Penambang batu bara ini adalah salah satu dari sekitar 25.000 orang Korea Utara yang melarikan diri ke Korea Selatan sejak Perang Korea. Mereka melarikan diri dari represi politik, negara dengan polisi yang mengendalikan semua aspek kehidupan, dan kemelaratan. PBB memperkirakan bahwa sepertiga anak Korea Utara menderita kekurangan gizi kronis.
Tetapi, jumlah pengungsi menukik sejak akhir 2011, ketika Kim Jong-un memperketat keamanan di perbatasan Cina sepanjang 1.416 kilometer yang bolong-bolong. Pada 2012, hanya sekitar 1.500 orang Korea Utara yang menempuh perjalanan berbahaya ini.!break!
Pemerintah Korea Utara tentu saja bekerja keras untuk mencitrakan suatu kehidupan yang sekolahnya berisi anak-anak yang bahagia dan makan cukup, toko penuh barang, dan seluruh rakyat setia kepada keluarga Kim. Warga tahu bahwa mereka harus berbicara kepada wartawan dengan hiperbol monoton yang ganjil, menyemburkan pujian bagi para pemimpin.
“Berkat kehangatan cinta ‘Jenderal Terhormat’ Kim Jong-un, orang desa seperti kami pun bisa datang ke sini dan menikmati mini-golf,” kata Kim Jong-hui. Dia adalah ibu rumah tangga berusia 51 tahun dari daerah timur laut yang jauh, pada suatu hari di lapangan mini-golf pertama di negara itu, di Pyongyang.
Setelah banyak pertemuan seperti itu, mudah untuk memercayai karikatur orang Korea Utara sebagai robot Stalinisme. Tantangannya adalah menemukan realitas yang jauh lebih sulit ditangkap—dan lebih melambangkan keseharian. Kadang-kadang kita harus kebetulan menemukan topik yang mendorong orang Korea Utara untuk sedikit membuka diri.
Misalnya, Gone With the Wind. Bangsa ini menggemari novel berusia 77 tahun itu, menemukan gaung dirinya dalam kisah perang saudara tersebut dan wanita cantik bengis yang bersumpah tak akan mau kelaparan lagi. Diperkirakan, lebih dari sejuta orang Korea Utara tewas atau hilang dalam Perang Korea, dan ratusan ribu lainnya meninggal pada masa kelaparan 1990-an yang mengoyak negara itu.
Pemerintah, untuk alasan yang tidak diketahui pasti, menerjemahkan buku itu pada pertengahan 1990-an, ketika Korea Utara sedang berjuang bertahan hidup tanpa bantuan Soviet dan kelaparan massal tengah melanda.
Di negara yang tidak memiliki banyak pilihan hiburan yang tak tersentuh sensor birokrat propaganda, novel ini memukau ibu kota. Hampir tidak ada orang dewasa di Pyongyang yang belum pernah membacanya. Seorang pemandu di Rumah Belajar Masyarakat Besar, sebuah lembaga pengap di Pyongyang, memandang buku itu sebagai bukti penindasan terhadap kaum perempuan Amerika.
Seorang birokrat Kaesong, lelaki congkak yang berdasi garis biru pudar, memandang buku itu sebagai kisah moralitas Marxisme. Seorang wanita yang pernikahannya bermasalah menyatakan bahwa dia menemukan ketegaran dari kegigihan berdarah dingin Scarlett O’Hara. Buku itu menjadi hiburan, pelipur lara, dan inspirasi.
Anda dapat melihat ketangguhan Korea Utara tersebut pada kaum wanita setengah baya yang duduk di tanah pada malam dingin. Wanita yang tampak nyaman dalam jaket katun murah saat menonton pertunjukan kembang api. Anda dapat melihat kerinduan ilmu di Pyongyang— yang listriknya sering padam tanpa peringatan— pada larut malam saat puluhan orang di pusat kota berdiri di bawah lampu jalan membawa koran dan tugas sekolah.
Namun, kadang-kadang kebenaran tentang kehidupan sehari-hari Korea Utara ini tersembunyi di tengah-tengah wajah artifisial itu sendiri.!break!
Misalnya soal tarian. Saya pertama kali melihatnya pada suatu Minggu malam di Pyongyang, dalam pertunjukan serba seragam dan kesetiaan yang jelas-jelas direkayasa. Hampir 500 pasangan menari dalam bayangan tiga kepalan tangan terbuat dari batu yang teracung ke langit.
Setiap kepalan menggenggam alat—palu, arit, dan pena—yang merupakan lambang KWP. Kaum lelaki mengenakan kemeja lengan pendek dan dasi. Kaum perempuan memakai gaun poliester tipis yang merupakan pakaian tradisional di sini.
Kebanyakan beraut muka hampa yang umum dijumpai di kampanye, ketika rasa bosan, pasrah, dan patriotisme biasanya bercampur. Petugas berkeliling, membentak siapa pun yang salah langkah. Tak dapat saya bayangkan orang bisa merayakan hidup dengan tarian kaku di pementasan itu.
Beberapa malam kemudian, sekitar pukul 2 pagi, saya membuka jendela kamar hotel untuk memandang kota. Jalanan lengang. Tidak ada yang aneh. Terdengar musik. Mencondongkan tubuh keluar, saya melihat lampu bercahaya di gedung kecil beberapa blok dari situ.
Ada pesta. Melalui teropong, terlihat puluhan orang berkumpul di halaman gedung itu. Botol diedarkan. Terlihat pendar jingga rokok. Banyak di antara mereka sedang menari. Tariannya sama dengan yang saya lihat beberapa hari sebelumnya, tetapi dengan lenggak-lenggok khas orang bersenang-senang.
Bersusah payah memasang telinga, saya mendengar penggal musik yang sama mengambang dalam malam. “Kita orang normal,” kata seorang mantan pemain pasar gelap Korea Utara yang kini tinggal di Seoul. “Harap jangan lupakan ini. Orang menjalani hidup, berebut pekerjaan, bertengkar. Unsur dasar kehidupan ada di sini, sama seperti di Korea Selatan atau Amerika.” Atau di mana saja.
—Tim Sullivan adalah koresponden untuk AP. Lihat foto Korea Utara yang lain di davidguttenfelder.com.