Batu Bara Bersih? Mungkinkah?

By , Kamis, 20 Maret 2014 | 13:43 WIB

Di West Virginia akhir-akhir ini, tambang-tambang batu bara berusia seabad tutup sementara karena pembangkit listrik Amerika beralih ke gas alam. Dengan harga bensin di AS mendekati rekor terendah, batu bara mungkin terasa usang, dan menanam modal di teknologi lanjut batu bara mungkin tampak keliru.

Namun, situasi di Yulin, Cina, berbeda. Yulin terletak di tepi timur Cekungan Ordos di Mongolia Dalam, 800 kilometer yang berdebu ke arah pedalaman dari Beijing. Bukit pasir berwarna jingga karat mengelilingi rimba gedung apartemen baru yang tak berpenghuni, menumpahi tembok pembatas jalan raya, dan mengirim awan pasir di sepanjang jalan. Yulin dan tiga juta warganya kekurangan hujan dan keteduhan, udaranya panas di musim panas dan sangat dingin di musim dingin. Tetapi, wilayah ini dikaruniai sumber daya mineral, termasuk sebagian cadangan batu bara terkaya di negara itu. Di sini, batu bara justru menjadi bahan bakar masa depan.

Dataran berpasir di sekitar Yulin ditebari cerobong asap tinggi berbagai PLTB, dan pabrik pengolahan batu bara raksasa, dengan asrama untuk tenaga kerja menginap, menyebar berkilometer-kilometer di gurun pasir. Pabrik batu bara baru ramai dengan muda-mudi berbaju monyet.

Batu bara menyediakan sekitar 80 persen listrik Cina, tetapi penggunaannya bukan hanya untuk membuat listrik. Mengingat batu bara merupakan bahan bakar domestik yang begitu melimpah, ia juga digunakan untuk membuat puluhan bahan bakar cair dan zat kimia industri, peran yang dipegang minyak bumi di sebagian besar negara lain. Di sini, batu bara adalah bahan utama dalam beragam produk, dari plastik hingga rayon.

Batu bara juga telah menjadikan Cina negara yang menghasilkan emisi karbon dioksida total tertinggi, meski AS tetap jauh me­­mimpin dalam emisi per kapita. Cina tidak mundur dari batu bara, tetapi semakin menyadari biaya tingginya. “Dalam sepuluh tahun terakhir,” kata Deborah Seligsohn, peneliti kebijakan lingkungan di University of California, San Diego, dengan pengalaman hampir dua dasawarsa di Cina, “lingkungan bergeser dari tidak dibicarakan sama sekali menjadi berprioritas tinggi.” Berkat keluhan masyarakat tentang kualitas udara, kesadaran risiko perubahan iklim, dan keinginan meraih keamanan energi dan keunggulan teknologi, Cina telah menanamkan modal miliaran dolar dalam energi terbarukan. Sekarang negara itu adalah produsen terbesar turbin angin dan panel surya; ladang surya raksasa bertebaran di antara cerobong asap di sekitar Yulin. Tetapi, negara itu juga menggalakkan tenaga batu bara ultraefisien dan penangkapan karbon yang lebih sederhana dan lebih murah.

Upaya ini menarik investasi maupun imigran dari luar negeri. Will Latta, pendiri perusahaan teknik lingkungan LP Amina, adalah ekspatriat Amerika di Beijing yang bekerja sama erat dengan perusahaan listrik Cina.

“Cina berkata secara terbuka, Hei, batu bara itu murah, kami punya banyak, dan alternatifnya perlu waktu puluhan tahun sampai bisa diterapkan dalam skala besar,” ujarnya. “Sementara itu, mereka menyadari bahwa batu bara merusak lingkungan dalam jangka panjang. Jadi, mereka menanamkan modal yang besar untuk membersihkannya.”

Di Tianjin, sekitar 140 kilometer dari Beijing, PLTB pertama Cina yang dirancang dari nol untuk menangkap karbon dijadwalkan dibuka pada 2016 nanti. PLTB bernama GreenGen ini ditargetkan menangkap 80 persen emisinya.!break!

