Batu Bara Bersih? Mungkinkah?

By , Kamis, 20 Maret 2014 | 13:43 WIB

Menurut para pemerhati lingkungan, batu bara bersih hanya mitos. Itu sudah jelas: Lihat saja West Virginia. Puncak-puncak Pe­gunungan Appalachia di sana sudah dipangkas menjadi lembah untuk mencapai batu bara di bawahnya, sementara sungai mengalir jingga dengan air asam. Atau lihat pusat kota Beijing. Kini, udara di sana biasanya lebih pekat daripada ruang merokok di bandara. Pencemaran udara di Cina, yang sebagian besar akibat pembakaran batu bara, dituding telah menyebabkan sejuta kematian prematur per tahun.

Ini bukanlah masalah baru. Pada akhir abad ke-17, ketika batu bara dari Wales dan Northumberland menyulut api pertama revolusi industri di Britania, penulis Inggris John Evelyn sudah mengeluhkan “bau dan kegelapan” asap yang menyelimuti London. Tiga abad ke­mudian, pada bulan Desember 1952, asbut tebal yang penuh batu bara turun di London dan menetap selama akhir pekan yang panjang, memicu epidemi penyakit pernapasan yang menewaskan hingga 12.000 jiwa pada bulan-bulan selanjutnya. Kota-kota di Amerika juga me­nanggung trauma sendiri.

Pada suatu akhir pekan Oktober 1948, di kota kecil Donora di Pennsylvania, penonton di pertandingan football SMA menyadari bahwa mereka tidak bisa melihat pemain ataupun bola: Asbut dari pabrik peleburan seng berbahan bakar batu bara di dekat sana menggelapkan lapangan. Pada hari-hari berikutnya, 20 orang meninggal, dan 6.000 orang—hampir setengah kota itu—sakit.

Kalau menggunakan eufemisme para eko­nom, batu bara itu penuh “eksternalitas”—biaya berat yang ditanggung masyarakat. Batu bara adalah sumber energi kita yang paling kotor dan mematikan. Namun, berdasarkan berbagai perhitungan, batu bara juga paling murah, dan kita bergantung padanya. Jadi, per­tanyaan penting sekarang ini bukan dapat­kah batu bara menjadi “bersih”. Itu tak mungkin. Pertanyaannya, dapatkah batu bara jadi cukup bersih—tak hanya untuk mencegah bencana lokal, tetapi juga untuk mengatasi perubahan radikal dalam iklim global.

Pada Juni lalu, pada hari yang panas dan gerah di Washington, D.C., Presiden Barack Obama menyampaikan pidato tentang iklim yang selama ini ditakuti industri daya listrik dan batu bara Amerika—dan yang diharapkan pemerhati lingkungan—sejak pelantikan per­tamanya, pada 2009. Berbicara dengan ber­kemeja lengan pendek dan sesekali menyeka kening, Obama mengumumkan bahwa sebelum Juni 2014, Environmental Protection Agency (EPA) akan menyusun peraturan baru yang akan “mengakhiri pembuangan pencemaran karbon tak terbatas dari pembangkit listrik kita.” Peraturan itu akan dikeluarkan di bawah Clean Air Act, undang-undang yang sebagian terilhami oleh bencana di Donora. Undang-undang itu sudah digunakan untuk secara drastis mengurangi emisi sulfur dioksida, oksida nitrogen, dan partikel jelaga dari pembangkit listrik Amerika. Tetapi, karbon dioksida, pe­nyebab utama pemanasan global, merupakan masalah pada skala yang berbeda sama sekali.

Pada 2012, dunia mencetak rekor emisi se­besar 34,5 miliar ton karbon dioksida dari bahan bakar fosil. Batu bara menjadi kontributor ter­besarnya. Akhir-akhir ini, gas alam murah me­ngurangi permintaan batu bara di AS, te­tapi di semua tempat lain, terutama di Cina, per­mintaan tetap melonjak. Selama dua dasawarsa ke depan, beberapa ratus juta orang di seluruh dunia akan mendapat listrik pertama kalinya, dan jika pola saat ini berlanjut, sebagian besar akan menggunakan listrik yang dihasilkan oleh batu bara. Desakan paling agresif yang me­nuntut sumber energi alternatif dan peng­hematan energi sekalipun tidak akan mampu menggantikan batu bara—setidaknya, tidak dalam waktu dekat.

Secepat apa Arktika meleleh, setinggi apa laut naik, sepanas apa gelombang panas—semua unsur masa depan kita yang tak pasti ini tergantung pada tindakan dunia tentang batu bara, khususnya AS dan Cina. Apakah kita akan terus membakarnya dan membuang karbon ke udara tanpa diredam? Atau akankah kita menemukan cara untuk menangkap karbon, seperti sulfur dan nitrogen dari bahan bakar fosil, dan menyimpannya di bawah tanah?

