Kebenaran soal Lubang Hitam

By , Kamis, 20 Februari 2014 | 14:26 WIB

Bintang kita, Matahari, akan mati diam-diam. Massa Matahari hanya rata-rata untuk ukuran bintang. Setelah bahan bakar hidrogennya habis terbakar sekitar lima miliar tahun lagi, lapisan-lapisan luarnya akan terlepas perlahan. Bagian inti­nya akhirnya akan memadat, menjadi apa yang disebut sebagai katai putih.

Untuk bintang yang besarnya sepuluh kali lipat Matahari, kematiannya jauh lebih dramatis. Lapis­an-lapisan luarnya terlontar ke ruang angkasa dalam ledakan supernova. Sementara itu, inti­nya dipadatkan oleh gravitasi menjadi bintang neu­tron, bola berputar yang berdiameter sekitar 20 kilo­meter. Pecahan bintang neutron sebesar kubus gula memiliki berat satu miliar ton di Bumi; tarikan gravitasi bintang neutron begitu besar, sehingga andai ada permen jatuh di sana, benturannya akan menghasilkan energi sebesar bom atom.

Tetapi, ini belum apa-apa ketimbang sakratul­maut bintang yang massanya 20 kali lipat Matahari. Jika bom atom sebesar Hiroshima diledakkan setiap milidetik sepanjang usia alam semesta, itu masih kalah jauh dari jumlah energi yang dilepaskan dalam saat-saat terakhir keruntuhan bintang raksasa. Inti bintang itu terjun ke dalam. Suhunya mencapai 55 miliar derajat Celsius. Gaya gravitasinya dahsyat, tak terhentikan. Bongkah-bongkah besi yang lebih besar daripada Gunung Everest dipadatkan seketika menjadi sekecil butir pasir. Atom tercerai-berai menjadi elektron, proton, neutron. Benda-benda kecil itu dilumat menjadi quark, lepton, dan gluon. Dan seterusnya, makin lama makin kecil, makin padat, hingga...

Hingga entah bagaimana. Saat berusaha men­jelaskan fenomena penting ini, dua teori utama yang mengatur cara kerja alam semesta—relativitas umum dan mekanika kuantum—berantakan, ibarat jarum indikator pesawat terbang yang berputar-putar liar saat pesawat jatuh spiral.

Bintang itu menjadi lubang hitam.

Yang menjadikan lubang hitam jurang ter­gelap di alam semesta adalah kecepatan yang diperlukan untuk lolos dari tarikan gravitasinya. Untuk mengatasi cengkeraman Bumi, kita harus mencapai 11 kilometer per detik. Ini cepat—enam kali lipat kecepatan peluru—tetapi roket buat­an manusia sudah berhasil mencapai ke­cepatan ini sejak 1959. Batas kecepatan uni­versal adalah 299.792 kilometer per detik, yaitu kecepatan cahaya. Namun, itu pun belum cukup untuk mengalahkan tarikan lubang hitam.

Maka, apa pun yang berada di dalam lubang hitam, berkas cahaya sekalipun, tidak dapat keluar. Dan akibat efek aneh gravitasi ekstrem, kita tidak mungkin bisa mengintip ke dalam. Garis pemisah antara di dalam dan di luar lu­bang hitam disebut 'cakrawala peristiwa'. Apa pun yang melewati cakrawala itu—bintang, planet, manusia—hilang selamanya.!break!

Albert Einstein, salah seorang pemikir pa­ling imajinatif dalam sejarah fisika, tidak per­nah meyakini bahwa lubang hitam itu nyata. Me­­nurut rumus-rumusnya, lubang hitam mung­kin saja ada, tetapi dia merasa bahwa alam tidak mungkin mengizinkan keberadaan benda semacam itu. Dia tidak dapat menerima bahwa gravitasi dapat mengalahkan gaya yang semestinya lebih kuat—elektromagnetik, nuklir—dan menyebabkan inti suatu bintang raksasa hilang dari alam semesta.

Einstein tidaklah sendirian. Pada paruh per­­tama abad ke-20, sebagian besar fisikawan me­­nepiskan kemungkinan adanya benda yang cukup padat untuk mencekik cahaya.

Namun, para ilmuwan sudah bertanya-tanya tentang kemungkinan tersebut bahkan sejak abad ke-18. Filsuf Inggris John Michell me­­nyebutkan konsep itu dalam laporan ke­pada Royal Society of London pada 1783. Tidak ada yang menyebut benda aneh superpadat ini lubang hitam—benda ini disebut sebagai bintang beku, bintang gelap, bintang runtuh, atau singularitas Schwarzschild. Nama "lubang hitam" pertama kali digunakan pada 1967, dalam ceramah fisikawan Amerika John Wheeler di Columbia University di New York.

Pada kira-kira waktu yang sama, ada per­geseran radikal dalam pemikiran lubang hitam, terutama karena penciptaan cara-cara baru melihat ruang angkasa. Sejak awal masa, kita terbatasi pada spektrum cahaya tampak. Namun, pada 1960-an, teleskop sinar-x dan gelombang radio mulai digunakan secara luas. Dengan alat ini, astronom dapat mengumpulkan cahaya dalam panjang gelombang yang me­nembus debu antarbintang, dan melihat "tulang interior" galaksi.

Yang mengejutkan, hal yang ditemukan ilmu­wan adalah bahwa di pusat hampir semua galaksi—dan ada lebih dari 100 miliar galaksi di alam semesta—terdapat kumpulan ramai bin­tang, gas, dan debu. Di pusat kumpulan semrawut ini, di hampir setiap galaksi yang di­lihat, termasuk Bima Sakti kita sendiri, ter­dapat sebuah benda yang begitu berat dan be­gitu padat, dengan tarikan gravitasi yang amat ganas, sehingga bagaimana pun cara meng­ukurnya, hanya ada satu penjelasan yang mungkin: Benda itu lubang hitam.

Lubang-lubang tersebut berukuran raksasa. Yang berada di pusat Bima Sakti, beratnya 4,3 juta kali Matahari. Galaksi tetangga, Andro­meda, ditempati lubang hitam dengan massa setara dengan 100 juta Matahari. Galaksi-ga­lak­si lain diduga berisi lubang hitam semiliar Matahari, dan beberapa bahkan memiliki mon­ster sepuluh-miliar-Matahari. Lubang hitam tidak mengawali hidupnya dengan massa sebesar ini. Beratnya bertambah setelah makan, mirip manusia.