Pada musim gugur lalu, seiring konsumsi batu bara dunia dan emisi karbon dunia menuju rekor baru, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menerbitkan laporan terbaru. Untuk pertama kalinya, badan itu memperkirakan anggaran emisi untuk planet kita—jumlah total karbon yang dapat dilepaskan tanpa kenaikan suhu melebihi 2 derajat Celsius, tingkat yang dianggap banyak ilmuwan sebagai ambang batas bahaya serius. Perhitungan dimulai pada abad ke-19, ketika revolusi industri menyebar. IPCC menyimpulkan bahwa kita sudah mengeluarkan lebih dari setengah anggaran karbon kita. Dengan pola hidup sekarang, kita akan mengeluarkan sisa emisi itu dalam waktu tidak sampai 30 tahun.

Mengubah pola itu melalui penangkapan karbon akan memerlukan upaya besar. Untuk menangkap dan menyimpan sepersepuluh saja emisi dunia saat ini, kita harus memompa CO₂ ke bawah tanah sejumlah setara dengan minyak yang kini kita ambil. Itu memerlukan banyak jalur pipa dan sumur penyuntikan. Namun, untuk meraih hasil yang sama dengan mengganti batu bara dengan panel surya beremisi nol, diperlukan ladang surya seluas setengah Jawa Tengah (hampir 20.720 kilometer persegi). Solusi ini besar-besar karena masalahnya pun besar.

“Kalau masalahnya dapat diatasi dengan mengurangi emisi gas rumah kaca 5-10 persen, kita tentu tidak perlu bicara soal pe­nangkapan dan penyimpanan karbon,” kata Edward Rubin dari Carnegie Mellon University. “Akan tetapi, masalahnya adalah mengurangi emisi global kira-kira 80 persen dalam 30-40 tahun ke depan.” Penangkapan karbon berpotensi memangkas emisi besar dengan cepat: Menangkap CO₂ dari satu PLTB seribu megawatt, misalnya, setara dengan 2,8 juta orang menukar mobil pikap dengan mobil Prius (mobil hibrid, bertenaga listrik dan bensin).

Namun, teknologi ini baru bisa tersebar luas jika pemerintah mewajibkannya, dengan me­nerapkan denda pada karbon atau dengan mengatur emisi secara langsung. “Peraturanlah yang diperlukan untuk mendorong per­kembang­an penangkapan karbon,” kata James Dooley, peneliti di Pacific Northwest National Laboratory di DOE.

Jika tahun ini EPA memenuhi janji Presiden Obama untuk mengatur emisi karbon dari pembangkit listrik yang ada maupun yang baru, penangkapan karbon akan memperoleh dorongan yang sudah lama ditunggu itu.

Sementara itu, Cina sudah memulai eks­perimen regional dengan pendekatan yang lebih ramah-pasar—yang dirintis di AS. Pada tahun 1990-an, EPA menggunakan Clean Air Act untuk menerapkan plafon pada total emisi sulfur dioksida dari pembangkit listrik, mengalokasikan izin polusi yang dapat diperjualbelikan kepada setiap pihak pencemar. Waktu itu, industri energi telah meramalkan akan timbul bencana ekonomi.

Namun, ternyata skema itu menghasilkan berbagai teknologi inovatif yang semakin murah, dan udara yang jauh lebih bersih. Menurut Rubin, sistem penangkapan karbon saat ini berada di tahap yang sama dengan sistem sulfur dioksida pada tahun 1980-an. Setelah batas emisi menciptakan pasar untuk sistem itu, biayanya juga dapat merosot drastis.

Jika itu terjadi, batu bara tetap tidak akan bersih—tetapi masih jauh lebih bersih daripada saat ini. Dan, planet kita akan lebih dingin daripada kita terus membakar batu bara dengan cara lama yang kotor.