Manisnya Gula

By , Senin, 22 Juli 2013 | 11:15 WIB

DI DASAR GELASMesin minuman, mesin kudapan, alat peng­gorengan. Semuanya di­seret, dibuang ke pinggir jalan, dan disatukan dengan sampah lain di belakang SD Kirkpatrick, salah satu dari beberapa sekolah dasar di Clarks­dale, Mississippi, Amerika Serikat. Hal itu terjadi tujuh tahun yang lalu, ketika pengurus sekolah per­tama kali mengenali betapa seriusnya masalah ini.

Clarksdale berada di tengah dahsyatnya krisis ke­sehatan Amerika. Tingkat obesitas, diabetes, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung yang men­cengang­kan. Menurut beberapa pakar, semua itu merupakan warisan gula, tanam­an yang di­bawa nenek moyang sebagian besar penduduk Clarksdale ke belahan bumi ini dalam belenggu perbudakan.

“Kami tahu kami harus melakukan se­suatu,” ujar kepala sekolah Kirkpatrick, Suzanne Walton, kepada saya. Walton mengajak saya menjelajahi sekolah, men­ceritakan apa saja yang telah dilakukan pengurus sekolah untuk membantu siswanya—memanggang, bukan menggoreng makanan, makan buah, bukan permen.

“Anak-anak makan apa yang diberikan kepada mereka, dan biasanya berupa makanan paling manis dan paling murah: kue, es krim, permen. Ini harus diubah. Ini soal kesehatan siswa,” ujarnya menjelaskan.

Nicholas Scurlock, misalnya, yang baru saja memulai tahun pertama­­nya di Sekolah Menengah Oakhurst. Berat badannya 61 kilo­gram saat duduk di kelas lima. “Dia benar-benar takut dengan pelajaran olahraga,” kata Kepala Sekolah Walton. “Dia mengalami ke­sulitan saat berlari, saat bernapas—anak itu meng­idap banyak penyakit.”

“Tentu saja, saya tidak berhak menilainya,” tambah Walton, sambil tertawa. “Saya sendiri ber­perawakan besar.” Saya bertemu dengan Nick di ruang makan siang, sedang duduk di samping ibunya, Warkeyie Jones. Jones bercerita bahwa dia meng­ubah kebiasaan makannya untuk membantu dirinya sendiri dan menjadi teladan bagi Nick.

“Saya biasa mengemil permen sepanjang hari, karena bekerja di balik meja. Apa lagi yang bisa saya lakukan? Tapi, sekarang, saya mengemil seleri,” ujarnya. “Kata orang, ‘Kamu melaku­kan­nya hanya karena punya pacar.” Dan saya me­negaskan, ‘Tidak, saya melakukannya karena ingin panjang umur dan menjalani hidup sehat’.”

Coba ambil segelas air, tambahkan gula sampai penuh, biarkan lima jam. Ketika kembali, akan terlihat tumpukan kristal mengendap di dasar gelas itu. Clarksdale, sebuah kota besar di salah satu county yang penduduknya tergemuk di negara bagian yang penduduknya tergemuk, di negara industri tergemuk di seluruh dunia, ibarat berada di dasar gelas minuman orang Amerika; gula mengendap dalam tubuh anak-anak seperti Nick Scurlock.

!break!

MASJID MARZIPANPada awalnya, di Pulau Nugini, tempat tebu ditanam sekitar 10.000 tahun silam, orang mencabut batang tebu dan memakannya mentah-mentah, me­ngunyah batang sampai rasa manis seakan menyengat lidah. Gula, yang dianggap semacam obat mujarab, selalu tampil dalam mitos kuno suku di Nugini.

Dalam salah satu mitos itu, manusia pertama bercinta dengan se­batang tebu, melahirkan umat manusia. Pada ritual keagamaan, para kepala suku meneguk air gula dari batok kelapa. Kini, minuman dalam upacara sakral itu digantikan dengan Coca Cola.

Gula perlahan-lahan menyebar dari pulau ke pulau, hingga akhirnya mencapai daratan Asia sekitar tahun 1000 SM. Pada 500 M, di India, gula diolah menjadi bubuk dan digunakan se­bagai obat sakit kepala, perut mulas, impotensi. Se­lama bertahun-tahun, pengolahan gula men­jadi ilmu yang dirahasiakan, diwariskan oleh pakar kepada muridnya. Pada 600 M, seni itu me­nyebar ke Persia, yang para penguasanya meng­hibur tamu mereka dengan beraneka ragam permen.

