Hotel ini dilengkapi pemanas udara, listrik, bahkan akses Internet andal. Tetapi, tamu merasa tersesat di tengah berhektare-hektare marmer lecet dan berlantai-lantai kamar kosong.
Pendamping utama kami adalah seorang lelaki simpatik yang sengaja menjaga jarak, bernama Ho Yong-il. Dia menyertai kami di toko swalayan anak dan selama kampanye di Lapangan Kim Il-sung. Dia mengiringi kami ke restoran dan pabrik. Mr. Ho (saya selalu menyebutnya Mr. Ho) adalah penerjemah, pemandu, dan orang yang ditugasi untuk tak pernah membiarkan kami lepas dari pandangan. Sekiranya kami mencoba melepaskan diri darinya, pasti visa kami dicabut.
Setelah berkali-kali berusaha agar dia membuka diri, inilah yang saya ketahui tentangnya: Dulu dia kuliah bahasa inggris. Dia pernah menonton sebagian film Gone With the Wind. Dia menyukai Charles Dickens. Istrinya adalah seorang ibu rumah tangga.
Dia juga patriotik. Meskipun tertarik pada dunia yang lebih luas, ingin tahu tentang slang Amerika dan cara kerja saya dan David, rasa hormat pada tanah airnya tampak gamblang. Melewatkan waktu bersama Mr. Ho berarti melihat Korea Utara melalui mata seseorang yang meyakini kebenaran negaranya. Ia jelas senang berbicara tentang sejarah negaranya, para pemimpinnya, dan berbagai monumennya.
Tetapi, permintaan untuk melihat sesuatu yang tak terencana—mengunjungi dealer mobil atau ikut kuliah sejarah di universitas—biasanya ditanggapi oleh peringatan oleh Mr. Ho: “Itu mungkin sulit.!break!
Sulit diketahui apakah hal-hal yang kami lihat atas seizin Mr. Ho itu nyata atau tidak. Suatu hari, dia mengantar kami menemui pengantin baru kelas pekerja di apartemen tiga-kamar mereka yang baru di Pyongyang, dengan TV layar datar 42 inci. Apartemen itu terletak di salah satu kompleks rumah contoh kota itu. Dinding luarnya dilapisi oleh ubin kamar mandi berwarna biru-putih.
Menara-menara mewah di dekat Sungai Taedong ini dibangun untuk segelintir kaum elite dari Partai Buruh Korea, atau KWP, yang telah lama berkuasa. Tetapi, Mr. Ho ingin membuktikan bahwa menara itu terbuka bagi semua warga. Kami diberi tahu bahwa suami-istri itu diberi apartemen tersebut karena si istri, Mun Kang-sun, dicanangkan sebagai Pahlawan Republik karena sangat produktif di pabrik tekstil.
Mun, wanita pemalu berusia awal 30-an yang tampak jauh lebih tua, duduk diam sementara suaminya berbicara. “Semua warga di negara saya seperti satu keluarga besar, dengan para pemimpin sebagai orang tua,” kata Kim Kyok, teknisi di pabrik yang sama. Katanya, apartemen ini menunjukkan betapa rezim ini peduli pada rakyatnya.
Tetapi, sambil berbicara, dia mengopek jari dengan gugup. Ada tiga orang—dua pendamping dan seorang lelaki jangkung perengut yang tidak diperkenalkan kepada kami—yang menyimak semuanya. Di negara yang hukumnya melarang warga bertemu dengan orang asing tanpa izin resmi, tekanan pada pasangan ini terlihat amat kentara.
Meliput di Korea Utara tetaplah menyajikan pandangan yang langka ke dalam dunia yang sudah lama terasing. Dunia yang diciptakan oleh keluarga Kim. Kami kini menyadari bahwa hal-hal yang kami lihat sekilas biasanya mengungkapkan lebih banyak hal daripada tempat yang dikunjungi. Kami mendapati bahwa saat-saat tanpa penjagaan dapat diabadikan dalam foto yang diambil dari jendela bus, dan bahwa salah jalan bisa menyuguhkan detail yang banyak bercerita.
Seperti saat sopir bus kami tak sengaja membelok dari jalan Pyongyang yang terawat sempurna ke jalan sempit berdebu yang berlubang-lubang dan diapit deretan bangunan tanpa penerangan.Adalah penting untuk keluar dari negara itu—ke Korea Selatan, Inggris, atau Cina—untuk mencari satu-satunya golongan warga Korea Utara yang dapat berbicara bebas tentang realitas kehidupan totaliterisme: warga yang sudah meninggalkan negara itu.
“Saat mengenang masa lalu, saya heran mengapa kami dulu harus menjalani kehidupan menyedihkan seperti itu,” kata bekas penambang batu bara Korea Utara, yang lari ke Seoul pada 2006 karena ayahnya dicurigai secara politik. Para pengungsi ini menggambarkan sistem kasta tersembunyi: Tiga generasi dalam suatu keluarga dapat dipenjara jika salah seorang anggotanya divonis bersalah atas kejahatan politik.