Batu Bara Bersih? Mungkinkah?

By , Kamis, 20 Maret 2014 | 13:43 WIB

Menangkap karbon dioksida dan me­nyimpannya di bawah tanah dalam formasi batu berpori, bagi para pengkritiknya, hanyalah perbaikan tambal-sulam. Namun, DOE telah membelanjakan sekitar Rp72 triliun selama tiga dasawarsa terakhir untuk meneliti dan meng­uji teknologi ini. Dan, selama empat dasa­warsa lebih, industri minyak menyuntikkan karbon dioksida pampat ke dalam ladang minyak yang sudah habis, menggunakannya untuk memancing minyak terperangkap ke permukaan. Di Great Plains di Kanada, praktik ini menjadi salah satu operasi penyimpanan-karbon bawah tanah terbesar di dunia.

Sejak 2000, lebih dari 20 juta ton karbon dioksida telah ditangkap dari sebuah PLTB di North Dakota yang mengubah batu bara menjadi gas alam sintetis, lalu mengirimnya lewat pipa sejauh 320 kilometer ke utara, ke Saskatchewan. Di sana, perusahaan minyak bumi Kanada, Cenovus Energy, mendorong CO₂ jauh ke dalam ladang Weyburn dan Midale, wilayah minyak luas yang produktif pada 1960-an. Dua-tiga barel minyak dilarutkan keluar dari batu reservoir dengan setiap ton CO₂, yang kemudian disuntikkan kembali ke dalam reservoir untuk disimpan. Di sana, dia mendekam, hampir satu setengah kilometer di bawah tanah, terperangkap di bawah lapisan batu serpih dan garam yang tak bisa ditembus.

Sampai berapa lama? Beberapa cadangan alami karbon dioksida berdiam selama jutaan tahun—bahkan CO₂ di beberapa cadangan itu telah ditambang dan dijual ke perusahaan minyak. Tetapi, kebocoran CO₂ yang besar dan tiba-tiba dapat berakibat fatal bagi manusia dan hewan, khususnya jika gas itu terkumpul dan terkonsentrasi di ruang tertutup. Sejauh ini belum pernah terekam terjadi kebocoran besar di Weyburn, yang dipantau oleh International Energy Agency, atau di mana pun di segelintir tempat penyimpanan besar di seluruh dunia. Para ilmuwan menilai risiko kebocoran yang menimbulkan malapetaka sangatlah rendah.

Mereka lebih mencemaskan kebocoran yang kecil tetapi terus-menerus, yang menegasikan tujuan kegiatan itu. Ahli geofisika Mark Zoback dan Steven Gorelick dari Stanford Uni­versity berpendapat bahwa di tempat-tempat yang batuannya rapuh dan patah—yang menurut mereka berada di hampir semua tempat—penyuntikan karbon dioksida dapat me­micu gempa bumi kecil. Meskipun tidak berbahaya dalam segi lain, hal ini dapat meretakkan lapisan batu serpih dan menyebabkan CO₂ bocor.

Zoback dan Gorelick memandang pe­nyimpanan karbon sebagai “strategi yang sangat mahal dan berisiko.” Namun, mereka pun setuju bahwa karbon dapat disimpan secara efektif di beberapa tempat—seperti ladang gas Sleipner di Laut Utara. Di sana, selama 17 tahun terakhir, perusahaan minyak Norwegia, Statoil, menyuntikkan sekitar sejuta ton CO₂ per tahun ke dalam lapisan batu pasir yang jenuh air garam, hampir satu kilometer di bawah dasar laut. Ruang di dalam formasi itu begitu banyak, sehingga semua CO₂ itu tidak meningkatkan tekanan internal, dan tidak ada tanda-tanda gempa atau bocor.

Para peneliti Eropa memperkirakan bahwa emisi pembangkit listrik Eropa selama seabad dapat disimpan di bawah Laut Utara. Menurut DOE, “akuifer air garam dalam” serupa di bawah AS dapat menyimpan emisi seribu tahun dari pembangkit listrik Amerika.

Jenis-jenis batuan lain juga berpotensi sebagai lemari karbon. Dalam eksperimen yang sedang berlangsung di Islandia dan Daerah Aliran Sungai Columbia di Negara Bagian Washington, misalnya, karbon dioksida disuntikkan dalam jumlah kecil-kecil ke batuan basal vulkanis. Di sana, gas diharapkan bereaksi dengan kalsium dan magnesium, membentuk batu karbonat—sehingga menghilangkan risiko gas bocor.

CO₂ yang disuntikkan Statoil di Sleipner tidak berasal dari pembakaran, melainkan zat pengotor dalam gas alam yang dipompa per­usahaan itu dari dasar laut. Sebelum dapat mengirimkan gas ke pelanggan, Stat­oil harus memisahkan CO₂ dari gas itu, dahulu perusahaan langsung membuangnya ke atmosfer. Namun, pada 1991 Norwegia memberlakukan pajak karbon, yang kini sekitar Rp715 ribu per ton. Statoil hanya mengeluarkan Rp180 ribu per ton untuk menyuntikkan kembali CO₂ ke bawah dasar laut. Jadi, di Sleipner, menyimpan karbon jauh lebih murah daripada membuangnya, dan itulah sebabnya Statoil berinvestasi dalam teknologi ini. Operasi gas alamnya tetap sangat menguntungkan.

DI PLTB, situasinya berbeda. CO₂ adalah bagian dari gas buang yang rumit, dan per­usahaan listrik tidak memiliki insentif finansial untuk menangkapnya. Seperti yang dipelajari para insinyur di Mountaineer, penangkapan adalah bagian termahal dalam proyek pe­nangkapan dan penyimpanan.

Di Mountaineer, sistem penyerapan CO₂ ini berukuran sebesar gedung apartemen sepuluh lantai dan menempati lahan 5,6 hektare—itu pun baru menangkap sebagian kecil emisi karbon PLTB. Zat penyerap harus dipanaskan untuk membebaskan CO₂, yang lalu harus sangat dipampatkan untuk penyimpanan. Langkah-langkah padat energi ini menciptakan persoalan, insinyur menyebutnya sebagai “muatan benalu”, yang dapat memakan hingga 30 persen hasil energi total PLTB yang menangkap semua karbonnya.

Salah satu cara mengurangi kerugian tinggi itu adalah menggasifikasi batu bara sebelum membakarnya. Gasifikasi dapat mengefisienkan pembangkitan listrik dan memungkinkan karbon dioksida dipisahkan lebih mudah dan murah. PLTB baru yang sedang dibangun di Kemper County, Mississippi, yang dirancang dengan memperhitungkan penangkapan karbon, akan menggasifikasi batu bara.

PLTB yang sudah ada, yang biasanya dirancang untuk membakar batu bara bubuk, memerlukan pendekatan berbeda. Salah satu ide adalah membakar batu bara dalam oksigen murni, alih-alih udara. Itu menghasilkan gas buang lebih sederhana, sehingga lebih mudah menarik CO₂.!break!