Urat Nadi Cina Kuno

By , Selasa, 23 April 2013 | 17:57 WIB

Kanal Besar juga menjadi jalur kebudayaan. Kaisar yang berkunjung memeriksa pintu air dan tanggul mengamati dan menyerap ke­budayaan setempat. Kabarnya, dengan cara itulah Beijing memperoleh dua ciri khasnya: bebek peking dari Provinsi Shandong, dan opera peking dari Anhui dan Hubei.!break!

Rombongan teater berdoa di dermaganya, sementara para pujangga tergerak oleh keberadaannya. Pada abad kedelapan, Zhang Ji menggambarkan sebuah kuil di kanal yang “dentang loncengnya menggapai kapalku tengah malam.”

Orang kanal, biasa disebut chuanmin, mencipta-ulang kehidupan desa di atas tongkang seharga sekitar satu miliar rupiah. Layaknya petani saat musim panen, sejumlah kecil kru—biasanya hanya satu keluarga—mulai bekerja sejak pagi buta hingga malam, saat mereka mengikat kapal-kapal mereka berdampingan.

Istri Zhu Tua, Huang Xiling, kini bertugas di buritan, melahirkan kedua putranya di tongkang. “Menurut pria, kapal-kapal ini hanyalah alat untuk mencari uang, tetapi kami menjalani hidup di sini,” katanya. “Ada sangat banyak kenangan di sini.”

Putra pertama mereka, Zhu Qiang, baru-baru ini mengambil alih tongkang lama mereka. Putra lainnya, Zhu Gengpeng atau Zhu Kecil, 19 tahun, bekerja di kapal baru, dididik untuk menjadi kapten oleh ayahnya. Zhu Kecil memandu saya menerjemahkan aksen Shandong ayahnya yang sulit dimengerti dan memastikan saya tak terjungkal ke air.

Ia menghias ruangan saya dengan tulisan “Bilik Pribadi”, digantungkan di atas pintu kedap air. Zhu Kecil tidak mirip chuanmin. Dengan kumis berantakan, rambut selalu acak-acakan, dan jaket ungu berpinggiran bulu, ia mirip pemuda yang selalu mengikuti tren kota-kota provinsi Cina.

Zhu Kecil-lah yang keluar untuk berurusan dengan petugas. (Walaupun baru berumur 46, Zhu Tua buta huruf.) Saat bebas tugas, Zhu Kecil sepertinya menghabiskan waktunya untuk saling berkirim pesan singkat dengan kekasihnya.“Ini akan berat baginya karena dia bukan chuanmin,” kata Huang. “Tapi dia gadis baik. Dia pekerja keras.”

Chuanmin jarang memanjakan diri. Mereka membanting tulang dengan pemikiran menjadi keluarga kaya atau jatuh miskin. Saya menyadarinya pada akhir hari pertama saya. Ketika itu, saya tengah bercakap-cakap dengan Zheng Chengfang, rekan sekampung Zhu Tua. Kapal kami diikat berdampingan, dan saya melompat untuk mengunjunginya.!break!

Pemandangan ini indah sekali, bukan—kata saya kepada Zheng sambil mengamati kapal Zhu Tua—cat baru yang berkilauan di bawah matahari senja? “Tidak, tidak, tidak, kau tak mengerti,” sembur­nya. “Masalahnya bukan bagus atau jelek. Kami para chuanmin memerlukan kapal, atau kami tak akan hidup.”

Zheng menemani saya kembali ke tongkang kami untuk merokok bersama Zhu Tua, “Jika kau hendak menulis tentang kami, ada hal lain yang perlu kau ketahui,” kata Zheng. “Kami para chuanmin berada di bawah para pe­nguasa. Pemilik batu bara menetapkan harga, pemberi utang menetapkan bunga, dan petugas pemerintah menetapkan pungutan. Hal yang bisa kami lakukan hanyalah mengangguk dan terus bekerja.”

Seperti petani yang bekerja di sawah, mereka kesulitan mengendalikan nasib. Di pedesaan, cuacalah yang menentukan. Namun, chuanmin harus berhadapan dengan birokrat yang aneh dan situasi ekonomi yang sulit diprediksi. Bahkan ketika Zheng mencerocos, Zhu Tua justru terpaku pada berita di TV tentang Timur Tengah dan harga minyak.

“Bagaimana me­nurut­mu?” tanyanya kepada saya, memotong omongan Zheng. “Akankah harga minyak melampaui seratus dolar per barel? Lalu bagai­mana dengan baja?”