Manisnya Gula

By , Senin, 22 Juli 2013 | 11:15 WIB

Namun, pesan Yudkin tenggelam oleh se­jumlah pendapat ilmuwan lain yang menyalah­kan kolesterol atas peningkatan obesitas dan penyakit jantung. Timbunan kolesterol disebabkan oleh terlalu banyaknya lemak jenuh dalam makanan. Akibatnya, kini lemak menjadi komponen pola makan warga Amerika yang lebih kecil daripada 20 tahun yang lalu.

Namun, jumlah warga Amerika yang tambun semakin besar. Penyebab utamanya, kata Johnson dan para pakar lainnya, adalah gula, khususnya fruk­tosa. Sukrosa atau gula pasir memiliki kandung­an glukosa dan fruktosa yang sama, yang ter­akhir adalah jenis gula yang biasa Anda temu­kan dalam buah. Unsur ini jugalah yang menyebabkan gula pasir terasa manis.!break!

(Sirup jagung kaya fruktosa/HFCS, juga merupakan campuran fruktosa dan glukosa—sekitar 55 persen fruktosa dan 45 persen glukosa terdapat dalam minuman ringan. Dampak sukrosa dan HFCS terhadap kesehatan tampaknya serupa.)

Johnson menjelaskan bahwa meskipun glukosa diproses oleh banyak sel di sekujur tubuh kita, fruktosa terutama diproses di hati. Jika makan gula terlalu banyak dalam bentuk yang cepat dicerna seperti minuman ringan dan permen, hati kita memecah fruktosa dan menghasilkan lemak yang disebut trigliserida.

Beberapa lemak ini tertinggal di dalam hati, dan paparan yang lama di tempat itu dapat menyebabkan hati dipenuhi lemak dan tidak berfungsi. Namun, banyak trigliserida yang didorong ke dalam darah. Seiring dengan waktu, tekanan darah naik, dan jaringan menjadi semakin resisten terhadap insulin. Pankreas bereaksi dengan memproduksi lebih banyak insulin, berusaha menjaga keseimbangan.

Akhirnya, kondisi yang dikenal sebagai sindrom metabolisme mulai menyerang, ditandai dengan obesitas, terutama di sekitar pinggang, tekanan darah tinggi, dan, jika tidak diperiksa, terjadi perubahan metabolisme lain yang dapat me­nyebab­kan diabetes tipe 2, dengan bahaya serangan jantung yang semakin besar.

Belum lama ini, American Heart Association mempertegas peringatan bahaya akibat terlalu banyak gula pada pola makan. Namun, ala­san yang dikemukakan adalah gula meng­hasilkan kalori yang tidak memberikan manfaat gizi. Menurut Johnson dan rekan-rekannya, itu tidak tepat. Terlalu banyak gula bukan hanya menghasilkan kalori yang tidak bermanfaat, melainkan juga beracun.

“Ini tidak ada hubungannya dengan kalori,” ujar ahli endokrinologi, Robert Lustig dari University of California, San Francisco. “Gula adalah racun bila dikonsumsi dalam dosis tinggi.” Johnson menyimpulkan hal yang dipahami masyarakat luas dengan cara ini: warga Amerika menjadi kegemukan karena terlalu banyak makan dan terlalu sedikit berolahraga.

Namun, mereka seperti itu karena kecanduan gula. “Kita menonton TV bukan karena acara TV sangat menarik,” katanya, “tapi, karena kita tidak memiliki tenaga untuk berolahraga, akibat ter­lalu banyak makan gula.” Solusinya? Berhenti makan gula dalam jum­lah banyak. Masalah­­nya, saat ini sangat sulit meng­­hindari gula.

Produsen meng­guna­kan gula untuk menggantikan rasa dalam makan­an tanpa lemak agar tampak lebih sehat, seperti makanan panggang bebas lemak, yang kerap me­ngandung sejumlah besar gula tambahan.!break!

PADA AWALNYA HANYALAH BUAHJika gula begitu buruknya bagi kita, me­ngapa kita begitu mendambakannya? Jawaban singkatnya adalah: suntikan gula ke dalam aliran darah merangsang pusat kesenangan otak, mirip respons tubuh terhadap heroin dan kokain.

Semua makanan lezat melakukan hal itu sampai batas tertentu—itulah sebabnya terasa lezat!—namun, gula memiliki efek yang sangat tajam. Gula boleh dikatakan membuat kita ketagihan.Me­ngapa otak kita berkembang untuk me­nang­gapi senyawa yang berpotensi meracuni tubuh?

Jawabannya, ujar Johnson, terletak jauh di masa lalu kita, ketika hasrat untuk fruktosa adalah sesuatu yang dibutuhkan nenek moyang kita untuk bertahan hidup. Sekitar 22 juta tahun yang lalu, bangsa kera me­menuhi hutan hujan lebat di Afrika. Mereka bertahan hidup dengan memakan buah di pe­pohonan, yang manis karena gula alami, yang mereka makan sepanjang tahun.

Pada suatu hari, mungkin lima juta tahun kemudian, angin dingin bertiup menyapu Taman Surga ini. Laut menyurut, puncak es meluas. Sepotong tanah menyeruak dari balik lautan, jadi jembatan yang digunakan sejumlah kera petualang untuk keluar dari Afrika. Mereka menetap di hutan hujan yang menyelimuti Eurasia. Namun, zaman pendinginan terus berlanjut, menggantikan ladang buah tropis dengan hutan gugur daun. Masa kelaparan pun terjadi. Hutan dipenuhi kera yang kelaparan.

“Pada suatu saat, mutasi terjadi pada salah seekor kera,” ujar Johnson menjelaskan. Mutasi ini menjadikan bangsa kera menjadi pengolah fruktosa yang sangat efisien. Walaupun hanya sejumlah kecil fruktosa disimpan dalam bentuk lemak, hal itu sudah cukup untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya selama berbulan-bulan, saat musim dingin melanda wilayahnya dan makanan menjadi langka.

“Mutasi adalah faktor pertahanan hidup yang sangat hebat, sehingga hanya hewan yang me­ngalaminyalah yang mampu bertahan,” ujar Johnson. “Jadi, sekarang semua spesies kera me­­miliki faktor mutasi itu, termasuk manusia. Mutasi inilah yang menyebabkan nenek moyang kita mampu melalui masa-masa sulit.”

Ini ironi besar: Hal yang dulu mampu me­nyelamatkan ras kita ternyata menjadi hal yang akhirnya dapat membunuh kita.

!break!

KOKI yang SEHATMeskipun baru berusia 11 tahun, Nick Scurlock adalah contoh sempurna untuk rata-rata warga AS dalam era gula. Saat duduk di ruang makan siang, dia tersenyum dan bertanya, “Mengapa hal yang enak justru sedemikian buruknya bagi kita?”

Beberapa tahun yang lalu, Pop-Tarts dan piza disajikan di sekolah Kirkpatrick. Sekarang, di seluruh county, menu makan siang telah mem­baik. Sekolah memiliki kebun yang di­tanami bahan pangan untuk masyarakat, lintasan jalan kaki bagi siswa dan masyarakat, serta taman bermain baru.

Ketika saya bertanya kepada Nick apa cita-citanya, dia menjawab, “Koki.” Kemudian, merenung sejenak, memandang ibunya, dan mengoreksi dirinya sendiri. “Koki yang sehat.”