Perang Berebut Nigeria

By , Selasa, 22 Oktober 2013 | 13:51 WIB

Namun, teori ini hanya menjelaskan sebagian. Para operator bus memang orang Igbo, demikian pula dengan sebagian penumpang dan pegawai terminal yang tewas. Tetapi, ada orang Hausa atau Fulani, ada pula yang mungkin orang Kanuri, suku asal sebagian besar pendiri Boko Haram. Sebagian besar gereja di Kano terletak di Sabon Gari, tetapi di daerah ini juga banyak masjid. Ini daerah paling beragam di Kano dan selalu ada orang dari berbagai suku bangsa di Nigeria yang berjumlah sekitar 250 suku.

Satu hal yang tampaknya disepakati semua orang adalah bahwa pemerintah hanya pandai memperkeruh suasana. Misalnya, fakta jumlah korban jiwa. Jumlah sebenarnya tidak akan pernah diketahui, karena tidak ada laporan resmi tentang peristiwa itu.

Pemerintah tidak mau menyebutkan pihak yang mereka curigai sebagai pembom, selain Boko Haram. Menurut wartawan setempat, pasukan keamanan mengeluarkan mayat dari terminal secepat mungkin dan memindahkan korban selamat dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, agar tidak didatangi oleh wartawan. Pihak berwenang “tidak ingin masyarakat tahu kejadian yang sebenarnya,” kata Nasir Zango, seorang wartawan Kano.

Mengapa begitu? Soal itu juga banyak teori­nya. Untuk mencegah serangan balasan. Untuk melindungi pekerjaan. Karena mereka terbiasa berbohong. Penjelasan yang paling sering saya terima, dan paling meresahkan, adalah bahwa pasukan keamanan tidak mengusut pemboman selayaknya karena mereka tidak mampu.

Namun, pemerintah dan pers sama cepatnya menuding Boko Haram atas kekerasan apa pun di utara. Bagi pemerintah, itu mengalihkan isu dari kebohongan dan ketidakbecusan mereka. Bagi pers, itu bahan berita yang mudah. Diam-diam, banyak orang sepakat bahwa penjahat dapat bersembunyi di balik nama Boko Haram. Dampaknya bukan hanya kebingungan. “Kami mulai curiga, sepertinya ada orang yang meng­inginkan masalah ini terus berlangsung,” kata Lawan Adamu, wartawan lain di Kano.!break!

Semakin jelas bahwa kerusakan terberat yang diderita Nigeria akibat pemberontakan itu bukan bersifat fisik. Sifatnya eksistensial. Boko Haram kini bersinonim dengan kata “takut” bagi bangsa itu, kambing hitam warga Nigeria yang mencemaskan masa depan negara itu. Mencemaskan karena para pemimpin Nigeria sama sekali tidak mampu menghadapi pemberontakan ini, atau malah tidak mau menghadapinya. Atau lebih buruk lagi, bahwa pemerintah sama saja dengan Boko Haram.

Anggapan ini tidak sepenuhnya tanpa dasar. Di antara lebih dari 4.700 pembunuhan yang dikaitkan dengan Boko Haram sampai saat ini, menurut Human Rights Watch hampir setengahnya dilakukan oleh pasukan keamanan. Banyak korban jiwa itu warga sipil yang ke­betulan bernasib nahas. Kian mengganasnya kaum pemberontak, semakin buas pula reaksi pemerintah. Pada bulan April, militer menyerang desa Baga, mengklaim para milisi bersembunyi di sana. Setidaknya 200 orang tewas.

Saksi menggambarkan, tentara menembaki orang yang berlarian menyelamatkan diri dari rumah.Saya mewawancarai orang-orang di Kano yang mengaku pernah diperlakukan semena-mena, dipukul, atau bahkan ditembak oleh pasukan keamanan. Pada hari-hari terakhir di Nigeria, saya ke Abuja dan menyampaikan kisah mereka kepada seorang jenderal, salah seorang arsitek utama dalam kampanye melawan Boko Haram.

Dia tidak tergerak. Bahkan, me­ngakui terjadi pelanggaran pun tidak. Ketika saya mendesak, dia malah membentak dan meng­gebrak meja. Menurutnya, cerita seperti itu di­karang oleh wartawan yang bersimpati kepada Boko Haram, termasuk saya, dia menyiratkan. “Kami tahu sebagian wartawan sengaja me­mihak Boko Haram dalam perang ini!” kata jenderal yang tidak mau disebut namanya itu. “Saya pernah menemukan beberapa wartawan, dan mereka mengaku bahwa mereka sengaja memihak pihak tertentu. Sengaja! Sebagian berasal dari negara Barat.”

Setelah tenang, dia melanjutkan, “Begini, ini perang klandestin. Mereka bisa berada di mana saja, di mana saja!” kata jenderal itu. “Tidak hanya di utara—di seluruh negeri! [Warga Nigeria] belum juga memahami tantangan yang kami hadapi, ke­gentingan situasi ini. Mereka tidak mengerti.”

Saat dia mengatakan hal ini, saya teringat pada seorang ibu di sebuah rumah sakit di Kano. Dia sedang berjualan air di terminal bus saat terjadi pem­boman. Dia dibantu putrinya. Ketika bom mobil meledak, anak gadisnya menghilang. Dalam kegelapan, wanita itu memanggilnya. Karena tidak ada sahutan, dia mulai mencari mayat putrinya. Ketika dia tidak menemukan mayatnya, dia mencari lengan, kaki, baju, sepatu, apa saja. Tidak satu pun yang ditemukannya. Dia melapor kepada polisi tentang kejadian itu, tetapi mereka tidak peduli dan menyuruh dia pergi. Suami wanita itu mendatangi setiap rumah sakit di Kano tanpa hasil.

“Saya tidak pernah bertemu lagi dengan anak saya sejak hari itu,” katanya. Suaranya yang terbata-bata saat menceritakan hal ini diwarnai duka dan kebingungan. Tetapi, ketika dia berbicara tentang polisi, perasaan itu ditelan oleh emosi yang lain. Amarah.

—James Verini menulis tentang Terowongan Gaza pada Desember 2012. Kontributor Ed Kashi bertahun-tahun meliput industri minyak Nigeria.