Ketika pasukan Arab menaklukkan wilayah tersebut, mereka membawa pengetahuan dan kecintaan pada gula. Gula pun muncul pada setiap tempat-tempat ibadah. “Ke mana pun mereka pergi, orang Arab membawa gula serta produknya, dan teknologi untuk mem­produksinya,” tulis Sidney Mintz dalam Sweetness and Power. “Konon, penyebaran gula mengikuti penyebaran agama Islam.”

Para khalifah Muslim membuat pertunjukan megah yang melibatkan gula. Adalah marzipan, yang begitu populer, dibuat dari campuran buah badam dan gula, dibentuk menjadi ramuan aneh untuk memamerkan kekayaan negara. Seorang penulis abad ke-15 menggambarkan sebuah masjid raksasa yang terbuat dari marzipan, yang dibangun oleh seorang khalifah. Masjid itu dikagumi, dijadikan tempat salat, dan kemudian dilahap oleh orang miskin.

Bangsa Arab menyempurnakan pengolahan gula dan mengubahnya menjadi sebuah indus­tri. Pekerjaan itu sangat sulit. Pada 1500 M, dengan terus meningkatnya permintaan akan gula, pekerjaan itu dianggap hanya cocok untuk buruh kasar. Orang yang bekerja di pabrik itu umumnya tawanan perang, orang Eropa Timur yang ditangkap saat pasukan Muslim dan Kristen bertempur.

Mungkin orang Eropa pertama yang jatuh cinta pada gula adalah tentara perang salib Inggris dan Prancis yang pergi ke timur untuk merebut Tanah Suci dari musuhnya. Tebu tidak begitu produktif jika ditanam di iklim sedang—karena memerlukan ladang beriklim tropis dengan curah hujan tinggi untuk tumbuh subur.

Akibatnya, pasar Eropa pertama dibangun me­lalui perdagangan kecil-kecilan dengan kaum Muslim, dan gula yang mencapai dunia Barat hanya dikonsumsi oleh kaum bangsawan. Namun, dengan menyebarnya Kekaisaran Utsmaniyah pada 1400-an, perdagangan dengan dunia Timur menjadi lebih sulit.!break!

Bagi bangsa­wan elite Barat, terdapat beberapa pilihan: ber­hubungan dengan produsen kecil gula di selatan Eropa, mengalahkan bangsa Turki, atau menciptakan sumber produksi gula yang baru. Anak sekolah mengenal masa itu sebagai zaman penjelajahan, pencarian wilayah dan ke­pulauan yang mengirimkan penjelajah Eropa ke seluruh dunia.

Pada kenyataannya, tujuan utama penjelajahan ini adalah perburuan lahan agar tebu dapat tumbuh dengan subur. Pada 1425, pangeran Portugis yang dikenal se­bagai Henry Sang Penjelajah mengirim tebu ke Madeira bersama sekelompok kolonis pelopor. Dalam waktu singkat, tanaman itu pun mencapai kepulauan Atlantik yang baru ditemukan—Kepulauan Tanjung Verde, Kepulauan Canary.

Pada 1493, ketika Columbus berangkat dalam pelayarannya yang kedua ke Dunia Baru, dia juga membawa tebu. Dengan demikian, lahirlah zaman gula besar, di Kepulauan Karibia. Dan, seiring berjalannya waktu, perkebunan budak menjadi pabrik pe­ngolahan besar berasap tebal di pinggiran kota-kota modern, untuk dikonsumsi massal oleh anak-anak gendut, dan orang tua tambun.

DIPERBUDAK GULAColumbus menanam tebu pertama Dunia Baru di Hispaniola. Bukan kebetulan jika lokasi ini menjadi tem­pat pemberontakan budak terbesar be­be­rapa ratus tahun kemudian. Dalam beberapa dasawarsa, penggilingan tebu meng­hiasi dataran tinggi di Jamaika dan Kuba; di situ hutan hujan diratakan, dan jumlah pen­duduk pribumi menyusut akibat penyakit atau perang atau karena diperbudak.

Bangsa Por­tugis menciptakan model yang paling efektif, membuat Brasil menjadi koloni yang meledak pesat, dengan lebih dari 100.000 budak menghasilkan berton-ton gula. Karena semakin banyak tebu yang di­tanam, harga produk itu pun jatuh. Saat harga jatuh, per­mintaan meningkat. Para ekonom menyebut­nya sebagai siklus yang saling me­nguntungkan.

