Realitas Semu

By , Selasa, 24 September 2013 | 13:56 WIB

Rahib-rahib itu mengikuti kami keluar ke lapangan parkir. Saat itu pagi musim gugur yang sejuk, dan suasananya sunyi di Kuil Ryongthong, kompleks kuil Buddha di lereng bukit di luar kota Kaesong, Korea Utara. Berabad-abad lalu, Kaesong adalah kota kediaman raja-raja Korea, dan Ryongthong merupakan pusat keagamaan yang ramai.

Tetapi, pagi ini kuil itu lengang. Tidak ada genta berdentang, tidak ada orang beribadat yang menyalakan dupa—hanya ada dua rahib ber­jubah abu-abu berkeliling kompleks dengan ketenangan seperti dibuat-buat. Di tengah kota, pelantang suara di jalan raya nan kosong di Kaesong me­ngumandangkan lagu pujian bagi Kim Jong-un, pemuda yang kini dipanggil warga Korea Utara sebagai Pemimpin Besar.

Saya dan fotografer David Guttenfelder me­ngunjungi kuil itu bersama pendamping kami—birokrat pemerintah yang dengan gelisah men­dampingi wartawan asing ke mana-mana. Saya mewawancarai seorang rahib secara singkat, mencatat beberapa komentar standar di buku tulis, sebagaimana mestinya.

“Agama Buddha membantu manusia berpikiran jernih, bersih, dan jujur,” kata Dri Jong-gak. Kuil Buddha di Korea Utara tampak seperti tempat yang tepat bagi wartawan untuk bertanya tentang kebebasan beribadah. Menurut para peneliti, kediktatoran satu keluarga selama enam dasawarsa di sini telah menekan agama terstruktur di sini.

Tetapi, andai saya bertanya, dan salah seorang rahib itu menyiratkan sedikit saja bahwa dia tidak puas dengan rezim ini, saya tahu dia akan dipenjarakan, menghilang ke kamp kerja paksa tersembunyi yang menurut pegiat HAM menampung antara 150.000 dan 200.000 orang. Jadi saya tidak bertanya, dan kami keluar dari kuil tak lama kemudian.

Namun, di lapangan parkir, ketika kami menggeser pintu mobil minibus, rahib-rahib itu muncul. Ada pendamping di sebelah mereka. Semuanya menatap kami, menanti. Lalu rahib yang lebih tua berbicara. “Saya tahu apa yang ingin Anda tanyakan,” kata Zang Hye-myong.

Tiba-tiba jelas bagi saya mengapa rahib-rahib itu mengikuti kami. Pendamping tidak mungkin memperkenalkan wartawan kepada pembangkang, dan Ryongthong bukanlah sarang kritik politik. Semestinya saya menyadari sejak awal bahwa itu kuil palsu totaliterisme, studio film yang tangga batu dan pintu kayu hiasnya jarang tersentuh manusia. Para rahib itu aktor dalam pertunjukan teater tentang kebebasan beragama di Korea Utara.

Kamilah penontonnya. Dengan enggan, saya pun mengajukan per­tanyaan yang mereka nantikan: “Apakah Anda bebas beribadah?” Rahib itu tampak puas. “Orang Barat me­yakini bahwa orang tidak boleh memeluk agama di negeri saya.” Dia menggeleng dengan sedih. “Itu keliru.” Katanya, dialah bukti tentang kebebasan yang dianugerahkan “Pemimpin Besar” Kim Il-sung kepada warga Korea dan yang kini dilindungi oleh cucunya Kim Jong-un.!break!

Dia menatap saya lekat-lekat untuk menegaskan kalimat pamungkasnya, seolah sudah sering berlatih menyampaikannya: “Saya ingin Anda menyebarkan kebenaran ini kepada dunia.”Tetapi, kebenaran jarang ada yang sederhana di Korea Utara. Di negara ini, realitas kehidupan sehari-harinya disembunyikan di balik wajah yang ditata cermat.

Kebanyakan pengunjung pun hanya melihat beberapa jalan yang diaspal sempurna, dan segelintir monumen yang memperingati keluarga itu—ayah, anak, dan kini cucu—yang telah mengendalikan kehidupan di Korea Utara selama 65 tahun.

Di negara ini, meliput berita sering terasa seperti rangkaian pertempuran tak berdarah yang aneh. Kadang-kadang—seperti pagi itu di Ryongthong—pemerintah menang. Tetapi, jika Anda tinggal di sana cukup lama dan menilik cukup teliti, ada kalanya Anda dapat melihat lebih banyak daripada yang Anda kira. Itu sebabnya kami kembali berulang kali.

Selama setahun ini, saya dan David men­datangi pertanian kolektif, kampanye politik, dan tempat populer Pyongyang seperti arena boling Gold Lane, tempat kaum elite ibu kota menggelindingkan bola usang buatan Amerika. Di negara yang dulu warganya selalu mengenakan pakaian menjemukan yang terinspirasi dari Soviet, kini pacar para tentara lalu-lalang di Gold Lane memakai rok pendek dan sepatu hak tinggi.

Tetapi, secara umum tetap saja kami hanya melihat hal yang diperbolehkan pendamping, serta badan pemerintah berkuasa yang mem­bayangi diam-diam. Pendamping menjemput di bandara ketika kami tiba dan mengantar kembali saat kami pulang. Setiap pagi mereka menunggu di lobi hotel, gedung raksasa relatif mewah yang dibangun untuk orang asing.