Masalahnya, kasuari sulit dihitung. Satwa ini hidup menyendiri, di dalam hutan lebat. Upaya untuk memperkirakan jumlahnya berdasarkan DNA yang diambil dari kotoran belum dipublikasikan. Jadi, tidak jelas apakah populasinya naik atau turun—atau seberapa dekat burung ini dengan jurang kepunahan.
Yang jelas adalah bahwa kasuari menghadapi banyak masalah. Sebagaimana kasuari kadang-kadang membunuh anjing, anjing juga kadang-kadang membunuh kasuari—terutama burung muda. Babi liar dapat merusak sarang burung kasuari, dan kasuari juga kadang mati kena perangkap babi. Bahaya lain adalah lalu lintas.
Saya melihat salah satu korban, tergeletak di belakang mobil pikap milik Dinas Margasatwa dan Taman Queensland; polisi hutan langsung mengambilnya begitu kecelakaan itu dilaporkan. Kasuari itu betina dan masih muda, baru mulai mencapai kematangan seksual. Balungnya kecil, dan dia masih memiliki sedikit bulu cokelat. Dasar bak truk itu berlumuran darah.
Saya mengulurkan tangan menyentuhnya. Kulit di lehernya lembut seperti beludru. Ternyata jenggernya tidak keras seperti yang saya kira, tetapi kenyal. Dilihat dari dekat, kakinya tampak sangat besar.
Sang polisi hutan terlihat meradang. Dia berbicara panjang lebar mengenai politik kasuari di tempat itu. Dia menjelaskan bahwa sebagian ingin memagari jalan dan membangun terowongan bawah tanah sebagai tempat menyeberang kasuari, sementara sebagian yang lain berpendapat hal itu tidak akan berhasil, dan memperjuangkan penurunan batas kecepatan dan pemasangan lebih banyak rambu penyeberangan-kasuari. "Sudah ada tiga kasuari yang menjadi korban dalam waktu enam minggu ini," katanya.
Hutan itu juga dilintasi banyak jalan raya. Dengan semakin terkotak-kotaknya hutan itu, semakin sulit bagi kasuari muda untuk mencari wilayahnya sendiri. Karena burung ini sangat teritorial, perlu sejumlah habitat yang sesuai untuk mempertahankan populasinya. Hal itu membawa saya ke masalah besar yang lain: pembangunan. Di Mission Beach kompleks seperti Oasis umum ditemui. Kompleks ini memiliki jalan beraspal, lengkap dengan lampu jalan. Akan tetapi, belum ada rumah yang dibangun: hanya kaveling kosong dengan rumput yang dipotong rapi, berhias tanda Dijual.
Dad masih belum mengetahui bahwa hutannya sudah dijual orang, yang akan membabatnya untuk membangun rumah. Beberapa penduduk setempat mencoba mencegah hal ini—mereka patungan membeli tanah untuk membuat cagar alam, menanam pohon hutan hujan di lahan terbuka, dan melobi para petani agar tidak membabat hutan.
Mereka berharap dapat menghubungkan bagian hutan yang terpetak-petak, sehingga kasuari muda yang sedang mencari wilayah dapat berpindah dari satu bagian ke bagian yang lain tanpa harus melintasi lahan terbuka perkebunan tebu, atau jalan raya besar. Kasuari tidak akan dapat bertahan tanpa keberadaan hutan hujan tersebut.
Saya ingin menyampaikan gambaran terakhir kepada Anda. Saya berada di Daintree, bagian paling perawan dari hutan yang tersisa. Saya berdiri di dekat sebatang pohon ara, berharap dapat melihat Crinklecut—seekor jantan muda—dan dua anaknya. Wilayah Crinklecut tumpang tindih dengan Big Bertha, seekor betina yang sangat besar dan elok yang mungkin saja induk anak-anaknya.
Di sini juga tinggal satu keluarga manusia, dengan tiga anak, ditambah seekor katak pohon hijau raksasa yang pindah ke dapur mereka dan ditaruh di wajan. Tiba-tiba anak yang bungsu berlari dari balik pepohonan dan memberi tahu saya bahwa Crinklecut dan anak-anaknya sedang dalam perjalanan ke sungai di dekat situ. Saat keluarga kasuari itu terlihat, Crinklecut menegakkan badan dan menatap saya. Kemudian dia dan anak-anaknya berjalan menjauh, ditelan senja.
—Artikel Olivia Judson mengenai Gunung Erebus Antartika dimuat di edisi Juli 2012. Foto Christian Ziegler di halaman 110-111 meraih hadiah pertama tema Alam World Press Photo 2013.