“Kita perlu sekuat tenaga menuntut ener­gi terbarukan dan efisiensi energi, dan pe­ngurangan emisi karbon dari batu bara,” kata peneliti Stanford University, Sally Benson, yang berspesialisasi di bidang penyimpanan karbon.!break!

PLTB Mountaineer milik American Electric Power, di Sungai Ohio di New Haven, West Virginia, mengisap lebih dari 450.000 kilogram batu bara Appalachia per jam. Batu baranya datang langsung dari tanah, melalui tongkang atau sabuk konveyor dari tambang di seberang jalan. Setelah masuk ke PLTB, bongkah-bongkah sebesar bola golf itu dihancurkan menjadi debu sehalus bedak, lalu disemburkan ke dalam kotak api pada salah satu boiler terbesar di dunia. Ketiga turbin bertenaga uap di PLTB itu memasok listrik 24 jam sehari bagi 1,3 juta pelanggan di tujuh negara bagian. Pelanggan itu membayar sekitar Rp11.000 per kWh, atau sekitar Rp1,2 juta per bulan, untuk mendayai lemari es, mesin cuci, mesin pengering, televisi layar datar, dan ponsel cerdas, serta lampu, di kebanyakan rumah tangga. Dan, seperti yang sering dikatakan Charlie Powell, manajer PLTB Mountaineer, para pemerhati lingkungan pun perlu lampu.

Namun, pelanggan tidak membayar satu sen pun, tidak pula American Electric Power (AEP), untuk hak memuntahkan 6-7 juta ton karbon dioksida ke atmosfer setiap tahun dari cerobong setinggi 305 meter di Mountaineer. Itulah masalahnya. Karbon dapat dibuang tanpa batas karena di kebanyakan tempat, melakukan itu tidak perlu biaya soalnya saat ini di AS belum ada undang-undang yang melarangnya. Tetapi, pada tahun 2009 tanda-tanda undang-undang itu sudah terlihat; DPR AS sudah mengesahkan RUU-nya musim panas itu. Yang patut dipuji, AEP memutuskan untuk mendahului UU itu.

Pada Oktober 2009, Mountaineer memulai eksperimen rintisan dalam penangkapan karbon. Eksperimen itu dipimpin oleh Powell. Ayahnya bekerja selama tiga puluh tahun di PLTB di Virginia; Powell sendiri menjalani kariernya di Mountaineer. Pekerjaannya sederhana, katanya: “Kami membakar batu bara, membuat uap, dan memutar turbin.” Namun, dalam eksperimen tersebut, prosesnya menjadi lebih rumit. AEP menambahkan pabrik kimia di belakang PLTB-nya. Pabrik itu mendinginkan sekitar 1,5 persen asap Mountaineer dan me­lewatkannya dalam amonium karbonat, yang me­nyerap CO₂. Lalu, CO₂ itu dipampatkan secara drastis dan disuntikkan ke dalam for­masi batu pasir berpori-pori, yang terletak 1,5 kilometer lebih di bawah tepi Sungai Ohio.

Sistem itu berhasil. Selama lebih dari dua tahun berikutnya AEP menangkap dan me­nyimpan lebih dari 37.000 ton karbon dioksida murni. CO₂ itu masih di bawah tanah, bukan di atmosfer. Itu hanya seperempat persen dari gas yang keluar dari cerobong, tetapi semestinya itu baru permulaan. AEP berencana memperbesar skala proyek itu untuk menangkap seperempat emisi PLTB, atau 1,5 juta CO₂ per tahun. Perusahaan itu sudah sepakat untuk menanam modal Rp3,67 triliun, Department of Energy (DOE) AS sudah sepakat memberi dana dengan jumlah setara. Tetapi, kesepakatan ini tergantung pada dapat-tidaknya AEP mem­peroleh balik modal. Dan setelah undang-undang perubahan iklim gagal di Senat, badan pengatur utilitas negara bagian menyatakan bahwa perusahaan itu tidak boleh membebani pelanggan dengan biaya untuk teknologi yang belum diwajibkan undang-undang.

Pada musim semi 2011, AEP mengakhiri proyek itu. Labirin pipa, pompa, dan tangki pun dibongkar. Meski kecil, sistem Mountaineer adalah sistem pertama di dunia yang menangkap dan menyimpan karbon dioksida langsung dari PLTB, dan sistem itu telah menarik kedatangan ratusan pengunjung penasaran dari seluruh dunia, termasuk Cina dan India. “Proses ini sempat berhasil, dan kami mendidik banyak orang,” kata Powell. “Tetapi, astaga, perlu te­robosan lain agar proses ini ekonomis bagi kami.” Terutama terobosan peraturan—seperti yang dijanjikan Obama musim panas lalu—tetapi terobosan teknis juga pasti bermanfaat.!break!