Pada pertengahan abad ke-17, gula mulai ber­ubah dari bumbu mewah, menjadi bahan pokok, pertama-tama untuk kelas menengah, kemudian bagi warga miskin. Pada abad ke-18, kombinasi antara gula dan perbudakan mencapai puncaknya.

Se­tiap beberapa tahun, sebuah pulau baru—Puertoriko, Trinidad—dikolonisasi, diratakan, dan diubah menjadi perkebunan. Jika ada pen­duduk pribumi meninggal, juragan per­kebunan menggantinya dengan budak Afrika. Setelah dipanen dan digiling, tanaman itu di­tumpuk dalam palka kapal dan dibawa ke London, Amsterdam, dan Paris. Di situ, tebu dipertukarkan dengan barang jadi, yang dibawa ke pantai barat Afrika dan ditukar dengan lebih banyak budak.!break!

Sisi berdarah dari “perdagangan segitiga” ini, saat jutaan orang Afrika tewas, dikenal sebagai Middle Passage. Sebelum perdagangan budak dilarang di Inggris pada 1807, lebih dari 11 juta orang Afrika dikirim ke Dunia Baru—lebih dari setengahnya dipekerjakan di perkebunan tebu.

Menurut politikus Trinidad dan sejarawan Eric Williams, “Perbudakan bukan dilahirkan oleh rasisme; namun, rasisme adalah akibat per­­­budakan.” Dengan kata lain, orang Afrika tidak diperbudak karena mereka dianggap lebih rendah, tapi mereka dianggap lebih rendah untuk membenarkan perbudakan, yang di­perlu­kan untuk kemakmuran perdagangan gula pada masa silam.

Kepulauan gula pertama milik Inggris ada­lah Barbados. Pulau itu masih sepi ketika se­orang kapten Inggris menemukannya pada 14 Mei 1625. Tetapi tempat itu segera dipenuhi pabrik penggilingan, gudang perkebunan, dan gubuk. Pada tahun-tahun awal, tembakau dan kapas ditanam di situ, tetapi tebu dengan cepat mengambil alih pulau itu, seperti yang terjadi di semua tempat ketika tebu ditanam di Kepulauan Karibia. Dalam waktu satu abad, lahan menjadi gersang, sumber air menyusut.

Pada saat itu, juragan perkebunan paling ambisius telah meninggalkan Barbados, mencari pulau berikutnya untuk dieksploitasi. Pada 1720, Jamaika menjadi pulau gula paling produktif. Untuk orang Afrika, kehidupan di pulau ini bagai­kan neraka. Di seluruh Kepulauan Karibia, jutaan orang tewas di perkebunan dan pabrik pe­ngolahan atau saat mencoba melarikan diri.

Secara bertahap, sisi gelap perdagangan ini mulai tercium di Eropa. Kaum reformis me­nyerukan penghapusan perbudakan; ibu rumah tangga memboikot tebu yang ditanam oleh budak. Seorang budak dalam Candide karya Voltaire, yang kehilangan sebelah tangan dan kakinya, menjelaskan mutilasi yang dialaminya:

“Ketika bekerja di pabrik gula dan jemari kami terjerat di batu penggilingan, para mandor akan me­motong tangan kami. Ketika kami mencoba melarikan diri, mereka memotong satu kaki, kedua hal tersebut pernah saya alami. Inilah harga yang dibayar untuk gula yang Anda nikmati di Eropa.”

Namun, tidak ada yang mampu menghenti­kan ledakan gula itu. Gula bak minyak pada zaman itu. Pada 1700, rata-rata warga Inggris mengonsumsi 1,8 kilogram gula per tahun. Pada 1800, orang rata-rata menyantap 8,2 kilogram gula. Pada 1870, para pencinta gula melahap 21 kilogram per tahun. Pada 1900, mereka mengonsumsi hingga 45 kilogram per tahun.

Dalam rentang waktu 30 tahun, produksi tebu dan gula bit dunia meledak dari 2,5 juta metrik ton per tahun menjadi sekitar 12 juta. Dewasa ini, rata-rata warga Amerika mengonsumsi 35 kilogram gula buatan per tahun, atau lebih dari 95 gram gula buatan per hari.!break!

Jika Anda ke Barbados hari ini, Anda dapat menyaksikan warisan gula: pabrik yang hancur, rumah mewah lapuk bekas hotel tempat wisatawan dijejali selai dan rum. Masih ada beberapa pabrik yang memasukkan batang tebu ke dalam penggilingan, dan gula mentah dikirim melalui pipa.

