Zhu Tua terlilit utang besar. Tongkangnya berkapasitas 1.200 ton, tetapi penurunan laju ekonomi global menyebabkan makelar batu bara di Jining hanya bisa menawarkan 1.100 ton. Dan, alih-alih memperoleh 70 yuan (Rp110 ribu ) per ton seperti dahulu, kini Zhu Tua hanya mendapatkan 45.
Itu berarti pendapatan kotor perjalanan ini adalah 49.500 yuan (Rp75 juta). Dia menghabiskan sekitar 24.500 yuan untuk membeli bahan bakar dan lebih dari 10.000 yuan untuk membayar pungutan di kanal. Masih ada denda untuk berbagai macam hal, dari pembuangan limbah hingga kesalahan pemakaian lampu.
Jika perjalanan mulus, dia akan mendapatkan 5.000 yuan. Tetapi, itu sebelum dipotong bunga pembayaran tongkangnya. Untuk membiayai perakitan tongkang, Zhu Tua meminjam dana 840.000 yuan dengan bunga 15 persen dari rentenir. Untuk perjalanan ini, dia harus membayar bunga 10.500 yuan. Perjalanan perdana Lu-Jining-Huo 3307 barangkali akan menguras koceknya sekitar 5.000 yuan.!break!
Tetapi Zhu Tua berani bertaruh bahwa resesi dunia mencapai titik terburuk pada 2009, saat dia mulai merakit tongkangnya, dan harga baja akan naik, menjadikan kapalnya tampak murah. “Aku akan rugi selama lima tahun, tetapi keadaan akan membaik.”
Di tengah perjalanan dua pekan itu, sebelum memasuki Yangzhou, kami melewati pepohonan dedalu dan padang berbercak bunga ungu, merah, dan kuning. “Bersama bebungaan sepekat kabut, kau memasuki Yangzhou,” tulis Li Po, seorang pujangga abad kedelapan.
Zhu Tua menggugah saya dari lamunan. “Itu Kanal Besar lama, atau sisanya,” ujarnya, menunjuk sebuah aliran air dengan lebar sekitar lima meter yang melengkung di antara sebuah pulau kecil dan bantaran kanal. Dahulu, Kanal Besar mengalir melalui serangkaian tikungan. Saat kanal diperlebar dan diluruskan, tikungan itu menjadi saluran air di tepi kanal atau danau.
“Ini sulit, kalau kau ingin tahu,” kata Zhu Tua, suara paraunya terdengar bersemangat. “Kapal melaju dari segala arah, dan kau harus memusatkan perhatian sepanjang waktu.” Generasinya adalah chuanmin terakhir yang mengenal kanal lama, dengan pusaran kecil dan besarnya yang bisa memutar tongkang—atau mengandaskannya di endapan pasir.
Malam itu kami berlabuh di pinggiran Yangzhou, Shanghai pada masanya selama dua era keemasan—dinasti Tang dan awal dinasti Qing. Saat ini, di tengah kejayaan wilayah selatan, pemerintah setempat yang memiliki dana melimpah berusaha menggalakkan pariwisata dan pembangunan perumahan dengan mempercantik dan meraup keuntungan dari kanal.
Yangzhou mengubah wilayah pinggir kanalnya menjadi taman dengan rumput tertata rapi dan pagoda beton. Namun, untuk melakukan pembenahan itu, hampir seluruh bangunan di tepi kanal harus diratakan. Selama berabad-abad Kanal Besar menjadi jantung kota; kini hanya menjadi latar belakang.
Lebih jauh di selatan, di perkotaan semacam Zhenjiang, Wuxi, dan Hangzhou, situasinya bahkan lebih buruk. Kanal masih melintasi sentra industri Hangzhou. Tetapi, kecuali di Jembatan Gongchen yang berlengkung anggun, semua bangunan yang terhubung dengan kanal telah dihancurkan.!break!
“Sesuai tradisi, ada 18 kota utama yang dilewati Kanal Besar, dan masing-masing memiliki keistimewaan,” ujar Zhou Xinhua, ketika itu menjabat sebagai wakil direktur sebuah museum Kanal Besar di Hangzhou. “Tetapi kini semuanya tampak sama: seribu orang berwajah satu.”
Pada 2005, sekelompok kecil tokoh masyarakat mengusulkan agar Kanal Besar dijadikan situs Warisan Dunia UNESCO. “Setiap generasi menginginkan generasi berikutnya paham, memandangnya sebagai monumen,” kata Zhu Bingren, pematung yang turut serta dalam penulisan proposal. “Tetapi jika kita menghapus begitu saja karya generasi sebelumnya, apakah anggapan generasi berikutnya kepada kita?”
Pada fajar hari kedelapan, kami berbelok ke timur dan mengikuti arus Yangtze. Kini kami bagaikan kurcaci di antara kapal-kapal besar yang hendak menuju laut lepas, yang cipratan airnya menggenangi geladak kami. “Yangtze bisa disamakan dengan jalan tol, dan kita mobil kecil, jadi kita harus berhati-hati dan keluar secepatnya,” kata Zhu Tua.
Tiga hari kemudian, kami mencapai tujuan kami: Pabrik Pupuk Nantong. Akibat hujan deras, dibutuhkan empat hari untuk membongkar muatan. Zhu Tua kemudian bergegas kembali menyusuri Yangtze menuju kanal.
Setelah semalam berlabuh di sebuah teluk kecil di dekat Yangzhou, semua orang bangun pada pagi buta untuk menjalankan tongkang. Zhu Kecil mengurai tali yang tebal. Zhu Tua menyalakan derek elektrik untuk mengangkat sauh. Huang beranjak dari buritan untuk menyaksikan.
Perlahan-lahan kami melawan arus, menjauh dari deretan dedalu di pesisir, mendorong buritan ke kanal. Zhu Tua beranjak dari derek ke kabin nakhoda, dengan santai menyalakan rokok selagi kami maju ke arah sebaliknya. Dia menyalakan mesin, dan diesel ganda berderu.
Tanpa menengok ke belakang, dengan gagah berani dia menjalankan kapalnya ke saluran air utama, seolah-olah mengatakan, Ini kanalku sebagaimana ini kanalmu. Tongkangnya melaju ke hulu sementara yang lainnya ke hilir. Kemudian, memecah keheningan dengan dramatis, Zhu Tua menekan gas sedalam-dalamnya.
Mesin menyalak, baling-baling berputar, dan Lu-Jining-Huo 3307, hijau mengilap di bawah kelembutan sinar matahari musim semi, bergabung dengan keramaian lalu lintas Kanal Besar.