Petugas pemeriksa karcis, yang bekerja di terminal bus Kano, membelakangi sebuah ledakan. Ledakan itu menghempaskan badannya ke tanah, dan api menjilat kepalanya. Dia jatuh tertelungkup, bingung, telinganya berdenging parah. Darah mengucur dari luka pecahan bom di kakinya. Tetapi, dia langsung menyadari yang terjadi: Ada bom di dalam mobil.
Orang yang membawa VW bertingkah ganjil. Dia parkir di lapangan tanah di terminal. Saat dia dan penumpangnya dikerumuni oleh para calo tiket, dia menyatakan, “Kami belum tahu hendak ke mana.” Namun, saat pemeriksa karcis datang ke mobil itu, sang sopir mengatakan, “Kami sudah membeli karcis.” Tanpa curiga sedikit pun, sang pemeriksa karcis meninggalkan mereka.Dan kemudian—duaarrr!
Seiring meredanya denging di kuping, terdengar jeritan manusia yang kian mengeras. Dia bangkit, dan di balik asap hitam yang kian tebal, dia melihat orang berjalan terhuyung menjauhi kumpulan bus. Jasad yang terbakar terkulai di jendela bus. Di tanah sekelilingnya, sang pemeriksa karcis melihat mayat dan potongan tubuh penumpang, calo, rekan kerjanya. Juga, mayat ibu-ibu penjual singkong rebus dan ikan panggang dalam baskom plastik. Teman bergaulnya setiap hari kini “tinggal jasad yang tercerai-berai,” demikian tuturnya kepada saya.
Dia melihat kakinya sendiri, dan baru menyadari bahwa dia juga terbakar. Dengan panik ia melepas pakaiannya. Lalu dia berjalan keluar dari tempat parkir itu, satu di antara orang-orang telanjang yang tertatih-tatih keluar dari kepulan asap hitam terminal. “Saya berjalan telanjang ke rumah sakit,” katanya. Dia jatuh pingsan dalam perjalanan. Lalu seseorang, entah siapa, membawanya ke rumah sakit.
Sang pemeriksa karcis siuman di rumah sakit yang berlokasi tidak jauh dari tempat kejadian. Kemudian, dia dipindahkan ke National Orthopaedic Hospital Kano, tempat saya bertemu dengannya seminggu kemudian. (Kepala rumah sakit tidak mengizinkan saya menanyakan nama pasien tersebut.)
Bangsal yang ditempatinya, dan dua bangsal lainnya, penuh dengan korban pemboman. Luka mereka mengerikan. Yang cukup beruntung hanya mendapat wajah hangus, dengan kulit lengan dan pinggang terkelupas bersama pakaian yang terbakar. Yang kurang beruntung tidak lagi tampak seperti orang Afrika.
Lapisan daging luar di tubuh mereka terbakar. Itu membuat mereka tampak seperti beke, istilah untuk orang kulit putih. Demikianlah gurauan antarmereka. Salah seorang korban duduk di ranjang, menatap dinding sambil menahan rasa sakit, sementara perawat membungkusnya dengan perban. Dia berbalik dan memandang saya dengan ekspresi ramah, sehingga saya pun melempar senyum kepadanya. Saya mengajukan pertanyaan—langsung terasa bodohnya—“Anda baik-baik saja?”“Tidak,” jawabnya tenang, dan kembali menatap tembok.
Saat mobil itu meledak, dua kata yang terlintas di benaknya dan benak semua orang yang melihat atau mendengar ledakan di Kano, kota terbesar kedua Nigeria, adalah Boko Haram. Tidak penting bahwa mereka atau hampir semua orang, tidak tahu persis apa itu Boko Haram, atau apa perlunya kelompok itu membom terminal bus tersebut.
Menurut pemerintah Nigeria, Boko Haram adalah kelompok teroris. Awalnya, kelompok ini merupakan gerakan separatis yang dipimpin oleh seorang kiai Nigeria utara, Muhammad Yusuf, yang mengutuk kebobrokan pemerintah negara itu. “Boko Haram” adalah gabungan kata boko dari bahasa Hausa dan kata haram dari bahasa Arab, yang berarti haram mempelajari kebudayaan Barat, atau yang tidak Islami. Pada 2009, setelah Yusuf tewas—hampir bisa dipastikan dieksekusi oleh polisi Nigeria—pengikutnya bersumpah akan membalas.!break!
Setelah 12 tahun sejak peristiwa 11 September 2001, ekstremisme Islam garis keras serta konflik yang dipicunya masih tidak bisa dilenyapkan. Di samping itu, ada satu realitas lain yang tidak kalah pahitnya: Konflik ini justru menimpa Afrika, dengan skala melebihi yang terjadi sebelumnya. Di Sahel, pusat AQIM—Al-Qaidah Negeri Magribi—Boko Haram muncul sebagai kelompok baru yang paling ganas. Kelompok yang memperjuangkan pemerintahan Islam, perang terhadap umat Kristen, dan hukuman mati bagi Muslim pengkhianat ini dikaitkan dengan lebih dari 4.700 kematian di Nigeria sejak 2009.
Nigeria, dengan 170 juta penduduk, merupakan negara berpenduduk terbanyak di benua ini (satu dari enam orang Afrika adalah orang Nigeria). Negara ini juga merupakan kekuatan ekonomi terbesar kedua di Afrika sub-Sahara. Namun, banyaknya pembantaian yang dituduhkan kepada Boko Haram terbilang luar biasa.
Dalam anggapan warga negara itu, Boko Haram menjadi sesuatu yang bukan cuma kelompok teroris, bahkan lebih dari sekadar gerakan sosial. Orang Nigeria yang takut ketahuan saat menyebutnya, enggan mengucapkan nama kelompok ini secara terbuka. Mereka menggantinya dengan istilah “krisis” atau “gangguan keamanan”. Sang presiden, Goodluck Jonathan, penganut Kristen Protestan, menyatakan bahwa pemberontakan Boko Haram merupakan tanda datangnya akhir zaman.
Setelah pemboman terminal bus, saya dua kali mengunjungi Atakar, daerah perbukitan di negara bagian Kaduna, yang dilaporkan sebagai tempat terjadinya pembunuhan massal. Sebelum pergi ke sana, saya berkonsultasi dengan pejabat pemerintah terlebih dahulu. Mereka belum mengusut kejadian di Atakar, dan tidak ada rencana melakukannya, karena menurut mereka Boko Haram-lah yang menjadi dalang pembunuhan massal tersebut.