Manisnya Gula

By , Senin, 22 Juli 2013 | 11:15 WIB

Kepulauan gula pertama milik Inggris ada­lah Barbados. Pulau itu masih sepi ketika se­orang kapten Inggris menemukannya pada 14 Mei 1625. Tetapi tempat itu segera dipenuhi pabrik penggilingan, gudang perkebunan, dan gubuk. Pada tahun-tahun awal, tembakau dan kapas ditanam di situ, tetapi tebu dengan cepat mengambil alih pulau itu, seperti yang terjadi di semua tempat ketika tebu ditanam di Kepulauan Karibia. Dalam waktu satu abad, lahan menjadi gersang, sumber air menyusut.

Pada saat itu, juragan perkebunan paling ambisius telah meninggalkan Barbados, mencari pulau berikutnya untuk dieksploitasi. Pada 1720, Jamaika menjadi pulau gula paling produktif. Untuk orang Afrika, kehidupan di pulau ini bagai­kan neraka. Di seluruh Kepulauan Karibia, jutaan orang tewas di perkebunan dan pabrik pe­ngolahan atau saat mencoba melarikan diri.

Secara bertahap, sisi gelap perdagangan ini mulai tercium di Eropa. Kaum reformis me­nyerukan penghapusan perbudakan; ibu rumah tangga memboikot tebu yang ditanam oleh budak. Seorang budak dalam Candide karya Voltaire, yang kehilangan sebelah tangan dan kakinya, menjelaskan mutilasi yang dialaminya:

“Ketika bekerja di pabrik gula dan jemari kami terjerat di batu penggilingan, para mandor akan me­motong tangan kami. Ketika kami mencoba melarikan diri, mereka memotong satu kaki, kedua hal tersebut pernah saya alami. Inilah harga yang dibayar untuk gula yang Anda nikmati di Eropa.”

Namun, tidak ada yang mampu menghenti­kan ledakan gula itu. Gula bak minyak pada zaman itu. Pada 1700, rata-rata warga Inggris mengonsumsi 1,8 kilogram gula per tahun. Pada 1800, orang rata-rata menyantap 8,2 kilogram gula. Pada 1870, para pencinta gula melahap 21 kilogram per tahun. Pada 1900, mereka mengonsumsi hingga 45 kilogram per tahun.

Dalam rentang waktu 30 tahun, produksi tebu dan gula bit dunia meledak dari 2,5 juta metrik ton per tahun menjadi sekitar 12 juta. Dewasa ini, rata-rata warga Amerika mengonsumsi 35 kilogram gula buatan per tahun, atau lebih dari 95 gram gula buatan per hari.!break!

Jika Anda ke Barbados hari ini, Anda dapat menyaksikan warisan gula: pabrik yang hancur, rumah mewah lapuk bekas hotel tempat wisatawan dijejali selai dan rum. Masih ada beberapa pabrik yang memasukkan batang tebu ke dalam penggilingan, dan gula mentah dikirim melalui pipa.

Sambil berdiri di pabrik pengolahan, saat se­jumlah lelaki berhelm proyek bergegas di sekitar saya, saya membaca rambu yang ditulis tangan: permohonan kepada Tuhan untuk memberikan kearifan, perlindungan, dan kekuatan agar memperoleh panen yang melimpah.

BIANG KEROKSepertinya, setiap kali saya mempelajari suatu penyakit dan menelusuri penyebab pertama­nya, selalu saja penyebabnya mengarah ke gula.” Richard Johnson, ahli ginjal di University of Colorado, mengobrol dengan saya di kantornya.

“Mengapa sepertiga orang dewasa [di seluruh dunia] bertekanan darah tinggi, sementara pada 1900 hanya lima persen saja pengidapnya?” tanyanya. “Mengapa 153 juta orang mengidap diabetes pada 1980 dan sekarang jumlahnya mencapai 347 juta? Kami meyakini gula salah satu biang keroknya.”

Pada 1675, Eropa Barat mengalami ledak­an gula yang pertama. Saat itu, Thomas Willis, seorang dokter dan anggota pendiri Royal Society Inggris, mencatat bahwa urin manusia penderita diabetes terasa “sangat manis, seolah-olah mengandung madu atau gula.”

Dua ratus lima puluh tahun kemudian, Haven Emerson di Columbia University menunjukkan bahwa melonjaknya angka kematian secara luar biasa akibat diabetes antara 1900 dan 1920 disebabkan oleh peningkatan konsumsi gula. Pada 1960-an, hasil penelitian pakar nutrisi Inggris, John Yudkin, menemu­kan bahwa kandungan gula yang tinggi dalam makanan menyebabkan tingginya kandungan lemak dan insulin dalam darah—faktor risiko penyakit jantung dan diabetes.