa yang kelaparan karena kurangnya tenaga untuk memanen hasil bumi.

Fungsi kanal adalah simbol politik yang kuat dan target strategis penjajah. Di awal 1840-an, dalam upaya merebut kekuasaan di Cina selama Perang Opium pertama, Inggris menduduki Zhenjiang, di persimpangan antara kanal dan Yangtze. Inggris menekan pengiriman padi dan pajak ke Beijing. Dalam hitungan pekan, Cina sudah menyerah.