Kapal Selam Nazi di Laut Jawa

By , Senin, 28 April 2014 | 10:07 WIB

Embusan angin monsun timur mulai berganti dengan angin monsun barat. Keadaan laut sangat tenang, tidak ada angin dan arus yang dapat membahayakan pelayaran. Sebuah kapal motor bercat putih dengan pelisir biru telah memagut sauhnya di Laut Jawa, 127 kilometer ke arah timur laut dari Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah.

Kapal itu biasa mengangkut kebutuhan bahan pokok dan sayuran dari Jepara ke Karimunjawa, namun hari itu bukan seperti biasanya. Satu tim penelitian menggunakan kapal motor itu untuk menyelisik bangkai kapal selam yang diduga masih bersemayam di dasar laut. Mereka merupakan para ahli arkeologi dari Pusat Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Yogyakarta, yang bekerja sama dengan Sentra Selam Jogja. Berperanti GPS dengan perangkat sonar, mereka berharap dapat memperoleh gambaran kondisi kontur dasar laut nan akurat dalam bentuk dua dimensi.

Perairan Karimunjawa merupakan kawasan ramai yang dilintasi kapal-kapal berbagai peradaban, karena berada pada sisi paling utara Laut Jawa. Kawasan ini telah ditakdirkan sebagai rute pelayaran utama yang menghubungkan Selat Malaka dan Selat Makassar sejak zaman kerajaan klasik Nusantara hingga kecamuk Perang Dunia II, dan berlanjut hingga kini.

Tim melempar tanda apung permukaan me­nyusul perangkat sonar mereka yang me­nunjukkan gejala aneh pada kontur dasar laut nan membiru. Dua ahli arkeologi muda dari Pusat Arkeologi Nasional, Shinatria Adhityatama dan Ahmad Surya Ramadhan, melakukan penyelaman hingga ke dasar. Sekitar seperempat jam kemudian mereka melepaskan tanda apung permukaan berikutnya: Mereka menemukan bangkai kapal selam!

Bagi mereka, penelitian ini terinspirasi dari novel Shadow Divers karya Robert Kurson yang dibaca keduanya saat masih mahasiswa. Novel itu berkisah tentang petualangan nyata dua orang Amerika yang mempertaruhkan segalanya untuk memecahkan misteri kapal selam Jerman yang hilang.!break!

Bersama seorang instruktur selam profesional, Adhityatama dan Ramadhan mengobservasi sebuah bangkai kapal selam tinggalan Perang Dunia II di kedalaman sekitar 20 meter. Bangkai itu membujur di kawasan karang berpasir yang dihuni dan dicumbui oleh aneka biota laut.

Panjang kapal selam ini sesungguhnya adalah 76 meter, namun hanya tersisa separuhnya, yaitu dari menara komando sampai haluan—sekitar dua setengah kali bus Transjakarta. Repihannya tersebar hingga radius 40 meter. Bahkan, menara komandonya telah terlepas dan terguling ke samping kiri. Sementara keberadaan buritannya hingga kini masih berselimut misteri. Tampaknya bencana ledakan mahadahsyat menjadi penyebabnya.

Ramadhan, yang bersama tim melakukan analisis skenario proses transformasi, meng­­ungkapkan sebuah dugaan. Hantaman tor­pedo mengakibatkan kapal selam terbelah men­jadi dua bagian, demikian menurutnya. “Saat ledakan terjadi mesin di buritan masih menyala,” ujarnya, “kemungkinan bagian buritan itu jatuh ke tempat lain yang lebih jauh atau lebih dalam.” Dia menolak atas kemungkinan hancurnya buritan hingga berkeping-keping dan tak mungkin ditemukan lagi. “Saya tidak yakin kalau hancur sampai habis. Material kapal militer tentunya kuat.”

Bagian dalam kapal selam dapat diakses dari sisa ruang peluncuran torpedo di lambung haluan yang terkoyak. Lubang peluncurnya sudah hilang, sepertinya turut terlepas bersama reruntuhan bagian utama lainnya. Akses alternatif, penyelam bisa masuk melalui pintu palka bulat di bagian tengah.

Dengan diterangi cahaya lampu baterai, dua arkeolog muda itu menyusuri lorong ruang awak atau perwira, ruang radio dan dapur, juga sisa ruang kendali. Kondisi bagian dalam kapal sudah rusak dan bagian langit-langit sudah runtuh. Selain itu, ditemukan indikasi bahwa di dalam kapal selam tersebut pernah terjadi kebakaran. Penjelajahan dalam rongga besi rongsokan ini memang sangat berbahaya, memadukan kegairahan dan kengerian.

“Saya khawatir dinding ambruk dan tersangkut banyak kabel,” ungkap Adhityatama. Dia mengisahkan kepada saya tentang penjelajahan menyelisik kabin kapal selam. “Intinya memang harus hati-hati karena di dalamnya banyak kerangka manusia yang harus dihormati. Kita tidak memindahkan kerangka tersebut. Kita membiarkan di tempatnya sebagai permakaman perang.”!break!

Torpedo telah membuat kerusakan cukup hebat pada kapal selam tersebut sekitar 70 tahun silam. Namun, tampaknya kerusakan terus berlanjut oleh aktivitas manusia di tempat itu, seperti penangkapan ikan dengan bahan peledak hingga pencarian besi tua oleh warga sekitar. Tim menduga bahwa isi kapal selam itu sebagian sudah terjamah dan terjarah oleh manusia, jauh sebelum  kedatangan mereka. Bahkan, para ahli arkeologi mendapatkan informasi soal lokasi ini yang bersumber dari warga. “Mungkin tim ini bukan menemukan, tetapi lebih mengidentifikasi,” ucapnya.

Mereka menemukan sekitar lima kerangka manusia yang tersebar di dua ruangan. Menurut identifikasi tim, kerangka tersebut berasal dari individu lelaki Germanik dengan tinggi badan sekitar 180-188 sentimeter. “Kami menemukan alat selam dan baju pelampung warna kuning yang di dalamnya masih ada tulang belulang,” ujar Adhityatama. “Sepertinya mereka sudah menggunakan alat selam ini, namun gagal untuk keluar dari kapal.”