Sambil berdiri di pabrik pengolahan, saat se­jumlah lelaki berhelm proyek bergegas di sekitar saya, saya membaca rambu yang ditulis tangan: permohonan kepada Tuhan untuk memberikan kearifan, perlindungan, dan kekuatan agar memperoleh panen yang melimpah.

BIANG KEROKSepertinya, setiap kali saya mempelajari suatu penyakit dan menelusuri penyebab pertama­nya, selalu saja penyebabnya mengarah ke gula.” Richard Johnson, ahli ginjal di University of Colorado, mengobrol dengan saya di kantornya.

“Mengapa sepertiga orang dewasa [di seluruh dunia] bertekanan darah tinggi, sementara pada 1900 hanya lima persen saja pengidapnya?” tanyanya. “Mengapa 153 juta orang mengidap diabetes pada 1980 dan sekarang jumlahnya mencapai 347 juta? Kami meyakini gula salah satu biang keroknya.”

Pada 1675, Eropa Barat mengalami ledak­an gula yang pertama. Saat itu, Thomas Willis, seorang dokter dan anggota pendiri Royal Society Inggris, mencatat bahwa urin manusia penderita diabetes terasa “sangat manis, seolah-olah mengandung madu atau gula.”

Dua ratus lima puluh tahun kemudian, Haven Emerson di Columbia University menunjukkan bahwa melonjaknya angka kematian secara luar biasa akibat diabetes antara 1900 dan 1920 disebabkan oleh peningkatan konsumsi gula. Pada 1960-an, hasil penelitian pakar nutrisi Inggris, John Yudkin, menemu­kan bahwa kandungan gula yang tinggi dalam makanan menyebabkan tingginya kandungan lemak dan insulin dalam darah—faktor risiko penyakit jantung dan diabetes.

Namun, pesan Yudkin tenggelam oleh se­jumlah pendapat ilmuwan lain yang menyalah­kan kolesterol atas peningkatan obesitas dan penyakit jantung. Timbunan kolesterol disebabkan oleh terlalu banyaknya lemak jenuh dalam makanan. Akibatnya, kini lemak menjadi komponen pola makan warga Amerika yang lebih kecil daripada 20 tahun yang lalu.

Namun, jumlah warga Amerika yang tambun semakin besar. Penyebab utamanya, kata Johnson dan para pakar lainnya, adalah gula, khususnya fruk­tosa. Sukrosa atau gula pasir memiliki kandung­an glukosa dan fruktosa yang sama, yang ter­akhir adalah jenis gula yang biasa Anda temu­kan dalam buah. Unsur ini jugalah yang menyebabkan gula pasir terasa manis.!break!

(Sirup jagung kaya fruktosa/HFCS, juga merupakan campuran fruktosa dan glukosa—sekitar 55 persen fruktosa dan 45 persen glukosa terdapat dalam minuman ringan. Dampak sukrosa dan HFCS terhadap kesehatan tampaknya serupa.)

Johnson menjelaskan bahwa meskipun glukosa diproses oleh banyak sel di sekujur tubuh kita, fruktosa terutama diproses di hati. Jika makan gula terlalu banyak dalam bentuk yang cepat dicerna seperti minuman ringan dan permen, hati kita memecah fruktosa dan menghasilkan lemak yang disebut trigliserida.

Beberapa lemak ini tertinggal di dalam hati, dan paparan yang lama di tempat itu dapat menyebabkan hati dipenuhi lemak dan tidak berfungsi. Namun, banyak trigliserida yang didorong ke dalam darah. Seiring dengan waktu, tekanan darah naik, dan jaringan menjadi semakin resisten terhadap insulin. Pankreas bereaksi dengan memproduksi lebih banyak insulin, berusaha menjaga keseimbangan.

Akhirnya, kondisi yang dikenal sebagai sindrom metabolisme mulai menyerang, ditandai dengan obesitas, terutama di sekitar pinggang, tekanan darah tinggi, dan, jika tidak diperiksa, terjadi perubahan metabolisme lain yang dapat me­nyebab­kan diabetes tipe 2, dengan bahaya serangan jantung yang semakin besar.

Belum lama ini, American Heart Association mempertegas peringatan bahaya akibat terlalu banyak gula pada pola makan. Namun, ala­san yang dikemukakan adalah gula meng­hasilkan kalori yang tidak memberikan manfaat gizi. Menurut Johnson dan rekan-rekannya, itu tidak tepat. Terlalu banyak gula bukan hanya menghasilkan kalori yang tidak bermanfaat, melainkan juga beracun.

