Perang Berebut Nigeria

By , Selasa, 22 Oktober 2013 | 13:51 WIB

Ada berbagai cerita mengenai berdirinya Boko Haram. Yang paling sering saya dengar di Nigeria adalah versi berikut ini: Pada awal 2000-an di Maiduguri, kota di timur laut, Muhammad Ali, seorang ulama yang tidak tahan melihat kemiskinan dan kekacauan masyarakat, melakukan perjalanan hijrah, me­misahkan diri dari masyarakat.

Dia dan pe­ngikutnya menciptakan kelompok sendiri dan menjalankan syariat Islam. Setelah berselisih dengan pihak berwenang, Taliban Nigeria, demikian sebutan bagi kelompok itu, menyerang sebuah kantor polisi. Tentara mengepung kompleks mereka, dan Ali tewas.

Korban yang selamat menggabungkan diri dengan rekan Ali yang terpandang, Muhammad Yusuf. Yusuf membangun kelompok yang lebih besar, yang menurut suatu laporan merupakan “negara dalam negara, dengan kabinet dan polisi agama sendiri, serta ladang pertanian yang besar.” Dia menyebut kelompoknya Kelompok Ahlusunnah untuk Dakwah dan Jihad.

Mungkin untuk mencemooh kesalehan Yusuf, ada yang menyebut kelompok itu Boko Haram. Dalam salah satu laporan Human Right Watch, Yusuf disebut memaksa orang masuk Islam, dan mungkin memerintahkan pembunuhan atas saingannya.

Meskipun demikian, banyak yang bersimpati dengan perjuangannya di Nigeria, dan tidak semuanya muslim. “Boko Haram adalah gerakan perlawanan terhadap kezaliman pemerintah, alih-alih sebuah kelompok Islam murni,” kata seorang uskup.

Pada 2009, para pengikut Yusuf bentrok dengan pasukan keamanan. Tentara mem­berondong kelompok itu. Yusuf sudah men­duga bahwa jika dia ditangkap, dia akan dibunuh tanpa pengadilan, dan memang demikianlah yang terjadi. Anggota yang selamat menyembunyikan diri. Ada yang ke luar negeri untuk berlatih bersama kelompok militan lain, dan ada yang berkumpul kembali di Kano di bawah Abubakar Shekau, tangan kanan Yusuf.

Mereka bertekad “membebaskan diri dan agama kami dari tangan kaum kafir dan pemerintah Nigeria.” Nigeria Utara dihantam pemboman, pembakaran, dan penembakan—sasarannya kantor polisi dan kantor pemerintah, lalu gereja, masjid, sekolah, dan universitas—serta pembunuhan pejabat, politikus, ulama, dan lain-lain. Markas polisi federal di Abuja diserang bom bunuh diri, lalu kompleks PBB.

Pada 20 Januari 2012, terjadi serangan maut di Kano. Beberapa kelompok orang bersenjata menyerang kantor polisi dan kantor State Security Service. Perkiraan resmi korban jiwa adalah 185 orang. Tetapi, menurut warga Kano yang saya ajak bicara, jumlah sebenarnya jauh lebih besar. Saya juga mendengar bahwa beberapa orang menyabung nyawa dengan berkerumun di luar kantor polisi dan me­nyemangati para penyerang, saking bencinya warga terhadap pihak berwenang di Kano.!break!

Kebencian yang mendorong para warga itu terangkum dalam ucapan favorit Ken Saro-Wiwa, seorang aktivis yang dieksekusi negara pada 1995 karena tuduhan palsu: “Hidup sehari di Nigeria berarti mati berkali-kali.” Bahkan, kegiatan sederhana pun dapat menguras energi.

Nigeria pernah mengalami satu pe­rang saudara, enam kudeta militer, dua pem­bunuh­an kepala negara, dan setidaknya tiga pem­berontakan domestik yang melumpuhkan. Agar tetap waras, warga Nigeria punya sudut pandang yang rumit tentang pemberontakan ini. Mereka mengutuk Boko Haram dan melihat kemunafikannya.

Seperti kata seorang tentara yang beragama Islam saat sedang menjaga ge­reja pada hari Minggu Palma, “Kata mereka, pendidikan Barat itu salah. Tetapi, buku yang mereka baca, bagaimana cara membuatnya? Pena yang mereka gunakan, bagaimana cara membuatnya? Senjata yang mereka miliki itu, di mana dibuatnya?” Tetapi, mereka juga diam-diam menghormati Boko Haram. Mereka juga merasakan kekecewaan yang dapat menyebabkan orang angkat senjata melawan pemerintah.

Pengaruh ganjil pemberontakan itu pada kejiwaan bangsa Nigeria mulai tampak saat saya mendalami peristiwa pemboman di terminal bus itu. Tidak seperti serangan khas Boko Haram, pemboman ini tidak pandang bulu, ber­tujuan membunuh sebanyak-banyaknya, tanpa memandang siapa korbannya. Tetapi, ada banyak teori tentang maksud serangan itu. Kebanyakan orang Igbo beragama Kristen, dan merekalah yang mengoperasikan jalur bus tersebut. Jadi, menurut teori yang paling populer, pemboman itu bertujuan menyerang orang Igbo Kristen.