“Ini tidak ada hubungannya dengan kalori,” ujar ahli endokrinologi, Robert Lustig dari University of California, San Francisco. “Gula adalah racun bila dikonsumsi dalam dosis tinggi.” Johnson menyimpulkan hal yang dipahami masyarakat luas dengan cara ini: warga Amerika menjadi kegemukan karena terlalu banyak makan dan terlalu sedikit berolahraga.

Namun, mereka seperti itu karena kecanduan gula. “Kita menonton TV bukan karena acara TV sangat menarik,” katanya, “tapi, karena kita tidak memiliki tenaga untuk berolahraga, akibat ter­lalu banyak makan gula.” Solusinya? Berhenti makan gula dalam jum­lah banyak. Masalah­­nya, saat ini sangat sulit meng­­hindari gula.

Produsen meng­guna­kan gula untuk menggantikan rasa dalam makan­an tanpa lemak agar tampak lebih sehat, seperti makanan panggang bebas lemak, yang kerap me­ngandung sejumlah besar gula tambahan.!break!

PADA AWALNYA HANYALAH BUAHJika gula begitu buruknya bagi kita, me­ngapa kita begitu mendambakannya? Jawaban singkatnya adalah: suntikan gula ke dalam aliran darah merangsang pusat kesenangan otak, mirip respons tubuh terhadap heroin dan kokain.

Semua makanan lezat melakukan hal itu sampai batas tertentu—itulah sebabnya terasa lezat!—namun, gula memiliki efek yang sangat tajam. Gula boleh dikatakan membuat kita ketagihan.Me­ngapa otak kita berkembang untuk me­nang­gapi senyawa yang berpotensi meracuni tubuh?

Jawabannya, ujar Johnson, terletak jauh di masa lalu kita, ketika hasrat untuk fruktosa adalah sesuatu yang dibutuhkan nenek moyang kita untuk bertahan hidup. Sekitar 22 juta tahun yang lalu, bangsa kera me­menuhi hutan hujan lebat di Afrika. Mereka bertahan hidup dengan memakan buah di pe­pohonan, yang manis karena gula alami, yang mereka makan sepanjang tahun.

Pada suatu hari, mungkin lima juta tahun kemudian, angin dingin bertiup menyapu Taman Surga ini. Laut menyurut, puncak es meluas. Sepotong tanah menyeruak dari balik lautan, jadi jembatan yang digunakan sejumlah kera petualang untuk keluar dari Afrika. Mereka menetap di hutan hujan yang menyelimuti Eurasia. Namun, zaman pendinginan terus berlanjut, menggantikan ladang buah tropis dengan hutan gugur daun. Masa kelaparan pun terjadi. Hutan dipenuhi kera yang kelaparan.

“Pada suatu saat, mutasi terjadi pada salah seekor kera,” ujar Johnson menjelaskan. Mutasi ini menjadikan bangsa kera menjadi pengolah fruktosa yang sangat efisien. Walaupun hanya sejumlah kecil fruktosa disimpan dalam bentuk lemak, hal itu sudah cukup untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya selama berbulan-bulan, saat musim dingin melanda wilayahnya dan makanan menjadi langka.

“Mutasi adalah faktor pertahanan hidup yang sangat hebat, sehingga hanya hewan yang me­ngalaminyalah yang mampu bertahan,” ujar Johnson. “Jadi, sekarang semua spesies kera me­­miliki faktor mutasi itu, termasuk manusia. Mutasi inilah yang menyebabkan nenek moyang kita mampu melalui masa-masa sulit.”

Ini ironi besar: Hal yang dulu mampu me­nyelamatkan ras kita ternyata menjadi hal yang akhirnya dapat membunuh kita.

!break!

KOKI yang SEHATMeskipun baru berusia 11 tahun, Nick Scurlock adalah contoh sempurna untuk rata-rata warga AS dalam era gula. Saat duduk di ruang makan siang, dia tersenyum dan bertanya, “Mengapa hal yang enak justru sedemikian buruknya bagi kita?”

Beberapa tahun yang lalu, Pop-Tarts dan piza disajikan di sekolah Kirkpatrick. Sekarang, di seluruh county, menu makan siang telah mem­baik. Sekolah memiliki kebun yang di­tanami bahan pangan untuk masyarakat, lintasan jalan kaki bagi siswa dan masyarakat, serta taman bermain baru.

Ketika saya bertanya kepada Nick apa cita-citanya, dia menjawab, “Koki.” Kemudian, merenung sejenak, memandang ibunya, dan mengoreksi dirinya sendiri. “Koki yang sehat.”